Bab 2

1129 Words
“Bu,”panggil Saka ragu. “Mengapa?”lirik Rianti. Saka terlihat gugup.”Boleh tidak, Saka pinjam uang Ibu dulu?” “Berapa?” “Dua puluh juta,”jawab Saka hampir membuat Rianti berterdiak kaget. “Untuk apa uang sebanyak itu?”tatap Rianti curiga. “Untuk biaya rumah sakit Abi, Bu, harus dibayar sekarang supaya dokter bisa berbuat lebih lanjut,”jelas Saka. Rianti memejamkan mata, berusaha sabar. “Baik, Ibu akan bayar semua biaya perobatannya, dengan syarat ...” Saka mengangkat wajahnya.”Apa syaratnya, Bu? Saka akan turutin.” “Pertama, hubungan kamu dan Abi harus berhenti sampai di sini. Ingat, Saka, ini peringatan keras! Kedua, Ibu akan bawa Nara pulang, nggak akan baik untuk perkembangannya jika ddia tumbuh dengan kalian. Kita tinggal di negara yang menjunjung adat ketimuran. Ibu akan rawat Nara seperti anak sendiri. Kamu...lanjutkan karir kamu, kalau sampai Ibu dengar kamu ada hubungan dengan laki-laki, baik Abi atau yang lain, kamu akan tahu akibatnya. Ibu akan tugaskan orang untuk memata-matai kamu!” Saka tertunduk sedih, lalu terngiang suara Abi yang lemah, bicara dengan wajah pucat. “Saka, sepertinya usiaku tidak lama lagi.” “Mungkin aku nggak akan bisa membesarkan Nara.” “Kamu akan tetap setia sama aku, kan?” Begitulah kalimat-kalimat yang dilontarkan Abi. “Baik, Bu. Saka akan turuti semuanya. Saka janji.” Saka tidak mau sampai Abi harus pergi meninggalkan dirinya selama-selamanya. Rianti tersenyum.”Baik.” Nara dan Saka melakukan pemeriksaan darah, untuk memastikan apakah mereka terkena virus penyakit atau tidak, walaupun belum pasti juga Abi terkena penyakit apa. Tetapi, dalam hubungan seperti itu, Rianti tidak bisa memandang remeh, dia harus bertindak cepat. Syukurlah Nara dan  Saka sehat-sehat saja. Setelah mereka selesai, Saka menerima telpon yang memberi kabar bahwa kekasihnya, Abi, telah tutup usia. Saka langsung pamit untuk pergi ke rumah sakit itu. Ranti tidak ingin ikut, dia pulang saja bersama Nara naik taksi. “Sayang, mulai hari ini kamu tinggal sama Nenek ya.” Rianti tersenyum, kemudian melihat lembaran kertas berisi hasil pemeriksaan.”Namamu cantik, Priscanara Batari.”   **                                                          Delapan belas tahun kemudian   Sekumpulan gadis duduk di bawah pohon rindang, di rerumputan hijau membentuk lingkaran. Masing-masing sibuk dengan catatan dan pena, mengerjakan tugas dari Dosen pada mata kuliah terakhir. Lalu, tampak salah satu dari mereka sudah selesai. Dia melihat ke sekeliling, teman-temannya masih sibuk. Gadis berusia delapan belas tahun itu memang terlihat paling beda. Dia adalah mahasiswa paling muda, namun dia memiliki prestasi yang lebih baik dari yang lainnya. Karena kecerdasannya, dia mengikuti kelas percepatan, Sekolah Menengah Pertamanya dijalani dua tahun saja, begitu juga saat Sekolah Menengah Atas. Jadi, saat berusia enam belas tahun, Dia sudah lulus dan melanjutkan kuliahnya. Saat ini dia sudah memasuki tahun kedua di sebuah Universitas Swasta di kotanya. “Kamu udah selesai, Nar?”tanya Nasya. “Iya udah, nih kalau mau nyontek,”kata Nara menawarkan. Disodorkannya buku berisi tugas yang sudah berhasil dia selesaikan. Nasya tertawa.”Soalnya aja beda, gimana mau nyontek, Nara.” “Memang keren deh, Pak Janu, ngasih soalnya beda-beda … supaya nggak bisa saling contek,”kata Chetty sambil menggerakkan lehernya yang mulai pegal.”Aku udah selesai, nih.” “Aku di rumah aja deh lanjutinnya, nanti bisa minta ajarin Mamiku,”kata Alesha sambil menutup catatannya. “Memangnya Mamimu itu mau ngajarin ya? Kan kita udah kuliah, masa masih diajarin?”tanya Nasya heran. “Ya nggak apa-apa, aku kan dekat banget sama Mamiku. Semua hal kuceritakan sama Mami.” Alesha merapikan alat-alat belajarnya. “Wah enak banget, ya,”kata Nara tanpa sadar.”Aku sih, biasanya curhat sama Nenek, tetapi, Nenek kan udah tua, kasihan juga kalau kucurhatin terus. Jadi, ya...aku jarang deh ngobrol, apa lagi Kakek juga udah meninggal. Nenek sedih terus.” “Sorry, nih, Memangnya orangtua kamu ke mana, Nar?”tanya Alesha. “Kalau Mamaku, katanya udah meninggal. Kalau Papaku masih ada. Dia kerja, karena Papaku seorang diri kan nggak mungkin ngurusin aku. Jadinya aku dititipin ke Nenek.” Nara bercerita tanpa ada sedikit pun kesedihan. Dia sudah terbiasa tanpa ada orangtua. Kakek dan Nenek sudah cukup baginya, bahkan kasih sayang mereka lebih dari apa pun. “Oh, maaf ya, Nar, udah cerita soal Mama tadi,”kata Alesha tidak enak hati. “Oh... nggak apa-apa, lah, santai!” Nara tertawa. Lalu, suara klakson mobil terdengar. Keempat gadis di sana menoleh ke sumber suara. “Alesha!” Seorang wanita paruh baya muncul setelah jendela mobil terbuka. “Eh, Mamaku jemput.” Alesha cepat-cepat menyimpan alat tulis ke dalam tas.”Aku duluan ya, bye!” Nara memperhatikan Ibu dan Anak itu, tanpa sadar dia tersenyum sendiri. Tetapi, beberapa detik kemudian hatinya berdenyut. Gadis itu tersenyum tipis, dia tidak boleh iri, Ibunya sudah tiada dan itu adalah takdir, dia harus menerima takdir. “Eh, kayaknya aku juga harus pulang deh, Papaku udah dekat,”kata Nasya. “Kamu dijemput Papa kamu?” Chetty tersenyum heran. “Iya, soalnya udah janjian habis ini mau beli sepatu olahraga. Weekend nanti kita mau joging,”kata Nasya dengan semangat. “Oh iya, ya udah hati-hati, Sya, sampai besok!” Nara melambaikan tangannya pada Nasya. “Kamu gimana, Nar? Aku juga mau pulang, nih, soalnya mau jalan sama pacarku.” Chetty menatap Nara, merasa tidak enak meninggalkan gadis itu sendirdian. “Oh ya udah pulang aja, aku masih mau di sini. Sebentar lagi aku juga pulang kok, kayaknya masih panas.” Nara tertawa lirih. Chetty memakai tasnya, kemudian bangkit dan melambaikan tangan pada Nara.”Sampai besok, bye!” “Bye!” ucap Nara pelan, sekarang dia sendirdian, sunyi, tidak ada Mama, Papa, kakak, adik, bahkan kekasih. Di rumah juga ada Nenek yang mulai sakit-sakitan. Sebenarnya Bara mulai takut, dia hanya tinggal berdua dengan sang Nenek, jika suatu saat terjadi apa-apa, dia bingung harus bagaimana. Asisten rumah tangga sudah keluar sebulan yang lalu tanpa sebab. Dia ingin menghubungi Daddy-nya, tetapi,takut. Rianti selalu melarang Nara menghubungi Saka. Nara tidak tahu sebabnya mengapa, dia hanya bisa patuh tanpa berani bertanya. Dia juga jarang bertemu dengan Daddy-nya yang pendiam dan dingin itu. Sikap cueknya membuat Nara tidak nyaman bicara dengan Ayahnya saat pulang ke rumah. Kakek dan Nenek adalah orangtua sesungguhnya bagi Nara. Nara menarik napas panjang, sepertinya dia harus pulang karena hari sudah sore. Begitu sampai di rumah, Nara mendengar neneknya sedang terbatuk-batuk. Dengan cepat, Nara mengambilkan segelas air dan memberikan pada Rianti. “Nek, kayaknya Nenek makin parah. Nara telpon Daddy ya?”kata Nara cemas, apa lagi kondisi Rianti seperti ini. Nara takut akan terjadi apa-apa dengan Sang Nenek. Rianti menggeleng sambil menepuk dadanya yang sakit.”Jangan!” Nara semakin tidak tenang mendengar balasan Rianti.“Mengapa, Nek, kalau ada apa-apa sama Nenek, Nara nggak tahu harus bagaimana. Nara juga nggak mau disalahkan sama Daddy nanti.”             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD