Bab 3

1110 Words
“Kamu jangan menghubungi Daddymu, Nara. Jangan!”katanya dengan serak.”Dia nggak baik untukmu.” Nara tersenyum tipis mendentar ucapan Neneknya yang mulai ngelantur.”Nenek bicara apa, sih, mana mungkin Daddy itu nggak baik untuk Nara. Itu, kan Ayahnya Nara.” Rianti menggenggam tangan Nara.”Nara, Nenek serius, kamu harus hati-hati sama Saka. Apa lagi...mungkin usia Nenek nggak panjang lagi. Kamu harus dengarkan apa kata Nenek ini.” “Nenek, jangan bicara begitu, nenek pasti sehat dan kita bisa terus berkumpul,”kata Nara memberi semangat. “Nek...,sebenarnya ada apa? Nara jadi takut. Mengapa Daddy itu nggak baik untuk Nara? Tolong jelaskan, Nek, supaya Nara nggak bingung dan salah paham.” Mata Rianti berkaca-kaca, mengingat kejadian kurang lebih tujuh belas tahun silam. Sebenarnya dia tidak ingin menceritakan ini, tetapi, jika dia dipanggil Tuhan nanti, Nara hidup sebatang kara. Mungkin dia akan tinggal bersama Saka, gadis itu hanya tahu, Saka adalah Ayah kandungnya. “Nara,”panggilnya dengan suara bergetar. “Iya, Nek?”jawab Nara. “Jika Nenek sudah nggak ada lagi di dunia ini, berjanjilah untuk tetap kuliah, dan punya karir bagus, gapai cita-cita kamu. Cari laki-laki yang benar-benar sayang sama kamu.” Tangan keriput Rianti memegang pipi Nara. Nara mengangguk pelan.“Nara janji, Nek.” “Berjanjilah untuk tidak seperti Saka, jika kamu tinggal bersama Saka nanti...kamu harus hati-hati,”kata Rianti lagi semakin membuat Nara penasaran. “Iya, Nek, tetapi...Nenek harus cerita soal Daddy, beri tahu juga siapa Mommy Nara yang bahkan Nara nggak pernah tahu nama dan wajahnya,”kata Nara sedih, baru kali ini dia berani mengatakan rasa penasarannya itu. Selama ini dia ingin tahu, tetapi, Rianti tidak mau menjelaskan. “Baiklah, Nenek akan menceritakan semuanya. Kamu harus siap mendengarkan fakta ini.” Nara mendengarkan cerita Rianti dengan khidmat, berbagai rasa silih berganti dia rasakan saat itu juga, bahkan terkadang semua menyerang bersamaan. Nara kecewa, Nara terluka mendengar semua kenyataan itu, lalu di dalam hati dia berkata, Nara, takdirmu begitu menyedihkan. Nara mengerjapkan matanya, terasa perih sekali karena semalaman dia menangis. dia bahkan tidak makan setelah Rianti selesai berkisah. Di depan Rianti, dia hanya menangis, tetapi, sebentar saja sebagai reaksi atas cerita sang Nenek. Nara harus berpura-pura kuat, agar Nenek tidak khawatir. tetapi, di balik itu semua, Nara hancur berkeping-keping, kecewa dengan apa yang terjadi Nara pergi ke wastafel untuk mencuci mukanya yang sembab. Matanya membengkak, pantas saja terasa perih. Setelah itu dia pergi ke dapur untuk minum air putih. Diliriknya jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan, dia bangun kesiangan. Untunglah jadwal kuliahnya hari ini agak siang, jadi, dia tidak perlu buru-buru. Nara melihat ke sekeliling, dia merasa aneh karena jendela rumah masih tertutup. Jantung Nara berdetak begitu keras, dia pun segera berlari ke kamar Rianti.”Nek!” Wanita itu terbatuk-batuk, menjawab dengan suara parau. Nara masuk begitu saja dan terkejut melihat kondisi Rianti yang melemah. Gadis itu meneteskan air mata.”Nek, maaf, tetapi...Nenek harus Nara bawa ke rumah sakit.” Wanita tua itu mengangguk lemah. dia sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Nara pun berlari ke tetangga sebelah, meminta bantuan untuk membawa Rianti ke rumah sakit. Kebetulan, tetangga Nara memiliki mobil. Para tetangga Nara pun dengan sigap datang begitu mendengar kabar Rianti sakit. Dengan semangat gotong royong, mereka membopong Rianti masuk ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.  Begitu sampai di rumah sakit, Rianti langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Nara menunggu dengan cemas. Kemudian ditatapnya ponsel dalam genggaman. Dengan ragu-ragu dia mencari kontak bernama 'Daddy', setelah mempertimbangkan banyak hal, dia pun menghubungi Saka. Nada terhubung terdengar berkali-kali,tetapi, Saka tidak kunjung mengangkatnya. Nara mulai ragu, mungkin saja Saka memang tidak menyimpan kontaknya. Lagi pula hubungannya dengan Saka benar-benar tidak baik, bukan seperti Ayah dan anak. Nara pun duduk dengan perasaan yang campur aduk. Antara mencemaskan Neneknya dan memikirkan tentang Saka, Daddynya. Kemudian ponselnya berbunyi, tulisan 'Daddy' muncul di layar. Dengan tangan gemetaran, dia menjawab telepon. “Ha-halo.” “Ada apa, Nara?” Suara Saka terdengar dari seberang sana. Jantung Nara berdebar kencang, takut bicara dengan Saka.”D-Daddy, Ne...Nenek masuk rumah sakit.” Saka menarik napas dalam-dalam.”Baik, Daddy pulang sekarang. Rumah sakit mana?” “Rumah sakit Bunda Mulia, yang terdekat dari rumah,”balas Nara. “Baik. Kamu sama siapa di situ?” “Tadi ada beberapa tetangga yang ikut antar Nenek, tetapi, sekarang sudah pulang semua karena harus kerja.” “Ya udah. Jangan panik, kalau ada perkembangan tentang Nenek, kamu hubungin Daddy. Daddy langsung terbang ke sana,”kata Saka yang kemudian memutuskan sambungan. Nara mengerutkan kening, menatap ponselnya heran.”Terbang sekarang?” Gadis itu menggelengkan kepalanya heran, kemudian salah satu perawat memanggilnya. Nenek harus dirawat beberapa hari di sini untuk pemeriksaan lanjutan. Nara menatap wajah keriput yang sudah membesarkannya selama delapan belas tahun. dia sungguh belum siap jika harus kehilangan sang Nenek yang begitu menyayanginya. Apa lagi sekarang dia sudah tahu siapa Daddy-nya. dia semakin resah dan takut ditinggal sang nenek. “Ah, Nek, jangan pergi sebelum aku menikah,”ucapnya dalam hati. Ditatapnya kembali sang Nenek yang terbaring lemah, bahkan sekarang tidak bisa bicara apa pun. Nara pun menangis terisak-isak atas kondisi ini. dia sungguh tidak ingin hal buruk terjadi pada Neneknya. Saka sudah tiba, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya. dia langsung dibawa menuju rumah sakit di mana Sang Ibu dirawat. Semoga semua baik-baik saja. Begitu sampai di rumah sakit, dia menuju ruang di mana RIanti dirawat. dia hanya bisa mengembuskan napas berat melihat RIanti terbaring lemah, dan Nara yang tengah tertidur memeluk tangan sang Nenek. Hati Saka terluka melihat kondisi ini. dia sudah menciptakan kekisruhan ini, membuat Nara tidak bisa dekat dengannya, Papanya sendiri. dia jugalah yang membuat nara tidak memiliki seorang Mama. Perlahan dia melangkah, mendekati Nara. Ditatapnya wajah nara yang terlelap beberapa menit. Kemudian mengusap wajah dan pundaknya. Sebuah usapan lembut dirasakan Nara lada pundaknya. Gadis itu membuka mata, ternyata saat menangis dia merasa lelah dan ketiduran. dia pun menoleh ke arah belakang, lalu terkejut setengah mati. Pria mengenakan stelan jas itu tersenyum. “Si - siapa?” Pria itu tertawa.”Kamu udah lupa sama Daddy kamu sendiri ya? Mau jadi anak durhaka?” Nara menganga,Daddy? Ini bukan Daddy-ku, terlalu muda untuk dipanggil Daddy, atau perubahan Saka memang begitu drastis seperti ini. “mengapa?” Saka menunduk menatal Nara.”Aku ini Daddy-mu, aku baru cukur dan perawatan!”katanya lagi dengan kesal. “Oh, oke!”balas Nara kemudian, dia tidak perlu sekaget itu, pria sejenia Daddy-nya itu pasti akan menjaga penampilannya dengan baik.”Kok Daddy sampai secepat ini?” “Naik Heli!” “Daddy punya Heli?”tanya Nara tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD