CHAPTER: 2

2041 Words
Dulu aku mengira bahwa hatiku sudah mati rasa, saat kau meninggalkanku. Namun aku salah karena nyatanya hatiku selalu mendambakan kehadiranmu ~Anesta Fevilia~ Akhirnya aku update kembali! Maaf ya lama update, soalnya jiwa pemalas aku memberontak jadinya aku malas menulis deh. Karena aku telat update, jadi aku buat part ini panjang yang seharusnya untuk dua part tapi jadi satu part. Kurang baik apa coba aku? Jangan lupa vote dan komen ya, dukungan kalian bisa membuat "Mantan Suami" keluar dari nominasi list cerita yang gugur. Follow akun aku, siapa tahu aku update cerita baru. Terima kasih sudah mau memberi vote dan komen, sudah mau membaca cerita ini, sudah mau follow aku, dan sudah mau menunggu cerita dari penulis amatiran ini. Selamat membaca Anes keluar dari ruang rawatnya bersama dengan Bi Inah yang membawa tas berisi pakaiannya selama dirawat di rumah sakit mewah ini. "Seharusnya Bibi tidak perlu datang, kondisi Bibi kan lagi kurang baik. Anes bisa kok pulang sendirian," ucap Anes menoleh pada Bi Inah dengan senyum tulus. "Enggak apa-apa Non, Bibi khawatir sama kondisi Non kalau pulang sendiri." Anes hanya mengangguk lalu melanjutkan jalannya menuju pintu keluar beriringan dengan Bi Inah yang berada di sebelahnya. Langkah Anes berhenti seketika saat matanya melihat sepasang kekasih sedang berjalan beriringan, hendak masuk ke dalam rumah sakit. Sedangkan Bi Inah hanya diam menatap majikannya yang masih sangat mencintai mantan suaminya. "Dafa nanti kalau kita sudah nikah, kamu mau punya anak berapa?" "Kalau aku mau punya anak banyak agar rumah ramai dengan suara anak-anak." "Dafa kamu dengarkan aku gak sih?!" Tanya dan teriak Lolita saat Dafa tiba-tiba berhenti dan tidak memperdulikan atau membalas apa pun yang dikatakannya. Lalu tatapan Lolita tertuju pada wanita cantik berwajah pucat yang dia lihat di studio TV Swasta saat ingin mengabarkan berita pernikahannya yang tinggal hitungan hari. Lolita tahu pasti ada hubungan spesial di antara Dafa dan wanita itu, terlihat dari tatapan keduanya yang memancarkan kerinduan dan cinta membuat Lolita geram. "Lolita Refandara," ucap Lolita mengulurkan tangannya pada Anes membuat Anes tersadar, lalu menyambut uluran tangan Lolita dengan senyum tipis. "Anesta Fevilia." Tubuh Lita mematung saat wanita di depannya menyebut nama lengkapnya, lalu melepaskan tangannya dari tangan Anes dengan kasar membuat Anes menatap bingung perubahan sikap Lita. Lita menoleh pada Dafa yang kini menatapnya, Dafa tahu suatu hari nanti Lita dan Anes pasti akan bertemu, tapi Dafa tak tahu bagaimana cara mengatasinya membuat Dafa hanya diam. "Jadi kamu mantan istri kamu?" Kali ini tubuh Anes yang mematung mendengar ucapan tunangan Dafa, hatinya nyeri saat mendengar kata 'Mantan Istri' keluar dari mulut Lita. Dafa hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, tatapan Dafa tertuju pada Anes yang terlihat pucat dan lemah. Dafa ingin sekali memeluk Anes, memberikan kehangatan pada tubuh Anes namun dia sadar bahwa mereka bukan siapa-siapa lagi. "Saya pamit permisi," ucap Anes lalu melangkah meninggalkan pasangan kekasih itu, Anes tak mau terlihat lemah dengan menangis di depan Dafa, dia harus kuat menghadapi kenyataan yang selama ini dia hindari. Kenyataan bahwa suatu hari nanti, salah satu di antara mereka akan menemukan cinta sejatinya, dan ternyata Dafa lah yang pertama menemukan cinta sejatinya dan Anes tetap terjerat dalam kenangan masa lalu. ~Mantan Suami~ Anes berdiri di depan gedung pencakar langit, Anes berniat akan melamar pekerjaan di sini, D'A CORP, Penerbitan terkenal yang menghasilkan buku fiksi maupun non-fiksi yang laris di pasar Nasional bahkan Internasional. Anes melangkah memasuki gedung tersebut dengan percaya diri dan senyum menghiasi bibir tipisnya, sambil memeluk amplop cokelat berisi berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftar sebagai editor di penerbitan ini. Anes berjalan ke arah resepsionis, lalu berdiri di depan resepsionis itu menunggu resepsionis itu selesai menelepon, mata Anes pun menjelajahi betapa indah dan megahnya perusahaan penerbitan ini, pantas saja tak hanya naskah lokal melamar ke sini bahkan banyak naskah dari negara lain ingin sekali terbit di penerbitan raksasa ini. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Tanya resepsionis itu dengan senyum ramah, Anes pun ikut tersenyum melihat keramahan resepsionis itu. "Saya Anesta Fevilia, saya melihat di koran ada lowongan pekerjaan sebagai editor di sini, saya ingin mendaftar." "Oh... Anes berdiri dengan kikuk saat resepsionis itu seakan melihatnya dengan tatapan menilai dari atas kepala sampai bawah kaki. Dalam hati Anes bertanya apa perlu dia begitu diperhatikan se-intens itu. "Kamu bisa menunggu dulu di tempat tunggu tamu, sebentar lagi bos saya akan memanggil kamu untuk wawancara." "Apa?" Tanya Anes spontan dan cukup lantang membuat karyawan sekitar menatap keduanya dengan tatapan heran, sadar apa yang dia lakukan Anes langsung kembali bicara. "Tapi bukannya berkas-berkas calon pelamar akan diseleksi dulu baru wawancara bagi yang lulus seleksi berkas?" "Kantor kami sedang sangat membutuhkan editor secepatnya, jadi kami langsung melakukan wawancara dan untuk menyeleksi yang terbaik maka bos atau pemilik perusahaan ini langsung yang akan melakukan wawancara." Anes hanya mengangguk mengerti lalu pamit untuk duduk di sofa yang ada di sudut ruangan, jarinya saling bertautan karena gelisah takut tak bisa menjawab pertanyaan saat wawancara nanti, mengingat dia belum melakukan persiapan apa pun. 15 menit kemudian, resepsionis itu memberi saya intruksi untuk masuk dan melakukan wawancara di ruangan bos, dan memberi petunjuk ruangan. Anes pun mulai berjalan ke arah lift lalu keluar setelah sampai di lantai 8, lalu masuk ke ruangan paling pojok sesuai petunjuk resepsionis tadi. Anes menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan dengan lancar. Anes mengulurkan tangannya, untuk mengetuk pintu berwarna hitam di depannya. "Tok tok tok." "Masuk." Tubuh Anes merinding saat mendengar suara berat dan serak dari dalam, sambil menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran bodoh yang ada di kepalanya. Anes membuka pintu di depannya, lalu memasang senyum seramah mungkin (Pencitraan) Anes tahu seseorang yang duduk di bangku yang membelakangi dirinya itu adalah pria, terlihat dari otot di lengannya, rambut pendek berwarna hitam legam, dan wangi maskulin khas pria, yang terakhir anggap halusinasinya sebagai wanita. "Permisi pak, perkenalkan nama saya Anes... Ucapan Anes terpotong saat kursi itu berputar menampilkan wajah pimpinan perusahaan penerbitan buku ternama di berbagai negara. Anes benci takdir, karena takdir selalu mempermainkan hidupnya. Air mata menumpuk di pelupuk matanya saat lagi dan lagi ia dipertemukan dengan pria yang sangat ingin ia benci, namun selalu gagal. Dafa Prajaya. Dulu saat dia sangat membutuhkan pria itu, takdir seakan menentang keinginannya dan membiarkan pria itu menjauh darinya selama beberapa tahun lamanya. Sekarang, saat dia sudah bisa menata hidupnya kembali, hidup tanpa seorang Dafa, takdir selalu mempertemukannya dengan Dafa seakan takdir ingin melihat seberapa kuat dirinya dihadapkan dengan masa lalunya. "Anes?" Anes langsung mengusap matanya lalu menghela nafas kasar dan kembali menatap Dafa dengan tatapan tegas. "Maaf pak, sepertinya saya salah ruangan, permisi." Anes berjalan secepat yang dia bisa, dia ingin sekali berlari sejauh mungkin namun itu hanya akan membuat Dafa curiga dan merasa Anes belum bisa melupakan masa lalu mereka. "Anes tunggu!" Dalam hati Anes merutuki langkahnya yang tidak terlalu lebar, berbeda dengan langkah lebar Dafa. Sehingga pria itu bisa menangkap tangannya. "Anes, maafkan saya." Anes berbalik, menghadap Dafa, menatap tepat di mata setajam elang yang dulu bahkan masih dia kagumi sampai sekarang. "Buat apa kak? Kakak enggak salah apa-apa sama Anes," jawab Anes melepaskan tangan Dafa, dari tangannya dengan lembut dan menampilkan senyum tipisnya. "Kenapa kamu keluar dari perusahaan saya yang dulu? Apa... Apa kamu belum bisa melupakan masa lalu kita?" Tubuh Anes menegang saat mendengar ucapan Dafa yang seratus persen adalah kebenaran, Anes hanya mengangguk pelan tetap mempertahankan senyumannya. "Anes memang belum bisa melupakan kak Dafa, karena Anes tahu bahwa hati Anes sudah memilih kak Dafa sejak pertama kali kita bertemu kak. Namun, Anes juga sadar bahwa dari awal kita hanya ditakdirkan untuk saling bersama," jawab Anes lirih, menatap sendu Dafa. Dafa hanya diam mendengarkan, Dafa adalah orang yang paling mengenal Anes di Dunia ini, dan Dafa pun tahu Anes adalah tipe wanita yang tidak akan menyembunyikan apa yang dirasakannya. "Saya minta maaf atas kejadian sembilan tahun lalu, termasuk kejadian kegugu... "Enggak usah dibahas kak, Anes enggak mau mengenang kembali masa lalu pahit itu. Sebentar lagi kakak akan memulai kehidupan baru dengan Lita, Anes berdoa pada Tuhan kakak akan diberikan kebahagiaan yang tidak kakak dapat di pernikahan kita." Anes menggenggam tangan Dafa dengan lembut, ingin sekali Anes tetap pada posisi ini. Berada di dekat Dafa, dapat melihat Dafa setiap saat, dan menggenggam tangan Dafa namun Anes sadar posisi mereka sekarang. Siapa dirinya dan siapa Dafa, hal itu pula yang membuat Anes melepaskan pegangan tangannya lalu berniat meninggalkan Dafa. "Lupakan saya Anes, lupakan kenangan yang pernah ada antara kamu dan saya. Anggap pertemuan kita hanya angin yang beralalu, temukan pria yang bisa membuat kamu bahagia dan... "Dan bisa membalas perasaan Anes," ucap Anes memotong ucapan Dafa, lalu Anes mengangguk dalam arti menyetujui ucapan Dafa. Perih, itulah yang hati Anes rasakan saat pria yang sangat dia cintai malah memintanya melupakan kenangan yang pernah mereka ukir dan mencari pengganti pria itu, seakan berganti menu makanan. "Anes akan berusaha menemukan pria yang bisa membahagiakan dan membalas perasaan Anes, tapi Anes tidak akan pernah berusaha melupakan kak Dafa dan kenangan tentang kak Dafa, tanpa Anes beritahu pun kak Dafa sudah tahu." Dafa ingin sekali menghapus air mata yang mengalir tanpa permisi di pipi Anes, namun dia sadar bahwa tindakannya itu hanya akan memberi Anes harapan palsu. "Kamu wanita yang baik Anes, kamu cantik, lemah lembut, dan penyayang, pasti banyak pria yang mengantri untuk melamarmu. Saya hanya pria brengsek yang gagal menjadi suami dan ayah untuk anak yang masih dalam kandungan kamu, sampai anak itu harus pergi meninggalkan kamu dan saya." Ucapan Dafa sukses membuat air mata mengalir deras di pipi Anes, saat mengingat kejadian sebelum perceraian mereka. Anes mengalami keguguran setelah pertengkaran hebat di antara mereka. Saat itu hujan deras, Anes yang baru pulang kuliah harus menyaksikan suaminya sendiri tidur dengan sekretarisnya di kamar tidur mereka. Anes yang marah langsung berteriak dan menampar sekretaris murahan itu lalu memaki Dafa. Dafa hanya diam, tidak bersuara membiarkan Anes memaki dan memukulnya bahkan saat Anes memilih keluar dari rumah di tengah hujan lebat, Dafa tetap diam. Lalu keesokan paginya, Dafa mendapat kabar mobil yang dikendarai Anes mengalami kecelakaan beruntun dan Anes mengalami keguguran. Bayi yang bahkan tak pernah diketahui keberadaannya itu, harus pergi meninggalkan Anes dan Dafa. Keduanya tak berbicara selama berbulan-bulan, akhirnya Anes mengalah dan berusaha mengajak Dafa bicara namun Dafa terus menghindar darinya seakan semua ini adalah salah Anes. Akhirnya Dafa menyerah pada pernikahan ini dan menceraikan Anes tanpa mendengar isak tangis Anes yang memohon padanya. "Dulu aku mengira, bahwa perselingkuhan yang kak Dafa lakukan, keguguran yang kualami, dan perceraian kita adalah hukuman Tuhan karena telah memaksakan perasaanku kepada kak Dafa, tapi ternyata aku salah. Tuhan masih belum cukup menghukum aku, sehingga Tuhan mempertemukan aku dengan kak Dafa kembali, saat kak Dafa akan menjadi milik wanita lain." Anes menangis dan memukul dada Dafa saat mengingat betapa hancurnya dirinya dulu bahkan sekarang. "Maafkan saya Anes, saya harap kamu tidak pernah membenci saya." "Bahkan saat kak Dafa tidak datang saat pengadilan pun, aku tetap enggak bisa membenci kakak. Padahal saat itu, aku mengira bisa meminta maaf karena sudah mengikat kak Dafa dalam ikatan yang terus menyakiti kak Dafa setiap saat hiks hiks." "Kamu pantas bahagia Anes, tapi bukan saya pria yang bisa membahagiakan kamu. Saya hanya bisa menyakiti kamu Anes," ucap Dafa lalu mendekap tubuh Anes ke dalam pelukannya. "Anes sakit kak, Anes hancur, rasanya Anes ingin mati saja saat kak pun ikut meninggalkan Anes. Anes salah apa sama kak Dafa, sampai kak Dafa menghukum Anes seberat ini hiks hiks." Tanpa Dafa sadari, dia ikut menangis saat melihat Anes menangis lalu memejamkan matanya berusaha menguatkan dirinya sendiri, untuk tidak kembali kepada Anes karena dia tahu Anes pantas bahagia, dan kebahagiaan Anes bukan pada Dafa. "Kamu enggak salah Anes, yang salah itu saya. Saya yang tak bisa menjaga mutiara berharga seperti kamu, saya yang salah sudah menghancurkan senyum di bibir kamu, dan saya yang salah sudah mematikan kebahagiaan dalam hidup kamu Anes." Dafa mencium puncak kepala Anes tak kuasa mendengar isak tangis Anes yang berada di pelukannya. Sekarang Dafa sadar bahwa dulu dia salah, saat mengatakan Anes sudah mampu menjaga dirinya sendiri karena saat ini yang Dafa lihat hanya air mata dan kerapuhan Anesta Fevilia. "Anes pernah gagal memberi kak Dafa keturunan, semoga Lita bisa memberikan kebahagiaan yang pernah gagal itu ke Dafa. Terima kasih kak pernah jadi kepingan kenangan dalam hidup Anes, meskipun hanya ada luka yang kakak torehkan namun Anes tidak akan pernah melupakan kakak." Tangerang, 05 Oktober 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD