3. Ini Gila!

2249 Words
Hari ini adalah hari pertama aku berangkat kerja. Jantungku sudah berdebar-debar sejak bangun tidur. Aku merasa excited sekaligus khawatir. Excited karena akhirnya aku kerja lagi setelah hampir satu tahun menganggur, tetapi khawatir karena lingkungan kerjaku benar-benar baru. Aku sering dengar, lingkungan kerja di Jakarta dan Jogja itu jauh berbeda. Di Jakarta cenderung lebih kompetitif dan tidak sedikit pula yang toxic. Sedangkan Jogja, kesannya memang lebih santai. Baiklah, bicara toxic semua wilayah pasti ada. Hanya levelnya saja yang berbeda. Faktor lingkungan dan budaya jelas sangat mempengaruhi itu. “Oke, cukup!” Aku mematut diriku di depan cermin. Kurasa, penampilanku sudah cukup dan tidak berlebihan. Di hari pertama kerja, aku harus membangun image yang kalem. Dua di antara usahaku adalah lewat warna baju yang kukenakan serta tipe make up. Hari ini aku mengenakan baju bertema bumi. Maksudnya, perpaduan antara coklat yang soft disertai beberapa aksesoris simple. Make up-ku juga tipis-tipis saja, yang penting tampak segar dan tidak pucat. “Saatnya berangkat!” aku mengambil tas, lalu keluar. Ngomong-ngomong, aku sudah menemukan kos yang menurutku strategis. Jaraknya hanya tiga kiloan dari kantor. Kalau jalan kaki memang masih lumayan jauh, tetapi karena kiriman motor dari Ayah sudah datang, maka tiga kilo jelas terasa dekat. Aku tidak perlu menghabiskan banyak waktu di jalan. Bicara motor, itu baru datang kemarin. Aku sempat menangis karena Ayah tidak main-main dengan ucapan beliau. Meski saat aku berangkat beliau masih dingin, tetapi nyatanya beliau cukup peduli padaku. Karena kalau tidak, motor ini tidak akan pernah sampai di tanganku. “Bismillah, semangat! Semoga hari ini berjalan lancar!” Aku mengendarai motor dengan santai. Tidak ada titik macet yang berarti, jadi tiga kilo bisa kutempuh hanya dengan lima sampai tujuh menit. Ini benar-benar efisien. Jakarta yang macet tidak berlaku untukku. Setidaknya, saat berangkat dan pulang kerja. “Wah … gedungnya gede juga.” Saat aku wawancara, aku tidak terlalu memperhatikan. Baru sekarang aku sadar kalau gedung tempatku kerja cukup tinggi. Mungkin karena saat itu yang ada di otakku hanyalah bagaimana mempersiapkan tes sekaligus wawancara. Jadi, aku tidak terlalu peduli dengan yang lainnya. Oh iya, aku belum bilang mengenai posisi baruku. Aku bekerja di bagian periklanan. Sebenarnya posisiku ini tidak ada nyambungnya sama sekali dengan jurusanku yang notabene adalah Teknik Mesin. Namun, pengalamanku kerja di Jogja-lah yang sepertinya membuatku diterima di sini. Dulu, saat aku bekerja di Jogja, aku menjadi advertiser atau pengiklan. Perusahaan tempatku kerja adalah start up kecil yang baru saja dibangun. Owner-nya memang membuka peluang bagi siapa pun yang melamar, selagi lulusan S1. Kebetulan saat itu aku diterima, padahal kemampuanku bisa dikatakan sangat kurang karena memang tidak nyambung dengan jurusan. Namun, owner perusahaanku tidak keberatan. Dia memang ingin mengajak karyawannya mau belajar dan berkembang. Dia suka karyawan yang mau belajar, bukan yang selalu merasa bisa. Demi mendukung itu, dia membiayaiku workshop tentang bagaimana menjadi pengiklan yang baik. Kebetulan, aku adalah pembelajar yang tekun. Jadi, dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat, aku sudah banyak paham. Aku berusaha ekstra untuk tidak menyecewakan si owner alias bosku. Sampai ketika, aku berhasil membuat campaign iklan yang meledak. Di situlah, untuk pertama kalinya perusahaanku bisa menghasilakan omset satu milyar dalam satu bulan. Penjualan laris manis, bonusku pun banyak. Aku ingat, saat itu gajiku hampir empat kali lipat UMR Jogja. Sebagian besar jelas karena bonus penjualan. Bagaimanapun, advertiser menjadi salah satu kunci penjualan melonjak drastis. Oke, cukup. Bahasan ini harus berhenti sampai di sini. Saat aku masuk, aku langsung disambut satpam. Aku memperkenalkan diri sebagai karyawan baru. Satpam lobi sepertinya sudah paham, jadi aku segera diantar ke sebuah ruangan. “Oh, Mila, ya?” sapa seorang perempuan begitu aku mengetuk pintu. “Iya, Bu.” “Masuk sini. Isi data dulu.” “Baik.” Aku masuk dan mengisi data di kertas yang telah disiapkan. Jelang dua menitan, ada orang masuk lagi. Dia juga perempuan dan terlihat seumuran denganku. “Yang ini Nafi?” “Iya, Bu.” “Silakan duduk. Isi data juga.” “Baik.” Sepertinya, perempuan ini juga karyawan baru sepertiku. Kuharap begitu, agar aku ada teman. “Ruangan kalian di lantai tiga, ya. Ujung utara. Kalau perlu apa-apa, tanya saja orang yang sudah ada di sana. Ruangan itu diisi bagian periklanan, data analyst, dan design grafis.” “Baik, Bu.” Aku dan perempuan yang bernama Nafi ini bangkit, lalu kami kompak keluar bersama. Baru juga beberapa langkah, aku sudah mendapat uluran tangan. “Kenalin, Kak, aku Nafi. Karyawan baru di sini.” Aku tersenyum, lalu menjabat tangannya. “Aku Mila. Sama, aku juga karyawan baru.” “Maaf, belum-belum aku mau tanya umur. Biar enak manggilnya. Soalnya kita akan jadi teman satu ruangan.” “Aku udah dua puluh enam lebih dikit.” “Ah … kalau aku baru mau, sih. Aku dua lima lebih delapan bulan. Seumuran berarti, ya? Soalnya enggak ada setahun bedanya.” “Iya.” Aku tersenyum. “Kalau gitu panggil nama aja biar cepat akrab.” “Boleh. Jadi seneng ada teman.” “Sama.” Nafi tersenyum lebar. Kami masuk lift dan naik menuju lantai tiga. Sesampainya di ruangan, sudah ada laki-laki—namanya Mas Usman— yang menyambut kami. Dia menunjukkan meja kami di mana. Bagus sekali, meja kami bersebelahan. Sepertinya kami akan mudah dekat. “Kak Mila—” “Katanya mau manggil nama aja?” potongku cepat. “Oh, iya.” Nafi meringis. “Kamu asli mana, Mil?” "Jogja." “Wah! Jogja? Aku ada, lho, saudara di sana. Sepupu, sih. Eyang dari pihak Papa juga orang sana, tapi udah meninggal semua. Hehe …” “Sering berkunjung atau enggak?” “Dulu cukup sering, kalau sekarang udah enggak. Paling kalau pengen liburan ke sana aja. Soalnya udah enggak ada Eyang, sih. Paling tinggal Pakde.” “Sungkan, ya?” “Banget!” “Jadi, kamu asli Jakarta aja?” “Iya, aku asli Jakarta, tapi Jaktim.” “Jauh, dong, kalau ke kantor?” “Lumayan. Tapi di Jakarta mah sejam juga dibilangnya biasa aja. Eh, aku ralat, Mil. Sebenarnya aku bukan asli Jakarta, ding, cuma orang tua pindah ke sini saat aku lulus SMP. Kota kelahiranku bukan di sini.” “Terus di?” “Jawa Tengah, tepatnya Jepara. Mama yang orang sana, kalau Papa kan jelas orang Jogja kaya Eyang. Dan ya … akhirnya kami malah jadi warga Ibu Kota dan bangun usaha di sini.” “Jauh juga!” “Ya mirip-mirip, kita. Bedanya ujung utara sama ujung selatan Jawa aja.” Aku tertawa pelan. “Bener, bener.” “Tapi jujur, aku enggak expect bakal diterima. Banyak perusahaan yang mematok maksimal umur dua puluh lima saat masuk. Tapi kantor ini beda kayaknya.” “Cari yang udah berpengalaman memang enggak mungkin fresh graduate. Beda lagi kalau cuma cari karyawan yang biasa. Maksudku, kaya CS penjualan. Itu banyak yang fresh graduate.” “Bener, sih. Sebelum ini kamu kerja di Jogja, berarti, Mil?” “Yes. Aku lulus umur dua puluh satu, langsung dapat kerja. Baru resign belum ada satu tahun lalu. Berapa tahun, tuh, pengalamanku?” “Empat tahunan?” “Nah, iya. Kurang lebih empat tahun aku berkecimpung di iklan.” “Aku sama, sih. Aku juga dari lulus langsung jadi data analyst.” “Kenapa pindah sini?” “Perusahaan lama orang-orangnya terlalu toxic. Mana pelit bonus. Aku harap, di sini aku bisa sedikit lebih nyaman dan kerjanya juga lebih manusiawi. Enggak berharap yang terlalu gimana-gimana, sebenarnya, tapi minimal enggak toxic aja. Mohon kerja samanya, ya, Mil.” Aku mengangguk. “Iya. Kamu juga, ya.” Nafi meraih tanganku, senyumnya pun merekah lebar. “Aku memang agak SKSD gini, jadi tolong maklum.” “Satai aja. Aku malah senang daripada diem terus dan canggung.” “Aku harap, kedepannya kita bisa jadi teman yang baik.” “Aamiin.” Nafi melepas tangannya, lalu dia membuka tasnya. Dia mengeluarkan dua sandwich ala-ala. “Ini buat kamu satu. Belum sarapan, kan?” “Belum.” Aku menggeleng. “Makasih banyak.” “Sama-sama.” Saat aku dan Nafi masih sibuk makan sandwich— jam kerja masih ada sepuluh menitan lagi, tiba-tiba Mas Usman memanggil kami. “Mila, Nafi, sama Imam, jam sepuluh naik ke lantai empat, tepatnya ke ruangan Pak Bos.” “Baik, Mas.” Aku dan Nafi mengangguk kompak. “Imam siapa, Fi?” tanyaku. “Enggak tahu— oh, dia, kali?” Nafi menunjuk cowok yang kini duduk di meja paling sudut. “Imam!” panggil Nafi agak keras. “Iya, Mbak?” “Kamu beneran Imam?” “Iya.” “Karyawan baru juga?” “Betul.” “Salam kenal, Mam. Aku Nafi, dia Mila.” Imam berdiri, lalu mengangguk sebentar. “Salam kenal juga, Mbak. Aku Imam.” “Kelihatan masih muda, kamu. Baru lulus?” “Iya, Mbak. Tapi sebelumnya pernah magang di sini, jadi begitu lulus langsung direkrut.” “Ah … begono …” Nafi manggut-manggut. “Pantesan!” “Kayaknya ruangan ini diisi orang baru semua, ya? Mas Usman aja yang enggak.” “Bisa jadi ada yang belum berangkat, atau dulunya ada something yang kita enggak tahu.” Aku mengedarkan pandangan, ternyata ada satu meja lagi yang tersisa. “Tapi masih ada satu meja, Fi, yang kosong. Kayaknya orang lama, deh, karena mejanya kelihatan full gitu.” “Nanti kita tanya-tanya orang itu kalau orangnya enak.” Nafi nyengir. “Sama Mas Usman agak takut soalnya.” “Oke, oke.” *** Namanya Mbak Umi, orang yang duduk di meja kosong yang tadi sempat kusinggung bersama Nafi. Oranganya sangat ramah, dan umurnya sudah berkepala tiga. Dia bilang, sudah lima tahun lebih dia bekerja di kantor ini dan mengaku masih betah. Kini, lengkap sudah rekan satu ruangan. Mas Usman, kepalanya. Mbak Umi, aku, Nafi, dan Imam adalah anggotanya. Jam sepuluh tinggal lima belas menit lagi. Jadi, aku, Nafi, dan Imam, sudah bersiap-siap. Ini pertama kalinya aku akan bertemu Pak Bos yang tadi Mas Usman singgung. Pasalnya, saat wawancara kerja, hanya HRD saja yang mewawancaraiku. Eh, ralat, ada satu orang lagi, tetapi aku lupa posisinya apa. “Kok tiba-tiba deg-degan, ya?” Nafi meremas tangannya. “Sama, Fi.” “Kita ini tim baru, Mbak,” balas Imam. “Oh ya?” “Iya, makanya kita baru semua. Mas Usman dan Mbak Umi dipindah buat nemenin kita.” “Kok kamu tahu, Mam?” tanyaku. “Ya tahulah. Kan aku magang di sini hampir setahun.” “Habis magang, baru skripsi?” Imam mengangguk. “Iya. Begitu lulus, aku ngabarin. Ya udah, akhirnya langsung direkrut. Dulu aku kerjaannya keliling divisi. Apa aja kukerjakan selagi dibutuhkan. Sistem kantor ini juga kadang berubah-ubah sesuai kebutuhan. Terkahir, ya, saat Pak Bos ganti.” “Jadi ini Pak Bos baru, gitu?” “Ya enggak baru-baru banget, sih. Udah satu tahun lebih. Dulu saat aku magang pertengahan, dia baru menjabat.” “Kalau sebelumnya siapa?” “Ya ayahnya. Kan ini berawal dari perusahaan perorangan. Jadi, ya, emang turun temurun aja yang mimpin. Katanya sempet dipimpin perempuan, tapi bentar banget.” “Ah … gitu, ternyata.” Aku dan Nafi kompak manggut-manggut. “Masih muda, Mbak, Pak Bosnya. Baru tiga puluh tahun, kali, ya? Ya kisaran itulah. Naik turunnya enggak banyak.” “Untuk ukuran bos perusahaan yang udah cukup gede gini, tiga puluh itu muda banget, gile.” “Ya emang.” “Ganteng enggak, Mam?” tanya Nafi dengan senyum yang membuatku dan Imam tertawa. “Ganteng. Orangnya ramah juga, kok. Enggak yang kaku dan nyeremin gitu. Bos yang lama malah lebih ramah lagi.” “Jadi kerja di sini tekanannya enggak terlalu besar, ya, Mam?” “Belum berani nyimpulin yang gimana-gimana, sih, Mbak. Soalnya dulu aku cuma magang. Tapi selama setahun itu, aku enjoy banget, sih. Makanya waktu ditawarin mau direkrut, langsung mau.” “Ya memang harus mau. Cari kerja di luar itu sulit. Peluang sebagus ini masa mau diabaikan gitu aja.” Imam tertawa. “Bener, sih.” “Udahlah, ayo naik. Jangan ngobrol terus. Enam menit lagi, nih. Jangan telat.” Aku mengingatkan. “Ya udah, ayo!” Akhirnya, aku, Nafi, dan Imam, beranjak keluar dan segera menuju lift. Kami naik menuju ruangan Pak Bos yang katanya ramah itu. Ya, semoga saja benar. Terkadang, ada tipe orang yang ramahnya pilih-pilih. Kalau sampai benar begitu, bisa gawat kalau aku termasuk yang tak terpilih. “Mam, duluan aja, kamu! Kamu yang ketuk pintu!” Nafi mendorong Imam. “Kan kamu anak lama.” “Anak baru, aku, Mbak. Magang enggak dihitung.” “Udah, buruan, Mam.” Imam mencebik pelan. “Iya, iya.” Akhirnya, Imam mengetuk pintu. Akus sendiri berdiri paling belakang. “Masuk!” Terdengar suara dari dalam. Imam membuka pintu, lalu dia langsung masuk. Aku dan Nafi menyusul kemudian. “Silakan duduk dulu. Habis ini saya kasih arahan. Harus saya yang turun langsung karena ini adalah proyek yang benar-benar baru.” “Baik, Pak.” Jujur, aku sangat familiar dengan suaranya. Aku belum bisa melihat wajahnya karena dia duduk menghadap jendela dan membelakangi kami. “Deg-degan, Mil,” bisik Nafi lirih. “Ssst! Jangan ngomong dulu.” Berselang beberapa detik, akhirnya orang itu berdiri dan menoleh. Di saat yang sama, aku tersedak ludahku sendiri. “Mil! Kenapa? Kok tiba-tiba batuk?” Nafi menepuk-nepuk punggungku. “E-enggak, enggak papa. Maaf, m-maaf …” Saat aku mendongak, mataku dan mata Pak Bos bertemu. Dia menatapku tajam, sementara aku langsung menunduk dalam-dalam. Sungguh, ini gila! Jadi … dalam beberapa waktu kedepan, aku akan bekerja dengan matanku sendiri? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD