“Silakan kalian keluar, kecuali Mila.”
Ucapan Mas Rivan membuatku mendongak. Nafi dan Imam seketika saling pandang, aku pun menatap mereka bingung.
“S-saya, M—Pak?”
“Pengiklan akan jadi kunci utama produk ini sukses di pasaran. Makanya, saya perlu diskusi lebih lanjut. Daripada membuang waktu Nafi dan Imam, lebih baik kalian berdua kembali ke ruangan dan bertanya pada Usman tentang apa yang harus kalian kerjakan hari ini.”
“A-ah, baik, Pak.” Nafi dan Imam kompak mengangguk.
Mereka berdiri, lalu bergegas pergi. Saat Nafi melewatiku, aku menahan tangannya. Dia menggeleng pelan, lalu menarik diri. Sebelum menutup pintu, Nafi sempat menatapku dan mengepalkan tangannya seolah memberiku semangat.
Mas Rivan langsung berdehem keras begitu Nafi dan Imam pergi. Dia berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Aku mendelik melihatnya.
“K-kenapa dikunci Mas— eh, Pak?”
“Jangan sampai ada yang tahu tentang hubungan kita di masa lalu. Jangan lagi keceplosan manggil saya Mas. Pakai saya-kamu jika di kantor. Enggak ada aku-kamu. Di sini kamu harus profesional. Jangan campuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Mengerti?”
Aku menunduk, lalu mengangguk. “Baik,” jawabku pelan.
“Tapi sebelumnya saya mau tanya kamu, Mil.”
Mendengar Mas Rivan menggunakan kata ‘saya’, entah kenapa seketika aku merasa kami ini seperti sangat berjarak. Ya, memang sebelum ini kami juga sudah sangat berjarak. Namun, dulu kami pernah sedekat itu. Tak hanya dekat, kami bahkan pernah menjalin hubungan asmara.
Jangan bayangkan hubungan kami hanyalah asmara ala-ala. Meski hanya sebulan pacaran, tetapi sangat berarti. Pasalnya, sebelum jadian pun kami sudah seperti orang pacaran.
Kami sering menghabiskan hari di perpustakaan. Dari pagi sampai sore. Ambil jeda hanya untuk makan atau hal-hal yang memang harus dilakukan.
Mas Rivan juga sering mengantarku pulang ke Gunungkidul meski menaiki dua motor yang berbeda. Dia mengendari motor di belakangku hanya demi memastikan aku tiba di rumah dengan selamat. Ini sering dilakukan saat weekend karena aku pasti pulang ke rumah. Sekedar informasi saja, meski aku masih orang Jogja, tetapi aku tetap ngekos di dekat kampus.
“Tanya apa?” balasku setelah terdiam beberapa saat.
“Saya enggak peduli kamu cerai karena apa. Tapi kenapa kamu harus ke Jakarta dan bekerja di sini? Apa kamu sengaja?”
“Sengaja apanya? Aku— eh, saya bahkan enggak tahu menahu kalau Pak Rivan udah jadi bos di sini. Saat saya melamar kerja di sini, saya lihatnya yang mimpin perusahaan ini masih Pak Wardanu.”
“Wardanu itu Papa saya. Memang ada beberapa bagan informasi yang belum diubah.”
“Mana saya tahu!” tanpa sadar, suaraku sudah meninggi.
“Kamu berani menaikkan volume suaramu? Ingat posisimu, Mil. Jaga nada bicaramu.”
“A-ah … maaf, saya enggak bermaksud.”
“Oke, saya maafkan.”
Aku mendengus pelan. “Saya, saya, kaya enggak pernah manggil sayang aja.”
“Apa kamu bilang?”
“A-apa? Emang saya ngomong apa? Enggak ada, kok.” Aku buru-buru menggeleng.
“Ya sudah, kamu keluar.”
“Lho? Katanya mau bahas iklan?”
“Enggak ada. Saya hanya buat alasan untuk dua temanmu itu. Akan aneh kalau saya asal menahanmu tanpa alasan yang masuk akal bagi mereka.”
“Oh.” Aku mengangguk. “Ya sudah, Pak, saya permisi.”
“Iya—”
“Eh, tunggu!”
“Kenapa?”
“Karena Pak Rivan melarang saya mengungkit hubungan masa lalu kita dan menyuruh saya profesional, saya harap Pak Rivan juga begitu. Jangan hanya menekan saya.”
“Maksudnya?” Kedua alis Mas Rivan bertaut. Bagian ini masih persis sama seperti dulu.
“Tolong jangan memanfaatkan saya lebih dari yang memang sudah jadi jobdesk saya.”
“Tapi saya berhak menambah jobdesk-mu—”
“Jika disertai bonus yang setimpal, itu enggak masalah. Lebih banyak, lebih bagus.”
Kini mata Mas Rivan menyipit. “Kamu sebutuh itu dengan uang sampai rela merantau di Jakarta di saat orang tuamu saja berkecukupan di Jogja? Ada apa sebenarnya?”
“Ini masalah pribadi, Pak. Saya berhak enggak jawab. Permisi!”
Tanpa menunggu balasan Mas Rivan, aku keluar ruangan. Aku berjalan cepat menuju lift. Begitu masuk, aku langsung menyandar pada dinding.
Kupegangi dadaku yang terasa sangat nyeri. Aku ingin menangis, tetapi kutahan-tahan.
Sejak kapan duniaku jadi sebercanda ini?
***
“Mbak Mila, Mbak Mila … tunggu!” aku berhenti ketika mendengar Ibu Kos memanggilku. “Iya, Bu, ada apa?”
“Ini tadi ada paket buat Mbak Mila.”
“Buat saya? Saya enggak lagi pesan apa-apa, lho.”
“Entah, Ibu cuma bantu nerima. Kurirnya bilang ini barang mahal. Jadi, dititipkan ke Ibu.”
“O-oh, iya, iya. Terima kasih banyak, ya, Bu.”
“Sama-sama, Mbak.”
Aku menerima paket itu, lalu menyipitkan mata. Aku membaca nama si pengirim, itu adalah sebuah toko yang aku sendiri tidak tahu menjual apa.
Aku buru-buru naik ke lantai dua dan masuk kos. Bicara kos, aku ambil kos yang sistemnya tinggal pakai, bukan kosongan.
Di Jakarta yang notabene kebutuhan hidup jauh di atas Jogja, kos yang kusewa ini termasuk sangat worth it. Satu bulan hanya satu juta delapan ratus, padahal sudah ada ranjang, bantal, lemari, meja belajar, AC, wifi, juga kamar mandi dalam. Memang belum listrik. Ya, katakan dua juta sudah bersihlah. Toh aku menggunakan kamar hanya di malam hari saja.
Lebih dari itu, yang paling kusukai adalah lokasinya yang dekat dengan kantor, dekat pula dengan para penjual makanan. Berasa hidden gem yang aku yakin tidak banyak orang tahu. Aku menemukan kos ini juga karena Ibu kos masih kerabat dari ibu temanku.
Oh, iya. Namanya Ani, dia adalah teman yang sempat kusinggung. Dia orang asli Jakarta yang dulu sempat kuliah di Jogja. Kami tidak satu jurusan, hanya pernah satu UKM pecinta alam.
“Apa ini? Barang mahal? Masa perhiasan? Enggak mungkinlah!”
Aku mengambil gunting dan membuka kardus itu. Tak lupa, aku juga merekamnya dengan ponselku yang layarnya sudah retak karena dibanting Mas Andra.
Meski retak, tetapi masih bisa digunakan. Jadi, aku belum ganti ponsel. Nanti saja kalau sudah gajian aku beli baru. Uang dari Akmal akan kusimpan dulu dan akan kugunakan kalau kepepet saja. Pokoknya aku wajib hemat dan bijak mengelola keuangan.
“Hah? Apa maksud?” aku menganga begitu melihat isi paket. Panjang umur sekali, ternyata isinya ponsel. “Siapa yang ngirimin? Enggak salah alamat, kan, ya?”
Aku mengambil kardusnya, lalu membaca ulang si penerima. Benar, paket ini memang ditujukan padaku. Kamila Dahayu Kamandhani.
“Apa dari Ayah, ya?” aku mengambil ponsel itu, lalu memeluknya. “Iya, pasti dari Ayah. Soalnya Ayah tahu hape-ku rusak.”
Aku buru-buru mengetik pesan ke Ayah. Sudah pasti, aku ingin berterima kasih. ‘Yah, makasih banget. Paketnya udah sampai di tanganku dan aman.’
Pesanku langsung dibaca, tetapi tak dibalas. Tidak masalah. Sejak aku bercerai, Ayah memang begini. Dibilang perhatian, ya perhatian. Dibilang cuek, ya cuek.
“Aaak! Asik! Enggak harus ngurangin gaji buat beli hape.” Aku memeluk ponsel itu lagi. Melihat merk dan serinya, harganya tidak akan jauh dari harga motorku. Kalau beli sendiri, aku jelas akan beli merk yang berbeda demi menghemat budget.
Aku merebah di ranjang, lalu melamun menatap langit-langit kamar. “Aku janji, Yah, utangnya bakal aku lunasin secepatnya. Aku akan bekerja enggak kenal lelah di sini. Maafin aku yang udah bikin Ayah sama Ibu malu.”
Tanpa sadar, air mataku langsung menetes. Aku menangis terisak cukup lama. Karena terlalu lelah, aku sampai ketiduran.
***
“Wah, hape baru, nih!” celetuk Nafi saat aku berjalan ke arah printer dekat meja Imam. “Belum juga dua minggu kerja, udah kebeli aja tuh hape pro max.”
“Dikirimin Ayah, hehe.” Aku nyengir. “Kalau beli sendiri belum mampu.”
“Hape-mu emang udah rusak parah, sih, Mil,” sahut Mbak Umi.
“Sebenarnya enggak separah itu, Mbak. Yang parah itu antigoresnya aja, kok. Layarnya masih normal. Meski busuk gitu, tetap mau aku pakai.”
“Buat hape kedua, ya?”
“Iya.”
Setelah selesai print, aku memilah mana saja berkas yang harus kuserahkan pada Mas Usman dan mana yang kusimpan sendiri. Aku juga menyatukannya dengan berkas kemarin.
“Oh, iya. Mas Usman enggak berangkat, ya? Ini kemarin presentasi kita ditaruh mejanya aja, berarti?” tanyaku beberapa saat kemudian.
Alih-alih menjawab, Mbak Umi dan Nafi malah kompak menatap ke arahku. Imam juga tak mau ketinggalan. Tiga orang ini tiba-tiba balapan menaruh map milik masing-masing di mejaku.
“Di grup, Mas Usman udah pesan, Mil. Suruh kasih Pak Rivan langsung. Kamu aja, ya?” ucap Mbak Umi yang langsung membuatku menggeleng.
“Enggak, ah! Enggak mau. Mbak Umi ajalah! Mbak kan karyawan lama.”
“Justru karena aku karyawan lama. Pak Rivan suka random banget tiba-tiba nyebutin kesalahan karyawan hanya dengan tahu namanya. Aku pernah hampir jantungan karena berasa dikuliti. Ya sebenarnya enggak kekurangan aja, sih. Kalau kerjanya bagus, dia juga enggak segan memuji.”
“Ingatannya bagus, dong, Mbak?” balas Nafi.
“Banget, banget, bangeeet!”
“Otaknya emang encer luar biasa, sih,” balasku. “Dia itu lulusan terbaik saat S2. Padahal jurusannya Teknik Mesin. Dia bisa ngalahin jurusan lain. IPK-nya aja empat. Keren, kan?”
“Hah? Kok kamu tahu, Mil?”
Aku kaget sendiri saat sadar sudah keceplosan. Ketika aku mendongak, baik Imam, Nafi, ataupun Mbak Umi, sedang menatapku. Aku sendiri perlahan meringis.
“Sebagai karyawan yang baik, aku kepo-in bos besar kita. Biar lebih kenal aja, sih. Aku bahkan tahu kalau dia kuliah di Jogja buat S2-nya aja. S1-nya di Jakarta. Iya, kan?”
Jantungku rasanya seperti akan copot karena ketiga temanku ini tak kunjung merespon.
“Aku juga tahu, dia punya kakak perempuan,” lanjutku. “Tapi udah, itu aja tahunya.”
“Awas aja kalau kamu berani nikung kami, Mil!” Nafi menatapku sok galak.
“Nikung apa, sih? Aku cuma mau tahu aja, bukan cari muka. Bedalah!”
“Ya udah, buruan kasih ke Pak Rivan.”
“O-oke, oke.”
Aku buru-buru bangkit dan ngacir keluar sebelum mereka menginterogasiku lebih dalam. Selama menuju lift, tak henti-hentinya aku memukuli mulutku sendiri. “Dodol banget! Bisa-bisanya nyerocos tanpa filter!”
Sesampainya di depan ruangan Mas Rivan, aku mengetuk pintu pelan. Sahutan ‘masuk’ langsung terdengar. Aku membuka pintu, lalu meringis. Mas Rivan hanya melirikku sejenak, kemudian kembali sibuk dengan berkas di depannya.
“Mas Usman enggak hadir, Pak. Jadi laporan mingguan saya yang ngumpulin.”
“Untuk soft file-nya?”
“Kami kirim ke email Mas Usman.”
“Habis ini kirim ke email saya.”
“Baik, Pak.” Aku mengangguk, lalu menaruh laporannya. “Kalau begitu, saya kembali dulu—”
“Tunggu!”
“Iya, Pak, gimana?”
“Tulis nomormu di sini.” Tiba-tiba saja, Mas Rivan menyodorkan sebuah ponsel.
“N-nomor saya? Nomor saya belum ganti, kok—”
“Kamu pikir saya masih menyimpan nomormu? Cepat tulis. Buat jaga-jaga kalau Usman enggak masuk.”
“A-ah, baik.”
Aku segera mengambil ponsel Mas Rivan dan mengetik nomoku di sana. Aku tersenyum saat menyadari ponselnya sama dengan ponsel baruku yang dibelikan Ayah. Hanya berda warna saja. Punyanya hitam, sedangkan punyaku silver.
“Kenapa kamu senyum-senyum? Ada yang lucu?”
“Enggak, enggak. Enggak papa.” Aku menaruh ponselnya di meja, lalu mendorong ke arahnya. “Sudah, ya, Pak. Saya permisi—”
“Tunggu dulu!”
Apa lagi, sih!
“Iya, Pak?” aku kembali tersenyum. Padahal, hati rasanya sudah sangat jengkel. Aku ingin buru-buru kembali ke ruangan.
“Kamila Dahayu, iklan minggu ini performanya cukup bagus.”
Senyumku seketika merekah. “Terima kasih—”
“Tapi …”
“Tapi?”
“Minggu depan dan seterusnya harus lebih bagus—”
“Siap—”
“Saya belum selesai bicara.”
“Ah, maaf. Saya terlalu bersemangat.”
“Kalau bulan ini melebihi target, akan ada bonus sepuluh persen gaji. Ini di luar gaji pokok dan bonus yang seharusnya.”
Mataku seketika mendelik. “Serius, Pak? Sepuluh persen?”
“Iya, serius.”
“Wah, terima kasih banyak, Pak. Saya akan bekerja keras untuk bulan ini.” Saking senangnya, aku tidak bisa berhenti tersenyum. “Semoga melebihi target awal.”
“Siapa yang nyuruh kamu senyum terus kaya gitu?”
“Hah?”
“Pastikan dulu target tercapai, baru memikirkan bonus tambahan. Jangan terbalik.”
“I-iya, Pak.”
“Sana keluar! Urusanmu sudah selesai!”
Aku berdehem pelan, lalu mengangguk. “Baik, Pak, permisi.”
“Ya.”
Aku buru-buru keluar, lalu meninju ke arah pintu. “Biasa aja, kali, ngomongnya! Kenapa segala marah-marah? Kaya dulu enggak pernah sayang-sayangan aja!”
***