Gaji pertamaku akhirnya turun juga. Aku tak berhenti melompat kegirangan saat melihat mutasi m-banking. Sebenarnya sudah dikirim sejak sore, tetapi baru aku cek begitu tiba di kos.
Rasanya memang senang sekali mendapat gaji lagi setelah sekian lama. Setahun terakhir ini aku hanya menerima uluran nafkah dari mantan suami, dilanjut menggerogoti tabungan sendiri sampai hampir ludes.
Kini, aku berpenghasilan lagi. Aku tak perlu khawatir untuk menghabiskan uang sedikit lebih banyak. Bukan berarti aku akan boros, tetapi setidaknya tak seirit kemarin.
Ternyata Mas Rivan tidak bohong soal bonus tambahan yang dia janjikan. Karena aku melebihi target awal, aku mendapat tambahan sepuluh persen. Sangat lumayan untuk mengurangi pengeluaran uang bayar kos.
Aku mengambil ponselku, lalu menelepon Akmal. Aku menunggu setidaknya lima kali dering sampai akhirnya anak itu mengangkat panggilan dariku.
“Hallo, Mbak? Kenapa?” tanya Akmal begitu panggilan tersambung.
“Kamu lagi di mana, Mal?”
“Di rumah temenku, Piyungan.”
“Oh, pas banget!”
“Maksudnya?”
“Aku tahu duitmu lebih banyak dariku. Tapi aku habis gajian pertama setelah kerja di sini. Aku transfer dua ratus ribu, terus minta tolong beliin jajan buat Ayah dan Ibu, ya. Ayah suka banget martabak daging dekat sekolahan SD pinggir jalan itu. Yang dekat apotek. Ibu suka martabak manisnya. Beliin itu, Mal.”
“Ok, siap. Aku pulang setengah jam lagi.”
“Iya. Habis ini aku transfer.”
“Ya.”
“Itu dua ratus ribu pasti sisa, kan? Kamu beli terserah. Kayaknya masih dapat es oyen kesukaanmu.”
Akmal tertawa. “Mau aku beliin cemilan aja buat nonton bola nanti malam.”
“Oke, oke. Sorry, Mal. Cuma segitu aja. Aku harus banyak nabung soalnya.”
“Santai aja, Mbak. Mbak enggak pakai kaya gini juga enggak papa. Tapi aku paham. Mbak pasti pengen nyicipin gaji pertama buat Ayah sama Ibu, kan?”
“Iya, bener. Kamu sendiri gimana freelance-nya?”
“Kabar bagus, Mbak. Kemarin projekanku berhasil lagi. Komisinya gede banget.”
“Sampai berapa?”
“Lima ribuan dollar.”
“Gila! Tuju puluh juta lebih?”
“Iya, kisaran itu. Soalnya ada potongan juga. Terus tergantung besok kurs dollar gimana. Tapi kan dibagi bertiga. Soalnya enggak cuma aku yang ngerjain.”
“Tetap aja gede banget!”
“Alhamdulillah, Mbak. Intinya Mbak jangan pikirin aku. Fokus nabung aja. Kalau mau jajanin Ibu dan Ayah, tinggal bilang. Pasti aku beliin.”
“Oke. Ya udah, Mal, aku tutup dulu. Makasih banget, ya!”
“Sama-sama, Mbak.”
Begitu panggilan selesai, aku merebah di atas kasur. Dua ratus ribu memang sangat kecil, tetapi kuusahakan orang tuaku ikut menikmatinya meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Terutama gaji pertamaku. Dengan begini aku berharap ada keberkahan di dalamnya.
Tiga ratus juta masih jauh sekali. Aku harus lebih giat lagi dalam bekerja. Seperti yang sudah kubilang, akan kucari bonus sebanyak-banyaknya.
“Ok, mandi dulu. Terus cari makan.”
Hanya butuh waktu sepuluh menitan untuk diriku mandi dan ganti baju. Aku melanjutkan dengan aktivitas lainnya, baru bergegas keluar.
Malam ini aku sedang ingin sekali makan yang berkuah. Aku lihat ada kedai ramen udon di deretan jalan raya dekat kosku. Tiap aku lewat, tempat itu selalu tampak penuh. Aku jadi penasaran seenak apa sampai pelanggannya tak habis-habis.
“Wah, penuh lagi, penuh lagi! Kaya enggak pernah sepi rasanya.”
Aku tidak menyerah, jadi aku tetap masuk. Aku segera ambil antrean dan memesan menu yang kuinginkan. Baru setelah itu, aku menunggu di bangku yang telah disediakan untuk para pengantre.
“Meja di sana kosong, Kak.” Tiba-tiba ada seorang pelayan menghampiriku. “Untuk kakak sendiri, kan? Itu mejanya single.”
“O-oh iya. Terima kasih banyak, Kak.”
“Sama-sama. Sudah ambil antrean pesan, kan?”
“Sudah, sudah. Saya ke sana dulu.”
“Baik, silakan.”
Aku buru-buru melangkah ke arah meja yang ditunjuk. Aku baru sadar kalau meja di sini bervariasi. Ada yang kecil hanya untuk satu orang, ada yang sedang untuk dua sampai tiga orang, lalu ada pula yang lebih besar lagi untuk lima orang atau lebih.
Aku masih menunggu ramen pesananku datang ketika tiba-tiba ada anak perempuan menghampiriku. Dia tersenyum lebar, menunjukkan giginya yang berderet rapi. Anak ini cantik sekali. Kulitnya putih bersih.
“Hai, Dek! Wah, cantiknyaaa!” aku menoel pipinya gemas. “Mama mana?”
Anak itu terlihat bingung. Dia celingukan kanan dan kiri. Sampai ketika, dia tiba-tiba menangis.
“Eh, eh, eh! Sini, sama Tante. Jangan nangis … cup, cup, cup!”
Anak ini mau kubawa ke pangkuanku. Kini giliran aku yang celingukan mencari orang tuanya. Kutebak umurnya kisaran tiga sampai empat tahunan. Sudah bisa jalan tegak, tetapi bicaranya belum selancar itu. Sejak tadi dia hanya diam. Atau bisa saja, dia diam karena takut.
“Mama mana? Kok Adek sendirian?” tanyaku dengan nada yang sangat rendah.
“Mama … di sana!”
“Di sana? Mau Tante antar ke sana?”
“Enggak!”
“Kok enggak? Terus Mau sama Tante?”
Anak itu mengangguk dan tersenyum lucu. Aku ikut tersenyum, lalu kucium pipinya. “Gemes banget, sih—”
“Shenna! Shenna!”
Aku langsung menoleh begitu mendengar seseorang memanggil-manggil sebuah nama. Dia seorang perempuan muda, mungkin umurnya kisaran tiga puluh limaan. Naik turunnya sedikit, aku yakin. Tipe-tipe Mama muda yang sudah matang.
“Bu, Ibu!” aku berdiri dan melambaikan tangan.
Perempuan itu langsung menghela napas lega begitu melihatku membawa anaknya. Benar, kan, dia adalah ibu dari anak ini?
“Adek, ih! Bikin Mama khawatir aja!”
Perempuan itu langsung mengulurkan tangan dan anaknya mau dibawa serta. Aku segera menunduk sejenak dan tersenyum.
“Terima kasih banyak, Mbak. Maaf, ya, anak saya jadi ngerepotin.”
“Enggak, kok, Bu.” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak ngerepotin sama sekali.”
“Tante!” anak itu mengulurkan tangannya ke arahku.
“Mau kenalan sama Tante?” tanya Ibunya.
“Iya!”
Perempuan itu mendekat dan membiarkan tangan anaknya kembali terulur padaku. Aku segera menyambutnya dengan kedua tangan.
“Tante namanya Mila,” ujarku ramah.
“Aku Shenna, Tante,” sahut Ibunya yang menirukan anak kecil.
“Namanya cantik banget.”
“Makasih banyak, Tante.”
“Mama!” kini tiba-tiba ada anak laki-laki yang sudah cukup tinggi datang menghampiri. “Itu Papa udah nungguin.”
“Iya, bentar. Ini adikmu hilang! Kamu disuruh jagain, kok, malah dibiarin. Enggak bisa dipercaya!”
Anak laki-laki itu malah tertawa pelan tanpa dosa. Bahkan saat mendapat jeweran pun dia tidak protes. Mungkin dia mengakui kesalahannya.
“Sapa Tante dulu. Dia yang nemuin adikmu.”
Anak laki-laki itu mengangguk padaku. “Terima kasih, Tante.”
“Iya, sama-sama.”
“Ya sudah, Mbak, kami ke sana dulu. Sekali lagi terima kasih.”
“Sama-sama, Bu.”
“Siapa tadi namanya? Mila, ya?” tanya perempuan itu yang langsung kuangguki.
“Iya, saya Mila. Kamila.”
“Oh, iya. Saya duluan, Mbak Mila.”
“Iya, Bu.”
Akhirnya, perempuan itu pergi bersama kedua anaknya. Padahal masih tampak sangat muda, tetapi sudah memiliki dua anak. Mana keduanya sama-sama good looking.
“Eh, tapi bentar. Kok fitur wajahnya kaya enggak asing, ya? Apa aku pernah lihat di suatu tempat? Tapi di mana?”
***
“Mil, Mila! Gawat, Mil!” datang-datang, Nafi langsung menggandeng tanganku. Dia juga mengapit lenganku. Kami bahkan baru saja tiba di parkiran.
“Kenapa? Apa yang gawat? Tiba-tiba, kok, kaya gitu?”
“Ruangan kita katanya mau ketambahan rakyat baru.”
“Lah? Siapa? Emang cukup mejanya? Ruangan kita, kan, kecil, enggak kaya yang lain.”
Dibanding ruangan lain, ruanganku ini memang paling kecil. Ruangan lain bisa diisi sepuluh meja atau lebih, sedangkan ruanganku maksimal hanya lima atau enam. Kalau dipaksakan lebih, akan terasa berdesakan.
“Nah, itu! Aku mikirnya juga udah pas banget diisi berlima. Kalau satu lagi, mau ditaruh di mana, coba?”
“Kamu kata siapa, emang? Di grup perasaan masih pada diem-diem bae.”
“Jadi, kemarin aku pulang telat, dan aku denger obrolan Mas Usman sama bapak-bapak dari lantai atas. Enggak tahu namanya. Pokoknya orang pentinglah.”
“Terus? Apa yang mereka obrolin?”
“Lupa detailnya, tapi yang jelas bilang mau ada anggota baru di ruangan pojok lantai tiga. Ya itu jelas ruangan kita. Kedatangannya udah ditunggu, katanya.”
“Ya udah. Kalau terpaksa harus nambah orang, nanti bisa diatur lagi mejanya biar muat enam. Enggak usah panik dulu.”
“Emang, sih, masih muat kalau diatur. Cuma kayaknya jadi agak padat aja.”
“Enggak papa. Yang penting punya masing-masing komputer dan enggak ganggu satu sama lain. Pasti ada pertimbangan lebih kenapa nambah anggota.”
“Iya, sih. Bener juga.”
Aku dan Nafi jalan beriringan menuju ruangan kami. Saat aku masuk, aku langsung salah fokus dengan laki-laki yang duduk di meja Imam.
Aku tidak sedang terpana atau semacamnya. Justru saat ini aku sedang kaget karena laki-laki itu kukenal dengan baik.
“Mas Nugra?” Namanya memang Nugraha. Orang-orang memanggilnya Nugra. “Kok Mas Nugra bisa di sini?”
Mas Nugra ini dulu salah satu mentorku saat aku belajar buat campaign iklan. Dia juga jadi pembicara di banyak seminar. Kemampuannya soal pengiklanan sudah tidak bisa diragukan lagi.
“Eh, Mil. Kamu kerja di sini, sekarang?”
“Iya, Mas.”
“Aku juga kerja di sini sekarang.”
“Hah?”
Ini apa maksudnya? Kenapa orang sehandal Mas Nugra harus bekerja satu level denganku? Kenapa aku mendadak berdeba-debar?
Tidak, ini jelas bukan debaran cinta. Melainkan entah kenapa aku mendadak cemas dengan posisiku. Masalahnya, kami sama-sama pengiklan. Kalau adu keahlian, jelas aku mundur teratur. Mas Nugra ini sudah handal di periklanan jauh sebelum aku terjun. Namanya juga mentor.
“Kok hah? Ya aku kerja di sini. Offering-nya bagus, jadi aku ambil. Kebetulan aku pindah Jakarta dan aku lagi males kerja ke sana dan kemari. Pengen netap aja.”
“Oh, ditawarin, to? Pantesan.”
“Iya, Mil.”
Dari sini saja sudah terlihat jelas perbedaannya. Aku melamar, sedangkan Mas Nugra dilamar. Bisa dibilang begitu, kan?
“Skill dan pengalaman emang enggak pernah bohong, ya, Mas? Yang lain tes masuk, eh, Mas Nugra malah ditawari.”
Mas Nugra tersenyum. “Ya gitulah, Mil.”
Saat aku duduk, Nafi langsung menyenggolku. Dia juga berbisik pelan.
“Kok kamu kenal, Mil? Apa orang Jogja?”
“Iya, tadinya orang Jogja. Aku belajar ngiklan dari dia. Orangnya pinter banget, asli. Maksudnya, kalau ngomongin tak-tik iklan, ya.”
“Umuran siapa dia?”
“Cuma satu tahun di atas kita, kayaknya. Masih muda, kok. Dia dulu emang enggak kuliah, tapi langsung berkecimpung di dunia periklanan bareng saudaranya. Jadi soal iklan, bisa dibilang udah suhu banget.”
“Kok aku mencium bau-bau enggak enak, ya?” Nafi meringis.
“Soal aku, kan?”
“Iya.” Nafi mengangguk pelan. “Takutnya kamu ketendang. Kamu bikin salah apa, Mil?”
“Salah apa? Aku aja malah dapat bonus tambahan lagi bulan ini. Bagus, kan, penjualannya? Kamu, loh, juga dapat bonusnya. Ya meski masih perlu ditingkatkan, tapi kan stabil. Enggak ada bikin salah, kok, rasaku.”
“Tapi kenapa harus rekrut pengiklan lagi, ya? Yang lebih handal pula.”
Aku mengedikkan bahu. “Entah. Mana kutahu—”
“Mil, dipanggil Pak Rivan!” tiba-tiba terdengar suara Mas Usman.
“Aku, Mas?”
“Yang namanya Mila cuma kamu, kan?”
Aku nyengir. “Iya. Emang Pak Rivan udah berangkat, ya? Pagi amat.”
“Buruan naik. Udah ditunggu.”
“O-oke.”
Aku bergegas keluar dan buru-buru naik menuju lantai tempat ruangan Mas Rivan berada. Entah kenapa, firasatku buruk. Jatungku mendadak terus berdebar tak keruan.
Jelas, aku mikirnya Mas Rivan cari alasan untuk memecatku. Bisa jadi dia tidak nyaman kalau aku bekerja padanya. Bisa saja, kan? Toh dia berhak. Ya, meski alasanya akan sangat dipertanyakan karena kinerjaku dua bulan ini bagus-bagus saja.
Begitu tiba di depan pintu, aku mengetuk tiga kali. Seperti biasa, sahutan ‘masuk’ langsung terdengar tegas.
“Manggil saya, Pak? Apa saya ada salah?” tanyaku to the point. Aku sudah ingin tahu sekali apa yang sebenarnya terjadi.
“Nugra sudah datang?”
“Sudah.” Aku mengangguk. “Dia ada di ruangan.”
“Dia akan gantiin kamu jadi advertiser utama.”
“Hah?” mataku melebar. Aku segera mendekat dan berdiri tepat di depan Mas Rivan. “Kenapa saya harus diganti? Memangnya saya salah apa? Kalau Pak Rivan kurang puas sama kinerja saya, saya akan perbaiki dan bekerja lebih keras lagi.”
“Pertama, kamu enggak ada salah. Kinerjamu dua bulan ini cukup bagus.”
“Terus? Kenapa diganti? Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya butuh kerjaan.”
“Memangnya saya bilang akan memecatmu?”
“Kalau enggak? Kan saya diganti. Saya harus kerja apa kalau posisi saya diambil orang lain?”
Mas Rivan berdiri. Itu membuatku refleks mundur dua langkah.
“Kamu tahu ada ruangan di depan ruangan saya itu?”
“I-iya, tahu.” Aku megangguk.” Itu ruangan HRD, kan, ya?”
“Sampingnya lagi. Yang paling dekat dengan ruangan ini.”
“O-oh, iya. Ada. Tapi saya belum tahu ruangan itu milik siapa.”
“Itu ruangan sekretaris saya. Namanya Anton.”
“Ah, oke. Lalu?”
“Dia ngajuin resign karena mau pindah ke kampung halaman istrinya. Mendengar alasan detailnya, saya enggak bisa nolak lagi.”
“T-terus?” Aku agak bingung karena tiba-tiba Mas Rivan malah membahas sekretarisnya.
“Jam terbang pengiklanan Nugra dan kamu jelas bagus Nugra, jadi biar dia saja yang jadi advertiser. Kamu gantiin Anton.”
“Hah?” aku mendelik. “S-saya jadi s-sekretaris?”
Mas Rivan menatapku datar, tetapi agak tajam. “Kenapa? Enggak mau? Kalau enggak mau, surat pengunduran dirimu segera dibuat, biar saya tandatangani.”
“Mau, mau, mau!” sahutku tanpa pikir panjang. “Saya mau, Pak! Saya enggak mau mengundurkan diri.”
“Oke. Mulai besok kamu kerja di ruangan itu. Anton akan training kamu selama sebulan full.”
Meski bingung, aku tetap mengangguk. “B-baik, Pak.”
Bagaimana, ini? Aku harus senang atau sedih?
***