“Hah? Jadi sekretaris? Maksudnya?”
Nafi tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia bahkan sampai melongo cukup lama. Sebelum kemasukan serangga, kukibaskan tangan di depan wajahnya agar dia lekas sadar.
“Woy! Udahan kagetnya!”
“Ini serius, Mil? Tiba-tiba banget?”
“Iya, serius. Dan aku enggak tahu harus seneng atau sedih.” Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, merasa frustasi.
Nafi masih terlihat tak percaya. Wajar, aku pun masih merasa seperti mimpi. Baru dua bulanan aku kerja, tetapi sudah dipindahtugaskan ke bagian yang sama sekali bukan keahlianku.
Bagusnya, mungkin secara gaji akan lebih besar. Namun, secara jobdesk, aku tidak yakin sanggup. Terlebih, training-nya hanya satu bulan. Itu jelas waktu yang singkat.
Yang kutahu sejauh ini, tugas sekretaris itu sangat berat. Mereka bekerja tidak hanya di jam kerja saja. Mereka harus siaga kapan pun jika dibutuhkan atasan. Sesekali harus menemani lembur atau bahkan ke luar kota. Aku tidak bisa membayangkan akan selelah apa nanti.
Ah, belum-belum saja rasanya sudah lemas. Mau menyerah juga tidak mungkin. Aku bahkan belum memulainya.
Saat ini aku dan Nafi sedang makan di kantin perusahaan. Aku sengaja baru memberi tahunya sekarang karena tidak ingin yang lain heboh dulu. Mungkin setelah ini aku akan memberi tahu mereka pelan-pelan.
“Mil? Kok malah jadi diam aja? Ini kamu serius, kan?”
“Ya ampun! Iya, serius! Masa iya, hal beginian aku bohong?”
“Barusan kamu bilang enggak tahu harus seneng atau sedih. Kalau kataku, aturan seneng, sih. Peluang gaji lebih besar. Hehehe …” Nafi malah nyengir. “Soalnya bakal banyak bonus.”
“Kalau ngomongin soal gaji, mah, iya aja. Siapa yang enggak suka kalau dapat gaji besar? Tapi jobdesk-nya itu, lho! Udah kaya utara dan selatan kalau dibanding sama kerjaanku yang sekarang. Aku terbiasa kerja di balik layar. Yang penting orang tahu hasilnya. Coba kalau jadi sekretaris? Pasti akan sering tampil di depan. Terutama kalau lagi menggantikan bos yang berhalangan. Belum kalau bantu negosiasi dan lain sebagainya. Itu bukan aku banget! Makanya aku bingung harus seneng atau sedih. Gajinya oke, tapi jobdesk-nya enggak.”
“Iya, juga, sih. Kamu bener banget. Advertiser biasa bekerja di belakang layar. Hanya perlu komputer yang memadai, udah cukup. Sedangkan sekretaris akan sering unjuk diri dan sering mewakili Pak Bos kalau lagi enggak bisa. Kadang-kadang juga mimpin rapat. Ini kalau mengaca dari tempat kerjaku dulu. Misal Pak Bos lagi enggak bisa hadir, sekretarisnya semua yang atur.”
“Makanya, itu, Fi! Aku bingung banget sekarang.”
“Tapi kenapa random banget Pak Rivan pilih kamu, ya? Kenapa enggak karyawan lama aja? Maksudnya yang lebih nyambung dan lebih tahu soal kondisi kantor. Kamu, kan, bisa dikatakan masih anak bawang. Aku juga. Baru dua bulan, cuy!”
Aku mengedikkan bahu. “Mana kutahu. Aku aja bingung. Sumpah, deh, aku kaget banget tadi!”
“Kalau aku jadi kamu juga bakal kaget banget, sih. Tapi enggak langsung jadi sekretaris hari ini juga, kan?”
“Ya enggak. Mau di-training sebulan full katanya. Sama si sekretaris lama.”
“Ya mendinglah. Nanti sambil penyesuaian. Seengaknya kamu ada waktu buat belajar. Kamu, kan, pernah bilang kalau kamu ini pembelajar yang tekun. Kamu sempat nyinggung ini saat aku tanya-tanya kenapa anak Teknik Mesin jadi advertiser.”
“Kalau soal itu, aku mengakui. Tapi itu berlaku kalau aku minat. Kalau ini? Udah terlanjur bete, Fi. Serius!”
Masalahnya, alias masalah yang Nafi tidak tahu, Mas Rivan juga mantanku. Andai cari kerja itu mudah, aku akan cari kerja di perusahaan lain. Aku bertahan di sini karena butuh gajinya. Tidak lebih.
Sekalipun Mas Rivan bilang aku tidak boleh mengungkapkan hubungan masa lalu kami, tetapi ingatan saat-saat kami pacaran jelas tidak akan kulupakan begitu saja. Tidak hanya saat pacaran saja, tetapi sejak kami mulai benar-benar dekat satu sama lain. Saat kami HTS— Hubungan Tanpa Status— dalam waktu yang cukup lama.
Dulu kami benar-benar sangat dekat, tetapi kini terasa sangat asing. Dia bahkan memperlakukanku seperti aku ini orang yang tak pernah mengisi hari-harinya. Sungguh, itu menyakitkan!
Apa dia tidak ingat aku yang rela hujan-hujanan dari Gunungkidul demi ikut menyaksikan seminarnya? Saat itu dia memarahiku, tetapi dia juga terus berterima kasih karena aku menyempatkan datang. Kami juga mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan.
Apa dia tidak ingat kalau dia pernah membelikanku es krim super jumbo saat aku badmood karena motorku diserempet sampai kedua kaca spionnya patah? Apa dia juga tidak ingat kami yang lupa bawa jas hujan dan basah kuyup sampai akhirnya kompak sakit di hari yang sama?
Serius, aku tidak berharap kami balikan. Aku cukup tahu diri. Aku yang sekarang adalah janda, sedangkan dia adalah laki-laki single yang belum pernah menikah. Kasihan sekali kalau dia sampai dapat perempuan sepertiku.
Namun, apa dia tidak bisa memperlakukanku biasa-biasa saja? Maksudku, dia tidak perlu menekankan padaku untuk terlalu menjaga jarak. Aku dengan sendirinya akan tahu diri. Aku akan memposisikan diri sebagai karyawannya, cukup.
Dan sekarang, setelah semua ini, dia malah memintaku untuk menjadi sekretarisnya? Yang mana, kami akan semakin sering bersama.
Jangan-jangan, dia sengaja ingin menyiksaku? Keterlaluan!
“Mil …”
“Hm?”
“Pak Rivan pasti punya penilaian khusus kenapa kamu yang dia pilih. Aku yakin banget soal ini.”
“Entahlah. Aku bingung banget gimana harus nanggepin ini. Oke, aku sadar betul kalau Mas Nugra sama aku jelas kompeten dia soal bikin campaign iklan. Tapi kenapa kemarin perusahaan terima aku segala kalau pada ujungnya mereka masukin pengiklan baru? Hanya dalam dua bulan, pula. Aku kan bisa lamar di perusahaan lain.”
Tangan Nafi kini terulur mengusap pundakku. “Sabar, sabar. Aku yakin ada hikmahnya.”
“Aku takut banget ini cara Pak Rivan nyingkirin aku secara halus.”
“Maksudnya?”
“Dia kan tahu, posisi sekretaris bukan keahlianku. Dia mungkin yakin aku akan kesulitan dan tahu diri buat cepat resign.” Hal ini terpikirkan sejak aku keluar dari ruangannya tadi. Sebenarnya banyak sekali asumsi liar di kepalaku, dan aku tidak tahu mana yang paling tepat.
“Kalau sampai gitu, jahat banget, sih, asli!”
“Ya emang!”
“Tapi tetap aja, itu baru asumsi. Siapa tahu dia melihat potensi bagus dalam dirimu, jadi dia jadiin kamu sekretarisnya? Berprasangka baik aja dulu, Mil.”
Aku menghela napas panjang. “Ya udah. Udah terlanjur begini. Kedepannya akan kuhadapi apa pun rintangannya.”
“Semangat! Meski kita udah enggak jadi teman satu ruangan lagi, kamu jangan sungkan ngajak aku keluar. Eh, kayaknya malah aku yang sungkan ngajak Bu Sekretaris makan.”
“Enggak usah lebay, deh! Ajak aku kapan pun. Kalau bisa, aku pasti mau.”
Nafi tersenyum lebar. “Siap!”
***
“Mil, aku enggak bermaksud ngerebut posisimu, ya,” ucap Mas Nugra sore itu ketika tinggal kami berdua yang ada di ruangan. “Jujur, aku mendadak enggak enak. Aku enggak tahu kalau posisinya aku gantiin orang. Kupikir, ya, emang lagi butuh baru aja.”
“Santai aja, Mas. Kan suka-suka atasan maunya gimana. Ya jujur, aku juga agak kaget. Dari advertiser ke sekretaris itu jauh banget. Tapi ya udah. Mau gimana lagi?”
“Pak Rivan pasti punya alasan khusus kenapa kamu yang diambil.”
“Entah, deh.” Aku nyengir, berusaha terlihat baik-baik saja.
Meski aku sedih, kesal, kecewa, tetapi aku tidak bisa marah pada Mas Nugra. Dia hanya ditawari dan menerima. Yang menjadi masalah di sini tetap saja si pimpinan. Ya, meski aku tidak bisa menyebut masalah juga karena itu hanya berlaku untukku.
Pada akhirnya, sebagai bawahan aku hanya perlu ikut apa kata atasan. Jika sanggup, lakukan. Jika tidak, diperkenankan untuk pergi. Karena aku tidak bisa pergi, maka mau tidak mau aku harus bisa menerima dengan lapang d**a.
“Pa Rivan naksir kamu, kali, Mil.”
“Lah! Di kantor ini banyak yang jauh lebih cantik dan modis daripada aku. Aku juga anak baru. Kaya apa banget naksirnya sama orang kaya aku.”
“Emang iya? Sejak tadi aku lihat karyawan cewek, masih kamu yang paling cantik.”
“Ey! Jangan gitulah, Mas. Nanti aku salah paham malah bahaya,” balasku dengan nada bercanda.
“Aku bilang gini biar kamu senyum aja. Dan ternyata berhasil.”
Senyumku melebar. “Anggap gitu aja, kali, ya? Biar enggak nyesek-nyesek amat. Aku ditaksir Pak Bos, makanya dia maunya deket-deket sama aku terus.”
“Iya, gitu aja. Mana masih single, kan, Pak Bos-nya?”
“Iya. Kata Mbak Umi, sih, gitu.”
Soal Mas Rivan yang single ini, mulanya aku hanya menebak. Dan ternyata memang benar. Aku pernah bertanya secara tidak langsung pada Mbak Umi, dia bilang Mas Rivan belum pernah menikah.
Sejauh aku mengenal Mas Rivan, dia sepertinya bukan orang yang akan buru-buru menikah hanya karena sudah cinta atau semacamnya. Dia tipe yang memikirkan semuanya matang-matang. Ya, meski sesekali ada saja kecerobohan yang dia lakukan. Namanya juga masih manusia.
“Tapi ngomong-ngomong, Mil, sejujurnya aku kaget kamu tiba-tiba di Jakarta. Soalnya … ya itu.”
Sudah pasti begitu. Terlebih, Mas Nugra kenal Mas Andra. Dia bahkan kondangan saat aku menikah karena memang kuundang.
“Masa depan emang enggak ada yang tahu, ya, Mas? Kupikir aku akan jadi ibu rumah tangga paling bahagia setelah menikah dengan Mas Andra. Eh, enggak tahunya malah kaya numpang lewat dan berujung jadi b***k korporat Ibu Kota.”
“Maaf, ya, tiba-tiba bahas mantanmu.”
Aku buru-buru menggeleng. “Enggak papa, kok. Santai aja. Tapi kalau boleh minta tolong, jangan bahas dengan yang lain, ya, Mas? Emang, status janda sah-sah aja. Enggak ada hubungannya sama profesionalitas kita saat kerja. Cuma aku kurang nyaman aja kalau teman baru pada tahu kehidupan pribadiku.”
“Santai. Aku janji enggak akan bilang ke yang lain. Aku nyinggung ini biar kamu tahu kalau aku berusaha paham posisimu.”
Aku tersenyum lagi. “Makasih banyak, Mas.”
“Sama-sama. Ya udah, ayo pulang.”
“Iya.”
Aku dan Mas Nugra bangkit dan kami keluar bersama. Hari ini aku tidak naik motor karena motorku parkir di depan dan tidak sempat mengeluarkan. Tadi pagi aku juga bangun kesiangan, jadi aku berangkat naik ojek agar tidak telat.
“Pulangnya naik apa, Mil?” tanya Mas Nugra saat kami tiba di lobi.
“Aku biasanya naik motor sendiri. Dekat, kok, kosku. Cuma tadi pagi motorku parkir paling depan, mana motor di belakangnya banyak. Karena enggak sempet ngeluarin, jadi aku naik ojek biar cepet.”
“Aku antar aja, Mil. Gimana? Aku bawa motor juga.”
“Enggak usah, Mas. Lagian aku enggak bawa helm. Gawat kalau ketahuan polisi.”
“Aku ada helm dua, kok. Motorku jok-nya gede.”
“Hm … gimana, ya?”
“Selain irit biaya, juga enggak perlu nunggu jemputan Pak Gojek. Tahu sendiri, jam pulang kerja pasti ada aja macetnya.”
“Tapi punyaku bukan jalur macet, kok, Mas.”
“Ya minimal irit ongkos. Biar sekalian.”
Aku meringis. “Ya udah, iya—”
“Kamila!”
Aku berjengit kaget saat tiba-tiba namaku dipanggil. Begitu menoleh, ternyata Mas Rivan. Kini dia sedang berdiri kisaran lima meter dariku.
“I-iya, Pak?”
“Kamu ke sini.”
“Sekarang?”
“Besok. Ya sekarang!”
Aku menatap Mas Nugra. “Enggak jadi aja, Mas. Dipanggil soalnya.”
“Enggak papa. Aku tungguin. Enggak mungkin lama juga, kan? Orang udah jam pulang kerja. Kantor aja udah sepi.”
“Enggak, enggak. Aku naik ojek aja. Dekat, kok, beneran! Mas Nugra pulang dulu aja, enggak usah nungguin aku.”
Mas Nugra akhirnya mengangguk. “Ya udah. Aku duluan, Mil.”
“Iya. Hati-hati, Mas.”
Begitu Mas Nugra pergi, aku segera menghampiri Mas Rivan yang sedang bersedekap di dekat tiang besar. Aku celingukan, lobi sudah sangat sepi. Memang jam pulang kerja sudah sejak tadi.
“Gimana, Pak? Ada perlu apa?”
“Jangan lupa, besok langsung ke ruangan Anton. Dia sudah siap buat training kamu.”
“Iya. Saya akan lagsung ke ruangannya.”
“Enggak perlu ke ruangan lama.”
“Baik.”
“Ya sudah. Saya mau bilang itu aja.”
Aku menganga sejenak. “I-ini aja? Saya dipanggil hanya untuk ini?”
“Memangnya ada keperluan lain? Kamu bahkan belum resmi jadi sekretaris saya.”
Aku menghela napas pelan. Sabar, sabar.
Hanya karena suruhan sepele yang aku sendiri sudah tahu, aku harus kehilangan tumpangan pulang. Sayang sekali.
“Hehe, iya,” balasku akhirnya.
“Jangan remehkan kesempatan ini. Enggak semua karyawan dapat kesempatan yang sama. Apalagi yang baru sepertimu.”
“Iya, Pak.”
Padahal siapa juga yang minta? Aku lebih suka bekerja jadi advertiser!
“Ya sudah. Saya pulang dulu. Kamu juga boleh pulang.”
Mas Rivan kini berjalan melewatiku, membuat aroma parfum bercampur keringat menyerbu indra penciumanku. Wanginya masih sama seperti dulu, dan ini cukup membangkitkan kenangan lama.
Demi apa pun, aku tidak pernah membayangakan akan bekerja dengan mantan, apalagi dalam posisi yang sangat dekat begini. Amat sangat dekat.
Kurasa, lama-lama aku bisa gila!
***