7. Dingin, tetapi Hangat

1923 Words
“Kampung halaman istri Mas Anton di mana, kalau boleh tahu?” tanyaku siang itu saat istirahat sejenak bersama Mas Anton setelah sebelumnya aku diberi arahan dasar olehnya. Sejak pagi aku sudah berada di ruangan Mas Anton, dan sejak itu pula dia langsung sat-set menjalankan tugas yang sudah dilimpahkan Mas Rivan untuknya. Bicara Mas Anton, ternyata dia masih muda. Dia mengaku seumuran dengan Mas Rivan, hanya beda beberapa bulan saja. Mungkin karena mukanya sangat dewasa, jadi kupikir dia sudah hampir kepala empat. Ternyata dugaanku salah besar. “Istriku orang Blora, Mil. Jawa Tengah. Tahu atau enggak?” “Oh, ternyata di Blora. Tahu, tahu.” Aku mengangguk. “Jauh, Mas, dari Jakarta” “Iya, jauh. Dapatnya istri orang sana.” “Kenapa, kok, pindah Blora, Mas?” “Ayah mertuaku meninggal, Mil. Ibu mertuaku udah tua dan tinggal sendiri. Kebetulan istriku ini anak terakhir. Kemarin orang tua dirawat kakaknya, sekarang gantian istriku. Ya kebetulan rumah yang itu memang diwariskan ke istriku. Jadi masa tua mau kami habiskan di sana.” “Oh, gitu. Ya emang udah saatnya pulang kampung berarti, ya?” “Iya. Ini udah bisa dikatakan wajib. Kalau kemarin-kemarin masih ada aja alasan berlama-lama di sini.” Mas Anton tersenyum. “Kalau boleh tahu lagi, Mas Anton sendiri orang mana?” “Orang Boalemo.” “Hah?” aku melongo sesaat. “Boalemo itu mana, Mas? Maaf, ya, aku enggak tahu.” “Denger aja belum kayaknya, ya?” Aku nyengir. “Iya, belum. Baru pertama kali ini aku dengar kata Boalemo. Itu di mana, Mas?” “Boalemo itu salah satu Kabupaten di Provinsi Gorontalo. Tahu, dong, Gorontalo itu mana?” “Kalau Gorontalo jelas tahu. Sulawesi, kan?” “Iya, bener.” “Jauh banget, Mas. Gimana itu, caranya bisa ketemu istri?” “Waktu kuliah.” Mas Anton tersenyum lagi. Dilihat dari senyumnya, sepertinya dia sangat sayang dengan istrinya. “Cerita dikit, dong, Mas.” Aku meringis. “Entah kenapa, aku jadi penasaran. Tapi itu kalau Mas Anton enggak keberatan.” Mas Anton ini tipe cowok yang kalem dan soft spoken. Sejak dia menjelaskan banyak hal padaku, penuturannya selalu lembut. Aku yang cewek saja merasa kalah lembut darinya. Namun, lembut di sini sangat jauh dari kata gemulai. Suaranya tetap tegas, hanya memang nadanya rendah dan enak didengarkan. “Nanti bosen, kamu. Soalnya ceritaku bakal panjang.” “Enggak papa.” Aku melirik jam dinding. “Masih ada waktu ini. Mumpung lagi break.” Barangkali aku juga bisa mengambil pelajaran dari Mas Anton dan istrinya. Buat aku yang pernah gagal ini, rasanya ingin banyak belajar agar jangan sampai ada kegagalan yang kedua. “Oke, oke, aku cerita.” Lagi-lagi Mas Anton tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit menerawang. Jelas sekali dia sedang mengingat masa lalu. “Jadi, aku ini anak yatim piatu, Mil. Ayah dan Ibuku meninggal saat aku masih SMA kelas tiga. Aku juga anak tunggal, jadi enggak punya teman di rumah. Kerabat ada, tapi, kan, rumahku itu jauh dari mereka. Terus, ada guruku yang nawarin, mau atau enggak kalau dibawa temannya ke Jawa? Aku langsung mau. Aku nekat jual rumah ke orang, uangnya aku bawa ke Jawa buat pegangan. Bertahan di sana juga mau apa? Bingung. Sama kerabat enggak dekat. Takutnya malah aku cuma dimanfaatin.” “Terus, terus?” “Ya udah, aku dibawa teman guruku ke Jakarta. Awalnya disuruh kerja di toko, terus tiba-tiba ditawarin kuliah. Ya jelas aku mau karena dulu aku cukup berprestasi di sekolah. Rasanya sayang aja kalau enggak lanjut. Nah … waktu kuliah ini, akhirnya aku ketemu istriku.” “Temen sejurusan atau gimana, Mas?” “Iya, sejurusan. Tapi karena aku gap year satu tahun, umur kami bedanya hampir dua tahun. Istriku emang termasuk muda di angkatan. Saat udah pacaran, kami sempat putus nyambung.” “Kenapa gitu?” “Aku sering ngarasa enggak pantas buat dia, Mil. Ya gimanapun juga, aku sebatang kara dan enggak punya siapa-siapa. Tapi hebatnya, dia mau nerima aku apa adanya.” “Istri Mas Anton enggak mungkin mau nerima Mas Anton kalau enggak ada value lebih. Kalau dari satu aspek Mas Anton merasa jauh kurangnya, di aspek lain pasti banyak lebihnya.” “Begitu?” “Pastilah! Cewek itu selalu punya pertimbangan. Toh pada akhirnya, yang mau nikah sama dia kan Mas Anton, bukan keluarga. Malah ada keluarga yang justru jadi masalah di rumah tangga.” “Bener, sih.” Mas Anton mengangguk. “Ya udah, akhirnya aku berani ajak dia nikah setelah merasa ada duit cukup. Soalnya aku enggak mau istriku hidup susah. Minimalnya, tabungan ada. Jadi kami bisa mandiri. Aku harus jadi provider buat dia, bukan kebalik.” Inilah laki-laki yang keren. Mengajak perempuan menikah dengan persiapan. Sayangnya, masih banyak laki-laki yang asal menikah dan apa-apa masih bergantung dengan orang tua. Saking anak maminya, istri sampai dinomorsekiankan. Banyak orang yang salah kaprah soal ‘menikah dulu, nanti rezeki akan datang belakangan’. Aku tidak bilang istilah itu salah. Namun, pada kenyataannya, tidak sesederhana itu. Kalau istilah itu bisa ditelan mentah-mentah, kenapa banyak pasangan cerai karena faktor ekonomi? Pernikahan tidak pernah sederhana. Makanya perlu sekali yang namanya kesiapan mental dan finansial. “Mas Anton berapa tahun kerja di sini?” “Sepuluh tahun?” “Hah?” mataku melebar. “Sepuluh tahun banget?” “Itu dihitung sejak magang, sih, makanya lama. Saat skripsian pun aku tetap sambil magang. Pokoknya aku belum pernah pindah-pindah tempat kerja, Mil. Kecuali saat jaga toko aja. Sejak lulus kuliah, aku langsung kerja di sini.” “Ah … macam Imam, ya? Mas Anton tahu Imam atau enggak?” “Iya, tahu. Aku sering handle anak magang, kok. Ya memang anak magang di sini pasti ditandain. Kalau bagus, direkrut. Kalau enggak, ya dilepas.” “Oh … iya, iya, iya …” aku manggut-manggut. “Jadi beneran udah rela, Mas, menetap di Blora? Mas Anton, kan, udah biasa hidup di Jakarta yang kompetitif banget, sedangkan Blora kayaknya bakal slow living.” “Siap enggak siap, harus siap. Istriku udah banyak membantuku, jadi aku enggak mau mengecewakannya. Ya sekalian aku bakti sama mertuaku. Biar rasain lagi gimana hidup bersama Ibu.” Aku tersenyum. “Aku doain sukses terus di Blora sana, Mas.” “Aamiin. Makasih, ya Mil.” “Sama-sama.” Aku menghela napas panjang, lalu menelungkupkan kepala di atas meja. “Sebenarnya aku masih kaget, lho, Mas. Tiba-tiba ditarik jadi sekretaris. Takut banget bikin kesalahan. Ini sama sekali bukan keahlianku soalnya.” “Tenang, Mil. Pak Rivan itu emang agak perfeksionis, tapi dia masih cukup manusiawi dalam menegur. Jujur, aku lebih takut sama Papanya, sih. Pak Danu. Orangnya emang humoris. Cuma kalau udah marah, serem.” Aku menegakkan badan. “Ini, kan, ada waktu satu bulan, ya, Mas. Hal-hal sekecil apa pun tolong kasih tahu, ya? Aku akan catat detailnya. Biar enggak kelimpungan kalau Mas Anton bener-bener udah lepas.” “Pasti. Satu bulan ini, kan, kamu udah sambil praktek. Cuma masih aku bantu. Bulan depan baru udah kamu semua dan aku lepas tangan.” “Yang paling sulit dari pekerjaan sektretaris apa, sih, Mas?” “Apa, ya? Sebenarnya relatif, sih. Tergantung kondisi juga. Mood kita juga akan berpengaruh.” “Kalau sebutin salah satunya aja?” “Hm … ngadepin mood Pak Bos.” Aku tertawa.”Emang cowok bisa moody, Mas?” “Jangan dikira enggak. Kami juga masih manusia. Kadang emang ada klien ngeselin atau karyawan bikin kesalahan fatal. Jadi, ya, emosi Pak Bos kadang enggak stabil. Sama paling kalau nyuruh maunya instan. Padahal, enggak semua hal bisa instan. Cuma sejauh ini masih okelah. Ya kerja apa pun pasti ada masa enak dan enggak enaknya. Tapi yang jelas, aku enjoy.” Aku mengangguk. “Baiklah. Aku akan terus menyesuaikan.” “Tenang aja, Mil. Pak Rivan baik, kok. Dia orangnya enggak tegaan. Kadang emang ngomongnya nyelekit, tapi dia masih mau minta maaf kalau sadar agak keterlaluan. Tapi kalau kita yang salah fatal, ya, jangan harap. Pada intinya, pokoknya dia masih masuk kategori baik.” “Aku tahu itu, sebenarnya. Dia emang baik banget.” “Bentar!” kedua alis Mas Anton seketika menekuk. “Nadamu kenapa seolah kalian ini deket?” Aku tersentak. “E-eee, maksudnya kemarin waktu sempat diskusi itu dia kelihatan baik. Memang lumayan ramah. Tapi galak juga kadang-kadang.” Aku pura-pura batuk untuk mengurangi grogiku. Rasa-rasanya, jawabanku juga terdengar asal. “Oh … itu bener, sih. Pokoknya dibuat tenang aja. Semua orang wajar berbuat salah, jadi jangan takut sampai yang gimana-gimana. Yang penting kita berusaha kasih yang terbaik.” “Iya, Mas.” Aku mengangguk paham. “Eh, tapi kalau ada dinas ke luar kota gitu, ikut enggak?” “Jelas. Kita yang mesen semuanya, malah. Pak Rivan tinggal berangkat.” “Hotelnya harus bintang lima?” “Kondisional. Besok kita bahas lagi. Jangan buru-buru ditanya semua. Nanti aku jelasin pelan-pelan dan kamu catat semuanya.” “Oke, deh. Ya udah, Mas, aku turun dulu. Ini mejaku masih terombang-ambing. Sama aku mau selesaiin kerjaan di bawah sebelum besok diambil Mas Nugra sepenuhnya.” “Besok udah disiapin di sini, Mil. Tadi aku udah bilang ke Pak Rivan. Biar dudukmu enggak harus di depanku.” “Siap, Mas!” Akhirnya, aku keluar ruangan Mas Anton. Jujur, aku mendadak merasa kehilangan setengah semangatku. Aku masih merasa jadi sekretaris bukan passion-ku. Sejak awal aku tidak ada niat mengambil posisi ini. Namun, aku betul-betul tidak siap untuk resign. Aku butuh uang yang banyak. Sama saja bodoh kalau aku sampai resign hanya karena ini. Pasalnya, mencari kerja tidak mudah. Ini saja, sebetulnya aku cukup beruntung. Aku berhenti di depan lift, lalu menekannya. Aku menunggu sesaat, pintu pun akhirnya terbuka. Saat Aku hendak masuk, tiba-tiba sudah ada orang yang masuk lebih dulu. Mataku kini mengerjap bingung. Aku tidak salah lihat? “Kenapa bengong? Enggak mau masuk?” “Kenapa p-pakai lift ini, Pak? Bukannya khusus Pak Rivan ada di—” “Kenapa? Enggak boleh saya pakai lift ini? Kamu juga mau diam saja di situ?” Aku berdehem pelan, lalu masuk lift. Begitu pintu tertutup, aku berjalan ke sudut belakang. “Mumpung baru sehari, kalau kiranya enggak kuat, resign enggak papa. Ini bukan pemaksaan.” “Ya pemaksaanlah!” suaraku tidak bisa tidak naik. “Saya dipaksa pindah posisi yang jobdesk-nya enggak sesuai sama keahlian. Apa namanya kalau bukan pemaksaan?” “Itu kan dari sudut pandangmu. Alih-Alih memaksa, saya hanya memberi opsi. Kalau kuat, lanjut. Kalau enggak, silakan mundur. Saya akan cari orang baru.” “Pak Rivan sengaja, ya? Pak Rivan ingin saya resign? Pak Rivan ingin menyingkirkan saya secara halus?” “Terserah kamu saja mau menilai ini bagaimana.” “Kalau Pak Rivan pengen saya enggak muncul di depan Bapak, saya bisa meminimalisir kita bertemu. Tapi jangan begini caranya. Namanya PHP!” “PHP, katamu? Saya menawarkan posisi bagus, tapi kamu malah merasa saya ini seperti penjahat.” “Ya habisnya caranya salah.” “Salah kan menurutmu. Menurut saya ini sudah benar. Opsi sudah ada, kamu tinggal pilih.” Aku menghela napas pelan. “L-lihat aja! Saya akan t-tetap stay apa p-pun yang terjadi.” Saat aku menatap pintu lift, di situlah mataku dan Mas Rivan bertemu. Aku menatapnya kesal, tetapi tidak bisa berkutik. Tepat sebelum keluar, tiba-tiba Mas Rivan mengulurkan sapu tangannya. “Dasar cengeng! Usap ingusmu itu!” Aku meraih sapu tangan itu, lalu segera menekan lantai paling atas. Begitu lift akhirnya berhenti, aku segera berlari keluar. Di atap, aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Alhasil, aku menangis terisak cukup lama. “Sejak kapan Mas Rivan jadi sejahat ini?!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD