8. [Sok] Peduli

1996 Words
Training minggu pertama terasa berat sekali. Penyesuaiannya membuatku agak frustasi. Namun, jalan minggu kedua aku mulai paham betul mekanismenya. Minggu ketiga semakin paham, dan saat ini minggu keempat aku sudah bisa apa-apa memutuskan sendiri. Hari ini Mas Anton masuk kerja hari terakhir. Besok dia sudah tidak bekerja dan dia bilang dua hari berikutnya baru akan pulang ke Blora. Selama satu bulan ini, Mas Anton benar-benar sabar dan telaten mengajariku. Dia tidak pernah marah. Menegur pun sangat sopan. Padahal dia dari luar Jawa, yang mana biasanya nada bicara mereka cenderung agak ngegas, tetapi dia bisa selembut ini. Bisa jadi, dia ketularan istri. Siapa yang tahu? Selama masa transisi, Mas Rivan juga tidak banyak protesnya. Dia tidak semenyeramkan yang kukira. Memang, belum ada kesalahan fatal yang kulakukan. Semoga saja tidak, dan tidak akan pernah. Satu bulan ini sudah ada empat kali ke luar kota, tetapi keempat-empatnya masih Mas Anton yang mendampingi. Pasalnya, selain aku belum sepenuhnya ambil alih, kerjaan yang diurus juga masih tanggung jawabnya. Setelah ini kalau ada lagi, baru mulai aku. Mas Rivan jelas tidak mungkin menahan Mas Anton lebih lama. “Mil, hari ini aku pulang siang. Enggak sampai full,” ujar Mas Anton begitu masuk ruangan. “Terus ini buat kamu. Aku bingung harus kasih apa buat kenang-kenangan.” “Ya ampun, Mas! Enggak perlu, ih. Aturan, mah, aku yang kasih. Kan aku yang diajarin. Kebalik, ini.” “Enggak papa. Aku seneng bisa training kamu. Dan dengan adanya kamu, aku bisa cepat acc. Hehe … makasih, ya?” “Sama-sama. Emang kalau boleh tahu, Mas Anton sejak kapan ngajuin resign?” “Setengah tahun yang lalu, kali, ya? Tapi ditolak terus. Ditahan-tahan terus.” “Buset! Lama juga, ya?” Mas Anton mengangguk. “Iya. Ya emang alasan aku resign juga belum sekuat sekarang. Ditambah udah ada pengganti, jadi makin cepat acc-nya.” “Iya, sih.” Aku meringis. “Ngomong-ngomong, aku buka, ya, Mas.” “Buka aja.” Aku membuka kotak kado kecil dari Mas Anton. Begitu tahu isinya, aku langsung tersenyum. Isinya ada bolpoin. Tentu saja, ini bukan bolpoin biasa. “Pak Rivan biasanya bawa bolpoin sendiri, tapi ada kalanya dia lupa. Pinjami itu kalau dia lupa. Ada kalanya, kamu juga yang tanda tangan. Berharapnya, bolpoin bagus akan bawa kamu ke kesepakatan yang bagus juga.” Mendengar itu, senyumku semakin lebar saja. “Terima kasih banyak, Mas.” “Sama-sama. Oh iya, ini satu lagi. Yang ini dari Pak Rivan.” Mas Anton kini meletakkan satu paper bag di atas meja. “Dari Pak Rivan?” jelas aku kaget. Tiba-tiba sekali aku dapat hadiah. “Dulu saat awal aku kerja sama dia juga dapat, kok, Mil. Setelahnya juga dapat lagi beberapa kali. Jadi jangan salah paham.” Kalau diingat lagi, harusnya aku tidak heran. Salah satu love language Mas Rivan memang giving gift, alias memberi hadiah. Sejak dulu dia suka sekali memberiku sesuatu. Entah dalam bentuk apa pun itu. “Contohnya pernah dikasih apa, Mas?” tanyaku kemudian. “Jam tangan, pernah.” “Ah … baiklah. Makasih, ya, Mas.” “Bilang sendiri ke orangnya. Ini aku mau berkemas dulu. Aku mau ambil kardus di gudang.” “Oke, Mas.” Begitu Mas Anton keluar, aku langsung membuka paper bag yang dia bawa. Aku mengambil isinya, dan mataku langsung mendelik begitu melihat merk yang tertera di box. Aku buru-buru membuka box itu, isinya adalah heels hitam yang sangat cantik. Tentu saja, aku buru-buru mencobanya. “Wah … pas banget!” tiba-tiba, Mas Anton sudah kembali. “Ini Pak Rivan yang milihin, Mas?” “Harusnya iya, kan? Sepatu yang bagus bisa bawa kamu ke tempat yang bagus juga.” “Aamiin!” Setelah cukup mencoba, aku memasukkan kembali sepatu itu. Tentu tidak akan kupakai hari ini karena aku sudah bawa sendiri. Mungkin akan kupakai besok, saat aku resmi menjadi sekretaris Pak Bos besar. Hehe … Saat aku belum selesai membereskan sepatu itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. Aku segera mengangkatnya. “Hallo, Pak?” “Ke ruangan saya sekarang, Mil.” “Baik.” Aku menutup telepon, lalu mengambil ponsel dan memasukkannya ke dalam saku. “Mas, aku ke ruangan Pak Rivan dulu.” “Iya. Good luck.” Aku berjalan cepat menuju ruangan Mas Rivan. Aku mengetuk pelan, lalu masuk. Keningku langsung mengerut bingung begitu melihat Mas Rivan sedang berkemas. “A-ada apa, ya, Pak? Kok kaya mau pergi?” “Kamu siap-siap. Kita ke Bandung.” “Hah?” mataku mendelik kaget. “Ucapan saya kurang jelas?” “J-jelas, jelas.” “Ambil berkas itu, lalu berkemas. Saya tunggu di mobil.” “Pak Rivan yang nyetir? Atau saya aja?” “Ada supir.” “Oh, oke.” Meski bingung, aku langsung mengambil berkas yang Mas Rivan maksud. Mas Rivan sendiri langsung keluar. Dia terlihat buru-buru, entah dia harus ke mana dulu. Begitu aku kembali, Mas Anton menatapku sembari tersenyum. “Gimana, Mil?” “Tiba-tiba diajak ke Bandung, masa?” “Ini klien penting. Sebenarnya udah mau deal dari bulan lalu, tapi orangnya lagi di UK. Mungkin sekarang udah pulang. Orangnya jarang di Indo soalnya.” “Oh, gitu. Pantesan.” “Jangan kaget. Kadang-kadang emang gini. Tiba-tiba harus ke luar kota dan harus siap.” “Iya, Mas. Aku akan terus beradaptasi.” “Ngomong-ngomong, aku pamit sekarang aja, Mil. Hati-hati ke Bandungnya.” Aku menatap Mas Anton sedih. “Hati-hati juga pulkam-nya, Mas. Lancar-lancar di Blora.” “Aamiin.” Berikutnya, aku cepat-cepat mengemasi barangku dan memasukkannya ke dalam laci meja. Tak lupa, aku juga menguncinya. Setelah itu, aku berlari keluar dan bergegas menuju parkiran. “Oh, itu.” Aku segera menghampiri Mas Rivan yang kini sudah masuk mobil bagian kanan. Mataku menyipit saat melihat hanya ada dia di dalam mobil. “Supirnya mana, Pak? Katanya sama supir?” “Ternyata dia sedang di luar. Kelamaan kalau nunggu. Waktu kita enggak banyak. Cepat masuk.” “Baik—” “Duduk depan, saya bukan supirmu.” “Atau saya saja yang nyetir, Pak?” “Enggak perlu banyak menawar. Cepat masuk.” “Ah, i-iya, iya.” Aku segera masuk dan memasang sabuk pengaman. Begitu keluar kantor, mobil langsung melaju dengan cepat. Sepertinya benar kata Mas Rivan, waktu yang kami punya tidak banyak. *** Akhirnya, urusan di Bandung selesai juga. Aku menepi dan terduduk di sofa lobi hotel tempat bertemu klien. Orangnya sudah pergi, dan Mas Rivan sedang pamit ke toilet. Aku sendiri kini lemas karena selain pegal, juga luar biasa lapar. Sejujurnya, perutku juga agak bergejolak seperti mau muntah. Mas Rivan mengemudi seperti tidak takut mati. Jika ada kesempatan, dia selalu menyalip kendaraan di depan. Membuatku berkali-kali memejamkan mata pasrah. Aku memijit kakiku, juga meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Ingin rasanya aku merebah, tetapi tidak ada tempat yang tepat. “Ayo makan. Kamu pasti lapar.” Tiba-tiba, Pak Rivan sudah berdiri menjulang di depanku. Aku mendongak. “I-iya.” Aku berdiri, lalu mengekor di belakang. Saat Mas Rivan masuk mobil, aku kembali ragu. Rasanya agak aneh saja karena bos yang pegang kemudi. “Engak usah kebanyakn bengong, Mil. Cepat masuk.” “Iya ...” Tanpa mengatakan apa pun lagi, Mas Rivan menjalankan mobilnya dan berhenti di rumah makan joglo pingggir jalan. Terdapat banyak mobil yang parkir di halaman. Harusnya rumah makan ini enak. Kalau tidak, tidak mungkin ramai begini. Ketika Mas Rivan keluar, aku mengekor lagi. Aku memilih diam dan pasrah. Asal makan saja, sudah cukup. Sesampainya di dalam, aku mengambil buku menu. Aku menulis menu paling basic, kemudian memesan apa yang Pak Rivan ingin. Setelah itu, pelayan datang mengambil pesanan kami. “Pak, kalau saya duduknya enggak satu meja, boleh, ya?” “Kenapa? Kamu enggak sudi duduk dengan saya?” “Bukan, bukan gitu. Saya mau duduk di sana, lesehan. Kaki saya pegal. Mau lurusin bentar.” “Ya sudah, saya juga ke ana.” Mas Rivan mengambil nomor meja dan pindah ke meja yang sempat kutunjuk. Padahal aku ingin makan sendiri, tetapi dia malah begitu. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Kami menunggu kurang lebih lima belas menit sampai makanan datang. Menu kami serupa. Sama-sama nasi ayam, bedanya aku goreng, dia bakar. Sambalnya aku sambal bawang, dia sambal tomat. “Selamat makan, Pak,” ujarku basa-basi. “Hm.” Kami makan dalam hening. Tidak ada sedikit pun obrolan di antara kami. Kalau begini ceritanya, kenapa memaksakan harus satu meja? Aku baru saja menelan suapan terakhir saat ponselku berdering panjang. Aku segera mengangkat panggilan yang masuk. Itu dari Akmal. “Hallo, Mal?” “Hallo, Mbak. Aku mau ngasih kabar aja. Sekarang aku lagi di Jakarta.” “Lho? Ngapain ke Jakarta?” “Ada proyek lagi. Cuma dua hari aja, sih. Nanti malam kalau kuajak main, gimana?” “Aduh, lagi enggak bisa kalau main. Aku lagi di Bandung.” “Ngapain sampai Bandung?” “Ya kerjalah!” “Kok sampai ke sana segala?” “Ceritanya panjang. Aku bukan advertiser lagi. Kerjaanku sekarang bisa tiba-tiba sering ke luar kota.” “Ya udah, enggak papa. Besok malam aku mau pergi sama teman, jadi kayaknya enggak bisa ajak Mbak Mila.” “Enggak papa. Aku bisa main sama temenku. Aku ada teman baru yang baik. Kamu tenang aja, enggak usah pikirin Mbakmu terus.” “Ya udah. Aku tutup dulu—” “Tunggu! Bapak sama Ibu sehat? Chat-ku enggak dibalas dari bulan lalu.” “Sehat. Beberapa kali nanyain Mbak Mila. Gengsi aja mereka.” Aku tersenyum. “Ya udah, enggak papa. Yang penting sehat, aku tenang. Jangan lupa ingetin soal periksa rutin, Mal.” “Iya, Mbak. Oh iya, kapan hari itu Mas Andra ke rumah.” “Ngapain?!” tanpa sadar, suaraku agak naik. Aku segera bergeser menjauh. “Ngapain ke rumah? Masih punya muka-kah?” “Nyatanya masih punya. Kayaknya Mas Andra masih mau balik ke Mbak Mila. Lagi bujuk Ayah sama Ibu.” “Demi Allah, Mal. Aku mending jadi janda seumur hidup daripada balikan sama dia. Naudzubillah, amit-amit!” “Aku juga enggak setuju, kok, Mbak. Jangan sampai.” “Ya makanya! Maunya apa, sih, itu orang?” “Ya maunya Mbak Mila. Jelas gitu, kok, tujuannya. Mending Mbak buruan cari pengganti, deh. Biar ada yang jagain.” “Kamu kira cari pengganti dengan statusku yang sekarang itu mudah?” “Kan Mbak masih muda dan belum punya anak.” “Ya tetap aja pada akhirnya calon suamiku nanti harus tahu kalau aku pernah menikah.” “Ya enggak papa. Kalau cinta, status bisa jadi nomor dua.” “Ya udahlah Mal. Jangan bahas ini lagi. Besok kalau dia datang lagi, kunci aja rumahnya. Udah, ya, aku tutup dulu.” “Oke.” Begitu panggilan selesai, aku segera memasukkan kembali ponselku. Aku menunduk, lalu menelungkupkan kepala di atas meja. Bicara Mas Andra, itu hanya akan membuatku emosi tingkat dewa. Ingin rasanya kubuang dia ke ujung Antartika sana. Sampai kapan dia akan terus merecoki keluargaku? Saat aku menegakkan badan, di situ juga aku menoleh. Ternyata, Mas Rivan sedang menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku memaksakan diri untuk tersenyum, lalu membuang muka. “Karena ini bukan di kantor, saya akan memposisikan diri sebagai orang yang pernah kenal dekat denganmu. Kamu cerai karena KDRT? Kamu enggak melaporkannya ke polisi?” “Apa penting buat dijawab?” balasku tanpa menoleh. “Sesulit itukah hanya jawab iya atau enggak?” “Iya, sulit!” tanpa sadar, suaraku langsung meninggi. “Kalau Pak Rivan suka-suka hati memposisikan diri sebagai apa, mau atasan atau teman yang dulu pernah dekat, saya juga mau suka-suka hati. Saya masih memposisikan diri sebagai sekretaris. Hubungan kita hanya sebatas hubungan kerja. Jadi, saya berhak menolak jika ditanya tentang hal pribadi.” Setelah mengatakan itu, aku langsung berdiri dan pergi keluar. Sepertinya, aku perlu mendinginkan kepala. Aku sempat menoleh ke belakang, Mas Rivan masih menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk dideskripsikan. Aku menggeram tertahan. “Dia sendiri yang menyuruhku jangan mengungkit tentang masa lalu, kenapa sekarang berlagak sok peduli?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD