Mas Rivan tak kunjung menghampiriku. Itu artinya, dia belum ingin pulang. Sejak tadi dia membiarkanku duduk sendirian di dekat taman kecil yang tampak ramai dengan anak-anak dari para pengunjung resto.
Bandung tampak gelap, tetapi tidak sampai hujan. Gerimis pun tidak ada. Hanya terasa kelabu dan sedikit sendu. Padahal, andai hujan pun tak masalah. Akhir-akhir ini, aku sedang suka hujan. Karena hanya dengan hujan, aku bisa menangis sepuasnya tanpa orang tahu.
Mungkin ini akan terdengar seperti adegan sinetron lawas. Namun, aku tidak peduli. Saat itu aku baru saja tahu tentang perselingkuhan Mas Andra dengan pacar sesama jenisnya. Aku sangat terpukul sampai duniaku rasanya runtuh. Saat itu duduk hujan-hujanan di pinggir jalan, mengawasi kendaraan yang lewat. Air mata terus bercucuran tanpa orang peduli kalau aku sedang menangis. Tahunya, mungkin aku sudah gila.
Ya, memang kondisiku pernah separah itu. Bagaimanapun juga, cerai tidak pernah ada dalam rencanaku.
“Udah, Mil, udah. Jangan dipikirin terus …” aku menggumam sendiri, lalu menunduk.
Jujur, kini aku mendadak merasa tak enak pada Mas Rivan. Tadi aku gagal menahan diri untuk tidak membalas ucapannya. Emosiku mencuat begitu saja tanpa bisa kubendung.
Namun, mau minta maaf rasanya gengsi. Masalahnya, dia yang mulai lebih dulu. Dia sendiri yang memintaku untuk tidak membahas masa lalu, tetapi yang dia lakukan justru sebaliknya.
“Mau sampai kapan di situ terus, Mil?” pertanyaan itu membuatku menoleh. Kini, tahu-tahu Mas Rivan sudah berdiri dua meteran dariku.
“Pak Rivan mau pulang sekarang?”
Alih-alih menjawab, Mas Rivan malah mendekat. Dia melangkah dengan langkah lebar dan cepat.
“Ini ambil,” katanya sembari mengulurkan satu bungkus es krim. Aku lekas menerimanya.
“Pak Rivan dapat dari mana?”
“Minimarket itu.” Mas Rivan menunjuk minimarket kecil samping resto. Meski tampak mungil, tetapi sepertinya cukup lengkap. Terlihat dari raknya yang sangat penuh.
“Ah, itu. Terima kasih.”
Aku membuka bungkus es krim dan langsung memakannya. Mas Rivan kini duduk di sampingku. Ada jeda cukup luas di antara kami karena kebetulan bangku yang kududuki cukup panjang.
Mas Rivan juga membuka bungkus es krim dan memakannya. Untuk sesaat, kami hanya makan es krim tanpa bicara apa pun. Suasana di antara kami amat hening, sangat berlawanan dengan keriuhan taman yang ramai anak-anak sedang bermain.
“Mil … saya minta maaf kalau tadi kesannya ikut campur masalahmu.” Keheningan itu akhirnya pecah juga. “Saya hanya terusik dengan kalimatmu yang terdengar sangat menolak sampai segitunya. Saya pikir, masalahmu dan mantan suami pasti cukup pelik.”
“Memang iya, Pak. Dan Pak Rivan enggak perlu minta maaf,” balasku mencoba santai. “Saya saja yang sensitif kalau udah bahas mantan suami.”
Toh Mas Rivan sudah tahu kondisiku yang lebih memalukan. Aku bicara soal malam itu, malam di mana aku tak sengaja bersembunyi di mobilnya dan dia melihatku dikejar mantan suami dalam kondisi emosi. Setelah semua itu, aku merasa tak ada gunanya juga menyembunyikan masalahku darinya.
Aku juga sudah tidak berharap apa pun mengingat sikapnya padaku benar-benar biasa saja, malah cenderung cuek. Dia cukup profesional sejauh ini. Entah kalau nanti.
“Kamu enggak terpaksa, kan, nikah sama dia?”
“Sama sekali enggak. Sebelum menikah, orangnya kelihatan baik-baik, perhatiannya berlebih, juga ke orang tua saya sangat sopan. Pokoknya secara luar kelihatan sangat bagus. Saya enggak mungkin iyain orang sembarangan. Setiap perempuan pasti punya kriteria minimal, dan mantan suami jauh di atas minimal. Pada mulanya begitu.”
“Kenal berapa lama?”
“Kalau kenal aja, itu kisaran satu tahun. Mulai dekat kurang lebih tiga atau empat bulan, lalu memutuskan untuk menikah. Mau berlama-lama juga untuk apa, jadi saya iyakan. Enggak tahunya … pasca menikah baru kelihatan semua aslinya. Cover dan isi benar-benar jauh berbeda.”
“Selingkuh dan KDRT itu penyakit. Enggak bisa kalau cuma dilakukan sekali. Sudah paling benar kamu gugat cerai. Kasihani badanmu daripada babak belur. Parahnya lagi, ada yang sampai meregang nyawa.”
“Yakin banget kalau saya di-KDRT, Pak?” aku menoleh sesaat. “Memangnya saya pernah ngomong soal alasan saya cerai?”
“Memangnya itu perlu?” Mas Rivan ikut menoleh. “Kamu kira saya enggak ingat malam itu? Malam di mana kamu ketakutan di mobil saya dan mantan suamimu kelihatan marah nyariin kamu. Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang marah di ruang umum kalau bukan tempramental dan suka melakukan tindak kekerasan?”
Aku tersenyum getir. “Oh, iya. Nyaris lupa sama yang satu ini. Padahal barusan ingat. Jujur, saat itu saya malu banget, Pak. Pak Rivan harus tahu aib saya sampai pada titik paling parah. Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur. Enggak ada yang perlu saya tutupi lagi.”
Soal mantan suamiku yang gay, Mas Rivan tidak perlu tahu. Itu akan lebih memalukan lagi. Tapi kalau dia tahu sendiri, ya sudah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Lain kali kalau memang sudah menemukan laki-laki yang kamu anggap bisa menyembuhkan, tetap periksa dia lebih dalam. Jangan sampai kecolongan lagi. Tanyakan dia ke teman, kerabat, atau siapa pun orang terdekat. Di depanmu dia bisa saja menipu, tapi di depan teman biasanya lebih jujur. Karena orang akan sulit jika terus berpura-pura.”
“Iya, Pak, itu pasti.” Aku mengangguk. “Lagian, saya enggak yakin mau nikah lagi atau enggak. Rasa-rasanya single jauh lebih baik.”
“Satu kali punya pengalaman buruk dengan laki-laki, jangan kamu samaratakan semuanya. Istilah semua laki-laki sama saja itu tidak berlaku di semua aspek. Hanya di beberapa saja. Kamu juga harus ingat, tidak sedikit pernikahan bahagia di luar sana. Yang langgeng sampai maut memisahkan. Bahkan ada laki-laki yang rela menjaga istrinya meski sudah tidak bisa apa-apa.”
“Iya, Pak. Mungkin karena trauma saya masih besar saja, jadi soal menikah masih jauh banget di bayangan. Saya ingin kembali menikmati single era, toh enggak ada anak.”
Bagaimana mau punya anak? Aku bahkan masih virgin seribu persen.
“Tapi jangan menutup diri juga. Buka hatimu jika sudah siap kembali menjalin hubungan.”
Aku tersenyum tipis. “Iya.”
Entah kenapa, saat ini tiba-tiba aku ingin menangis. Bagaimana bisa aku berada di posisi ini? Berbicara soal mantan suami ke mantan pacar. Sungguh miris!
“Oh iya, karena mantan suamimu KDRT, itu artinya temperamennya sangat buruk. Lain kali ketika sudah yakin akan kembali menjalin hubungan, kamu harus buat calonmu marah dan lihat reaksinya. Asal jangan yang fatal, tetapi cukup pancing emosinya. Mengubah temperamen itu enggak mudah, jadi bagian ini sulit untuk berpura-pura.”
“Saran yang bagus, Pak. Saya harus pegang ini baik-baik. Tapi by the way, enggak papa Pak Rivan dengerin curhatan saya? Waktu Bapak kan berharga.”
“Sudah terlanjur di sini. Saya masih lelah mau nyetir lagi.”
“Gimana kalau pulangnya saya saja yang nyetir? Kemampuan nyetir saya sudah meningkat drastis, kok.”
Mas Rivan menoleh, lalu menggeleng. “Enggak, saya enggak mau. Pantang disetirin cewek kecuali kondisi terdesak. Biar saya yang nyetir, tapi tunggu sebentar lagi.”
“Baiklah.”
Setelah es krimku habis, aku membuang bungkusnya. Tak lupa, kuminta juga bungkus es krim Mas Rivan agar dibuang bersamaan. Pasalnya, tempat sampahnya agak jauh.
Namun, belum sempat aku kembali, tiba-tiba hujan turun langsung deras. Membuatku seketika menjerit dan berlari. “Aduuuh! Hujannn!”
“Mil, cepat!” teriak Mas Rivan yang ternyata menungguku.
“Iya, ini saya ke sana!”
Saat aku sudah tiba di depan Mas Rivan, dia langsung meraih lenganku dan menarikku untuk berlari bersama. Meski terseok-seok karena langkah kami yang tak sama, aku tidak protes. Aku terus berlari sampai akhirnya kami tiba di teras restoran.
“Aduh! Tiba-tiba banget hujannya! Enggak ada aba-aba.” Aku menepuk-nepuk rambutku yang basah.
“Ehm!” Mas Rivan berdehem pelan. Dia melepas jasnya dan menyerahkannya padaku.
“Hah?” aku menoleh bingung. “Buat apa, Mas— eh, Pak?”
Gara-gara hujan-hujanan, aku jadi agak terbawa suasana. Untungnya Mas Rivan langsung melepas tanganku begitu kami berteduh.
“Ya pakai. Badanmu kelihatan.”
“E-eh!”
Aku menunduk, lalu segera meraih jas itu cepat-cepat. Aku mundur, kemudian buru-buru memakainya.
Memang benar terlihat. Bagaimana tidak? Kini aku mengenakan baju berwarna biru muda. Jika basah, warna itu tak bisa menutupi braku yang berwarna pink pekat, alias pink fanta. Dua warna itu betul-betul kontras.
Aku memukuli kepalaku, merasa bodoh karena tak menyadari kondisiku sendiri. Kalau kering, bajuku tidak nerawang. Karena basah saja, jadi menempel di kulit.
“Karena sudah terlanjur basah, kita ke mobil saja. Saya cari butik terdekat buat ganti baju. Kita ada meeting penting dalam beberapa hari kedepan, jadi jangan sampa sakit.”
“I-iya, Pak.”
Akhirnya, aku dan Mas Rivan berlari lagi menerjang hujan. Bedanya, kali ini singkat saja karena mobil kami parkir cukup dekat dengan teras.
***
Sejak dulu, Mas Rivan memang selalu ada ide cemerlang. Setelah mendapatkan baju ganti, dia tiba-tiba mengajakku ke hotel yang cukup bagus. Jangan salah paham, kami ke sana hanya untuk mandi bergantian. Masuk kamarnya pun bergantian.
Pertama, Mas Rivan mandi lebih dulu. Selama dia mandi, aku menunggu di lobi. Begitu dia selesai, gantian aku yang naik dan mandi. Alasan memilih hotel bagus adalah agar kami tak perlu membeli handuk dan peralatan mandi lainnya. Tersedia pula hair dryer, jadi rambut bisa langsung kering.
Setelah aku selesai dengan urusanku, aku kembali turun ke lobi. Mas Rivan tidak ada.
“Ke mana dia—”
“Mil!”
Aku menoleh. Kini tampak Mas Rivan datang membawa dua cup minuman hangat di tangan kanannya. Begitu berdiri di depanku, dia menyerahkan salah satunya padaku.
“Ini apa, Pak?”
“Coklat hangat.”
Senyumku seketika terbit. “Terima kasih.”
“Ayo, langsung ke mobil. Sudah sore, kita harus segera pulang.”
“Iya, Pak.”
Sebelum masuk mobil, lebih dulu aku meletakkan baju kotorku dan Mas Rivan— yang tentu saja dipisah— di jok belakang. Tak lupa, aku menatanya dengan rapi agar tak jatuh ketika mobil melewati turunan atau tanjakan.
Tahu sendiri, Bandung adalah kota besar yang datarannya termasuk tinggi. Suhunya juga relatif dingin. Sejak tadi, bolak-balik aku bergidik karena angin yang berembus cukup kencang.
“Kamu boleh tidur kalau memang lelah.”
Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Pak. Enggak sopan. Saya bisa tetap terjaga.”
“Saya yang menyuruhmu.”
“Saya enggak ngantuk, kok.”
“Ya sudah, terserah.”
Sebenarnya, aku bohong. Aku mengantuk berat karena rasanya enak sekali setelah kehujanan, lalu mandi dan ganti pakaian hangat. Namun, aku berusaha untuk tetap terjaga karena tak enak jika aku tidur sementara atasanku menyetiriku.
Sayangnya, aku hanya bisa menahan sementara saja. Lama kelamaan, mataku terasa semakin berat. Aku sampai harus menepuki pipiku berkali-kali. Coklat hangat ini juga sepertinya menjadi salah satu alasan kenapa rasa kantukku semakin menjadi-jadi.
“Kamu mau tidur atau enggak, enggak ngaruh di saya, Mil. Kondisi mobil tetap hening. Kecuali kamu bikin kondisi mobil jadi hidup,” ujar Mas Rivan di tengah perjalanan.
“Apa saya harus ngajak ngobrol? Atau nyalain musiknya?”
“Enggak perlu.” Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Mas Rivan menoleh dan geleng-geleng melihatku. “Lihat matamu itu. Melek sempurna saja enggak bisa.”
“Tapi saya enggak—”
“Enggak usah bohong. Kantukmu enggak bisa disembunyikan lagi.”
Aku menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal. “ Eee … atau gini saja. Nanti kalau misal Pak Rivan lelah, jangan ragu minta ganti. Kecapekan juga termasuk kondisi mendesak daripada membuat orang lain celaka kalau sampai mobil ini oleng.”
“Oke. Makanya, sekarang kamu tidur saja. Nanti ketika sudah segar, bisa gantian.”
Senyumku langsung mengembang lebar. “Kalau begitu ceritanya, baik.”
Akhirnya, aku bersiap tidur dengan posisi sedikit memunggungi. Aku juga mengambil masker untuk menutupi wajahku. Takut sekali kalau tiba-tiba mulutku menganga.
Saat kesadaranku perlahan hilang, aku merasa mobil berjalan melambat. Terasa tenang dan nyaman. Sampai ketika, aku mendengar gerutuan kecil. Entah nyata atau hanya imajinasiku saja.
“Andai kamu enggak pernah minta putus, Mil, tubuh berhargamu enggak akan terluka di tangan b******n itu!”
***