Chapter 10

2078 Words
Hingar bingar suara musik EDM menggema di salah satu sudut club papan atas ibukota. Vanilla, Pandan Wangi dan Aliya asik menari mengikuti alunan lagu anytime yang dinyanyikan apik oleh Don Diablo. Hari ini Pandan mendandani mereka semua dengan style ala ala artis Korea. Pandan mencatok rambut ikal Aliya menjadi lurus dan mengikatnya menjadi satu ke belakang. Tubuh kutilang alias kurus tinggi langsing Aliya dibalut mini dress abu-abu bertali spaghetti yang seksi abis. Pandan mendandani Vanilla dengan mencepol tinggi rambut ikalnya membentuk bun longgar yang seksi. Beberapa helai anak-anak rambut yang sengaja dikeluarkan dari bun, terlihat jatuh membingkai wajah manisnya. Pandan melingkapi make up cetar Vanilla dengan outfit jumpsuit putih berbahan tule sepaha. Penampilannya seksi dan dewasa. Sementara Pandan sendiri hanya mengurai rambut panjang ikalnya yang menjuntai indah hingga ke punggung. Untuk out fit, ia mengenakan crop tank top putih dan rok tutu merah muda. Penampilan mereka malam ini tampak keren dan dewasa dibandingkan dengan usia mereka yang hanya dua puluhan awal. Masalah dewasa memang disengaja. Karena takut dikenali oleh keluarga atau relasi, maka setiap akan bersenang-senang di club, mereka akan merubah total penampilan. Sejauh ini semuanya masih aman-aman saja. Tidak ada satu pun anggota keluarga atau relasi yang pernah memergoki aksi mereka. Di tengah seru-serunya menari sesuatu hal di luar perkiraan mereka terjadi. Ada beberapa pengunjung club yang baru masuk kebetulan amat sangat mereka kenali. "Mampus, ada si nama jiplakan kota di Amerika Serikat, Colorado sana. Ahelah ngapain juga itu si b******n tattoan ada di mari? Merusak suasana hati gue aja, elah." Pandan berdecak kesal saat pandangannya tidak sengaja membentur sosok sangar tatooan di pintu masuk club. Denver Delacroix Bimantara. Manusia mulut j*****m yang selalu mencela apapun yang dilakukannya. Denver acap kali mengata-ngatai namanya mencontek merek beras. Biasanya Pandan juga akan membalas mengejek nama keluarga besar Denver yang juga mencontek nama-nama kota besar di Amerika Serikat. Dimulai dari nama almarhum opa dan omanya, Texas dan Florida. Daddynya Arkansas, adik perempuannya si judes Virginia serta dia sendiri yang kebagian nama Denver. Nama-nama di keluarga mereka identik dengan nama kota-kota di Amerika serikat sana bukan? Pandan  mengejek Denver dan mengatakan bahwa anaknya-anaknya kelak tinggal diberi nama Indiana Polis dan Washington DC saja. Denver balas mengolok-oloknya dan mengusulkan setelah nama ibunya Embun Pagi, kakaknya Putra Lautan serta ia sendiri yang kebagian diberi nama Pandan Wangi. Maka anaknya kelak cocok bila diberi nama Banjir Bandang dan Gempa Bumi. Menyebalkan sekali bukan? Makanya Pandan selalu berupaya menghindari pertemuan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dengan Denver. Ia malas kalau harus selalu debat kusir dengan manusia bermulut tajam satu ini. "Eh Liya, La, gue spooring dulu demi menghindari itu manusia penuh rajah ya? Gue males ribut. Lo berdua senang-senang aja dulu di mari. Gue ngumpet dulu di pojokan sono ya?" Ucap Pandan buru-buru. Vanilla mengikuti arah tangan Pandan yang menunjuk pada satu sudut ruangan yang memang agak sepi. Pasti si Pandan akan mojok sendirian di sono. Pandan dan Denver itu memang musuh bebuyutan sejati. "Lo kan lagi nyamar, Ndan. Gue rasa Bang Denver nggak akan ngenalin lo deh." Vanilla berusaha mengembalikan mood Pandan yang sepertinya sudah terjun bebas saat melihat kehadiran Denver. "Mau dia ngenalin atau kagak, gue udah eneg aja nyium bau-bau itu manusia. Better gue ngiser aja dulu. Udah ah gue cabut dulu." Vanilla dan Aliya saling pandang sejenak sebelum masing-masing mengangkat bahu. Beginilah sifat Pandan Wangi yang sebenarnya. Kalau ia sudah mengatakan tidak, sampai lebaran kuda pun ia akan tetap bilang tidak. Setelah kepergian Pandan, giliran Aliya yang terkena masalah. Mata Aliya melebar mengenali sosok yang baru masuk ke dalam club. "La, coba lo liat arah jam tiga. Ada Bang Altan dan... dan... kakak gue La! Mati gue La, mati!" Wajah Aliya memucat. Vanilla tahu, hubungan Aliya dengan kakaknya tidak seperti layaknya hubungan kakak adik biasa. Mereka berdua saling membenci dan bermusuhan. Banyak rumors yang mengatakan bahwa Aliya dan Brandon itu bukan kakak adik yang sebenarnya. Hanya saja mereka tidak tahu Aliya atau Brandon yang anak hasil adopsi. Aliya mengatakan bahwa semenjak ia gagal menikah dengan Bumi, sikap kakaknya semakin menjadi-jadi. Kakaknya kerap mengata-ngatainya sebagai wanita pembawa sial. Karena sampai di hari H pernikahan pun, masih saja bisa gagal. Vanilla kasihan pada Aliya yang selalu menjadi bulan-bulanan kebencian kakak jahatnya. "Gue--gue ngiser juga ya, La? Ntar kalau situasi udah aman dan kondusif baru kita lanjut lagi, atau kita pindah lokasi. Lagian mana bisa tenang lagi kita dugem di sini. Mana ada ada Bang Denver, kakak sialan gue dan-- astaga!" Aliya menepuk jidatnya sendiri. "Ada apaan lagi sih Liya? Lo jangan nakut-nakutin gue dong?" Vanilla ikut panik melihat wajah Aliya berubah. "Noh lo liat aja siapa yang baru masuk lagi." Aliya menunjuk arah pintu masuk club. "La, itu di belakang Bang Altan ada Bang Ather dan... dan Bang Bumi! Mati kita kali ini, La? Kalau kita sampai ketahuan, bakalan panjang urusannya." Aliya terus menyerocos. Aliya dan Pandan memang selalu memanggil Altan dan Bumi dengan sebutan Abang. Hanya ia sendiri yang memanggil mereka berdua dengan sebutan Om karena kebiasaan. Mikir La, Mikir. Vanilla sendiri juga tidak kalah panik. Ia belum menemukan ide agar mereka semua bisa keluar dari club ini secepatnya tanpa ketahuan. "Hadehhhh... panjang ini urusannya, La. Kayaknya lebih aman kalau kita cabut sekarang aja dari sini. Lo jangan noleh ke belakang ya, La? Nanti mereka tambah curiga kalau--" Aliya tidak jadi melanjutkan kata-katanya saat melihat Pandan Wangi bergegas kembali menghampiri mereka berdua. Sepertinya Pandan juga telah melihat siapa-siapa saja yang telah masuk ke dalam club ini. "Lo bedua sekarang diem dan pasang muka santai. Jangan pada tegang-tegang amat kayak karet kolor baru. Ingat, kita harus berpencar untuk menghilangkan kecurigaan mereka. Kalau kita tetap dalam formasi tiga serangkai begini, mereka pasti akan menghubung-hubungkan kehadiran kita." Pandan mulai menyusun strategi. "Kita akan keluar dari sini, tapi usahakan agar mereka tidak melihat kehadiran kita. Gue akan jalan duluan. Setelah gue keluar, lo bedua segera memisahkan diri dan bersikap seolah-olah tidak saling kenal. Gue akan langsung keluar melalui pintu utama. Liya, lo muter dari depan bartender baru ikuti gue dari belakang. Dan lo La, lo jalan dari arah toilet dan muter lagi ke arah dance floor. Lo pura-pura aja mau ngedance. Saat melewati keramaian orang-orang yang mau ngedance, lo segera nyelinap dan temui kami di tempat parkir. Jelas?" Pandan mematangkan strategi. Vanilla dan Aliya saling memandang sejenak sebelum akhirnya menggangguk perlahan. Strategi sudah di setting dan kini saatnya eksekusi dilaksanakan. Pandan dengan cepat berjalan keluar dan Aliya segera berputar menuju arah bartender. Vanilla berbalik seratus delapan puluh derajat dan bergerak menuju restroom. Cara berjalannya ia usahakan sesantai dan senatural mungkin agar tidak terlihat tergesa-gesa. Semoga saja semua rencana mereka lancar jaya. Aamiin. Putaran pertamanya mengitari toilet berhasil dengan gemilang. Sepertinya Altan dan Mahater tidak menyadari kehadirannya. Mereka berdua terlihat asyik bercerita seraya menunjuk-nunjuk ponsel masing-masing seolah-olah sedang membanding-bandingkan sesuatu. Sekarang Vanilla berpura-pura akan berjalan ke arah dance floor seolah-olah ia ingin ngedance. Baru saja ia berjalan tidak lebih dari lima langkah, dahinya tiba-tiba membentur sesuatu yang keras. Sepertinya dahinya  membentur bahu seseorang. "Maaf, saya tidak sengaja. Apakah Mbak baik-baik saja?" Seseorang yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu meninggikan nada suaranya demi mengimbangi suara musik yang kencang. "Oh tidak apa-apa M--Mas." Mampus! Vanilla auto pucat karena secara tidak sengaja ia malah menabrak Bumi. Lebih baik ia segera kabur dari sini sebelum Bumi mengenalinya. Vanilla mulai pasang ancang-ancang untuk mengambil langkah seribu. "Kamu? Kamu wanita itu kan? Astaga kita ternyata bertemu kembali. Kini saya semakin yakin kalau kamu adalah jodoh saya?" Matiii... bagaimana caranya ia menghindar kini? "Maaf. Anda salah mengenali orang, Pak. Saya sama sekali tidak mengenal Anda. Permisi." Vanilla berusaha menyembunyikan wajahnya dengan cara terus menundukkan wajahnya. Siaga satu ini mah! "Omong kosong! Saya tidak mungkin salah mengenali orang. Bukan hanya wajah dan tatapan matamu yang saya kenali. Aroma parfum kamu pun telah saya akrabi. Jangan coba-coba mengelabuhi saya, Nona? Atau nyonya? Walaupun perut kamu sekarang rata, tapi mata saya tidak akan pernah salah dalam mengenali jodoh masa depan saya." Hajap... hajaplah ia kali ini. "Saya... saya minta maaf ya, Pak. Waktu itu saya hanya ngeprank. Saya--saya--" Lidah Vanilla kelu. Ia kehilangan kata-kata. Otaknya ngeblank. Ia bahkan tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Sepertinya ia akan sangat sulit untuk bisa lepas dari Bumi kali ini. "Dengar, siapapun namamu dan asalmu. Saya merasa kamu adalah jodoh masa depan saya." Bumi memegang kedua bahu Vanilla seraya menundukkan sedikit kepalanya agar sejajar dengan Vanilla. "Kamu tahu, sudah seminggu lebih saya mencarimu. Saya  bahkan menyewa jasa detektif swasta untuk mencari jejakmu. Tapi semua usaha saya nihil. Tapi saya malah dengan mudahnya bertemu dengan kamu di sini." Bumi terus berbicara sementara Vanilla kehilangan kata-kata. "Sepertinya semesta telah mengatur agar kita bertemu, dengan cara yang ia izinkan. Saya semakin yakin bahwa kamu adalah jodoh masa depan saya." Bumi memegang erat kedua bahu Vanilla. Vanilla antara takut bercampur baper. Kalau keadaannya berbeda, ia pasti akan bahagia setengah mati kalau Bumi memang menyukainya sebagai dirinya sendiri. Vanilla Putri Mahameru. Bukan sebagai wanita penggagal pernikahannya. Vanilla tergugu. Betapa inginnya ia meneriakkan kata, ya. Dia pun memiliki rasa yang sama. Sudah sejak lama sekali malah. Hanya saja objeknya beda. Bumi menyukai kepribadian samarannya. Bukan dirinya yang sebenarnya. Miris sekali nasibnya kan? Dalam kondisi kebingungan dan serba salah, bantuan tidak terduga akhirnya tiba. "Hi, ganteng, kenalan dong." Vanilla kaget saat sekonyong-konyong Aliya menjatuhkan diri ke dalam pelukan Bumi dengan gaya orang yang sedang hang over parah seraya mengedipkan sebelah matanya pada Vanilla. Tanpa mengatakan ba bi bu lagi Vanilla segera berlari cepat dan menyelinap masuk ke dalam sebuah lorong panjang dengan penerangan remang-remang. Semakin jauh ia berlari, semakin ia bingung akan berakhir di mana. Karena lorong yang ia lewati hanya seperti sebuah labirin dengan kamar-kamar yang bentuknya sama di kanan dan kiri. Semakin jauh ia berlari, ia malah semakin bingung sendiri. Lorong-lorong ini entah berujung di mana. Vanilla menghentikan langkahnya saat lorong kini menjadi tiga arah. Lurus ke depan, berbelok kiri dan juga kanan. Vanilla berpikir sejenak, ia sebaiknya mengikuti lorong yang mana. Di saat ia tengah berpikir, tiba-tiba salah satu pintu kamar itu terbuka. Brandon Sanjaya kakak jahat Aliya, keluar dari sana. "Hi, sexy. Lo sendirian?" Brandon celingukan sebentar. Memandang sekeliling Vanilla. Ia seolah-olah sedang memastikan apakah ia sedang benar-benar sendirian. "Nama lo siapa, Babe? Kalo lo emang sendirian dan belum dapet pasangan kencan, gue bersedia kok jadi pejantan tangguh yang ngangetin ranjang lo?". Mampus! Ini si Brandon ngomong apa sih? "Lo jangan khawatir, gue pasti bisa memuaskan lo dengan servis luar dalam gue. Oke, Babe?" Brandon mendekati Vanilla yang dengan segera menggeser tubuh ke samping. Hidung Vanilla berkerut. Ia  mencium aroma alkohol yang menguar dari mulut Brandon. Sepertinya Brandon sedang hang over alias mabok. "Ck! Lo jangan menghindar dong. Gue bener-bener bisa muasin lo. Percaya deh, Babe." Vanilla terpana. Sampai sejauh ini Brandon masih tidak mengenalinya juga. Pandan memang jago! "Maaf ya, Pak. Saya bukan wanita yang seperti itu." Sahut Vanilla seraya bersiap lari kembali. "Bukan wanita yang seperti itu?" Brandon membuat gerakan tanda kutip dengan dua jarinya. "Lalu buat apa lo ke ruangan-ruangan ini kalo lo emang nggak punya niat untuk ena ena? Udah lah lo ngaku aja. Lo kesepian kan? Dan sekarang lo lagi mau nyari pelampiasan?" Brandon memajukan wajahnya mendekati wajah Vanilla. Gawat ini mah! "Ayolah jangan malu-malu. Gue bisa bikin lo enak sampai lo bisa melupakan semua kesepian bahkan kesedihan lo. Come on, Babe. Come to me." Vanilla berdecih jijik saat Brandon nyaris berhasil mencium pipinya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau kakak Aliya yang biasanya cool abis seperti kulkas ini sebegitu mesumnya kalau di luar rumah. Sulit dipercaya! "Ayo sayang, kemari. Lo bisa request gaya apa aja. Akan gue penuhi semua fantasi terliar lo. Ayo, mari kita coba." Vanilla mulai panik saat Brandon menarik kuat pergelangan tangannya. "Lepasin, Pak. Saya mau pulang. Saya nggak suka ya Bapak pegang-pegang begini." Vanilla berusaha menepiskan tangan kekar Brandon yang terus berusaha menariknya masuk ke dalam kamar. "Lepasin tangan pacar gue, Brandon. Dan tolong hentikan bacot jorok lo. Gue mendadak mual ngedenger bacot busuk lo itu! Altan Wijaya Kesuma, lagi. "What? Bacot? Apa itu bacot, Tan? Maklum aja, gue kelamaan tinggal di Dallas. Jadi gue nggak ngerti bahasa kampungan begitu." Balas Brandon sinis. Sedari dulu ia dan Altan memang tidak pernah akur. "Bacot itu bukan bahasa kampungan, Bro. Bacot itu sebuah singkatan dari kata Bad Attitude Control Of Tongue alias sikap buruk dalam mengontrol lidah. Paham lo, bule kesasar!" Sahut Altan ketus. Hadehhhh... panjang lagi ini urusannya mah. Batin Vanilla pasrah. Yang satu berhasil dihindari. Yang satu lagi malah menghampiri. Nasib... nasib.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD