Vanilla membuatkan kopi untuk Altan seraya mengabsen semua nama-nama satwa. Dimulai dari yang berkaki dua, berkaki empat sampai dengan yang berkaki seribu. Ia heran melihat tingkah si boss setan ini. Kok ada ya manusia yang hobbynya nyolotin orang terus? Apapun yang ia lakukan selalu saja salah di matanya. Besok-besok ia akan pindah saja ke bokongnya, agar Altan tidak bisa memandangnya sekalian. Leher Altan pasti akan sengkleh kalau ia terus saja memaksakan diri untuk memandangnya yang berada tepat di bokongnya. Asik ngegereundeng sendiri, ia sampai tidak menyadari kehadiran seseorang tepat di belakangnya.
"Kamu ini cuma disuruh membuat kopi baru saja sebegitu tidak ikhlasnya. Tidak baik terlalu perhitungan terhadap sesama. Menurut almarhum kakek saya kalau semasa hidup kita suka hitung-hitungan dalam mengerjakan sesuatu, nanti pada saat meninggal, kita akan disuruh menghitung bulu kucing. Paham kamu?"
Eh dia lagi, dia lagi yang nongol!
Vanilla sama sekali tidak menyadari kalau ternyata Altan mengikuti langkahnya ke pantry. Menilik sikap tubuhnya yang santai, sepertinya bossnya ini sudah mengamatinya cukup lama.
"Mohon maaf ya, Pak. Sebaiknya Bapak tunggu saja kopi pesanan Bapak ini di ruangan Bapak. Mohon kerjasamanya ya, Pak? Karena sepertinya limit kesabaran saya sudah hampir habis." Seraya meracik kopi Vanilla berupaya untuk meredakan emosinya sendiri. Kalau saja ia tidak memikirkan nasib magangnya, ingin sekali ia mengeramasi rambut boss setannya ini dengan secangkir kopi hitam. Pasti rambut hitamnya akan semakin hitam dan sehat karena terkena ekstrak biji kopi pilihan. Eh malah jadi iklan, elah.
"Setahu saya, di mana-mana yang namanya sabar itu tidak ada batasnya. Kalau masih ada batasnya itu namanya bukan sabar, La. Tapi lagi nahan emosi."
Celoteh Altan santai. Altan sekarang semangat sekali setiap akan berangkat ke kantor. Selain ia memang harus bekerja, kegiatan paginya akhir-akhir ini juga menjadi lebih berwarna. Salah satu penyemangatnya adalah OG judesnya ini. Mengerjainya setiap pagi ternyata bisa membuat moodnya menjadi lebih baik. Ya, membuat Vanilla kesal adalah moodboosternya sekarang. Hehehe.
Drttt... drtt... drrtt...
Ponselnya bergetar. Altan melihat nama Panji Wicaksana di layar ponselnya. Kenapa lagi si bucin ini meneleponnya pagi-pagi? Jangan-jangan ia mau membatalkan rencana mereka sore nanti? Semenjak berpacaran dengan Keshia, Panji memang bucin akut sekaligus oon stadium lanjut. Dimanfaatkan habis-habisan dan diperas kanan kiri oleh keluarga Keshia yang terkenal serakah itu, Panji masih saja tidak sadar-sadar.
"Tan, ntar sore gue kagak jadi ikut ngopi bareng ya? Gue mesti nemenin Keshia ngemall terus ke salon. Malemnya gue juga kudu ngawal doi kondangan. Sorry banget ya, Tan? Ya mau gimana lagi, namanya juga gue ini pacar yang sangat disayangi Keshia dan keluarganya. Harap maklum ya, Tan?"
Altan memutar bola matanya. Manusia satu ini sepertinya harus ditegasi sekali-sekali agar pikirannya terbuka.
"Si Keshia minta mobil lo beliin. Emaknya minta tas mewah ratusan juta lo kabulin. Kemaren bokapnya request moge lo lulusin. Lo ini sebenernya cowok yang disayangin atau dikerjain sih? Tiati, ntar giliran harta lo habis, lo pasti bakal ditendang begitu aja ke jalan. Ibarat kata nih ya, abis manis sepah di lepehin."
"Kagak lah. Gue yakin banget kalo Keshia itu cinta banget sama gue."
"Serah lo, dah. Ntar kalo udah kejadian paling lo cuma stroke doang. Ya udah kalo lo nggak bisa." Altan mematikan ponselnya begitu saja. Ia heran melihat tingkat kebodohan Panji yang sudah mencapai level tidak terhingga. Keshia itu anak Tante Danti, mantan pacar Om Badai saat SMA dulu. Bukannya bermaksud untuk mengorek-ngorek kesalahan orang di masa lalu. Tapi Tante Danti itu memang seseorang yang berjiwa kriminal sejati. Ia pernah hampir mencelakakan Tante Senja, ibunya Bintang dan juga Tante Ochi, istrinya Om Badai. Tante Danti adalah type manusia yang senang melihat orang susah dan susah saat melihat orang senang. Dan Keshia adalah perwujudan segala yang ada pada diri Tante Danti di masa kini. Di tambah dengan Om Restu, ayahnya yang bolak balik tersandung kasus korupsi di pemerintahan, cocoklah bahwa nama tengah Keshia sebenarnya adalah biang masalah. Bukan Prawirajaya.
Altan berjalan mendekati Vanilla sepertinya sudah selesai menyeduh kopi. Vanilla kini meletakkan kopi pada baki. Bersiap-siap mengantarkan kopi ke ruangannya. Ia menahan langkah Vanilla. Ada sesuatu hal yang ingin ia ketahui.
"Kamu tadi berbicara apa saja pada Bumi?" Tanya Altan penasaran. Saat ia tiba di ruangan tadi, Vanilla dan Bumi memang tampak akrab.
"Bapak ini mau tau aja urusan orang?" Dengus Vanilla kesal.
"Jawab saja pertanyaan saya apa susahnya sih?"
"Baiklah Pak Boss. Kami membicarakan masalah soal hitung menghitung." Sahut Vanilla kalem.
"Hitung menghitung apa?" Tanya Altan heran.
"Hitung menghitung probabilitas dan besarnya peluang untuk mendapatkan perhatian Pak Bumi dan berusaha mengukur besarnya usaha yang saya perlukan untuk bisa memiliki Pak Bumi secepatnya." Jawab Vanilla santai. Tanpa menunggu reaksi Altan atas kata-katanya tadi, Vanilla segera mengangkat baki dan berjalan keluar pantry.
"Sini kopinya. Biar saya bawa sendiri. Kamu bantu Bu Surti dan Mirna saja di belakang sana." Altan menarik kuncir rambut Vanilla sehingga langkah kaki Vanilla terhenti.
"Ck! Udah nanggung ini, Pak. Tinggal selangkah lagi sampai tujuan. Bapak tahu tidak, kata bunda saya kalau kerja itu tidak boleh nanggung. Harus diselesaikan sampai tuntas. Kalau tidak nanti berat jodoh." Imbuh Vanilla seraya tetap mempertahankan bakinya. Ia memang tidak suka kalau bekerja setengah-setengah.
"Kamu ini kecil-kecil bukannya mikirin skripsi ini malah mikirin jodoh. Siniin bakinya saya bilang!" Altan kembali menarik baki yang masih saja dipertahankan oleh Vanilla. Saat sedang terjadi adegan tarik menarik baki, pintu pantry tiba-tiba terbuka. Vanilla kaget. Akibatnya bakinya oleng. Vanilla memejamkan matanya. Di benaknya sudah terbayang panasnya kopi yang akan menyiram tangannya. Suara gelas terdengar nyaring menghantam lantai. Namun anehnya tangannya tidak merasakan apa-apa. Tangannya memang tetap memegang baki. Ternyata gelas kopi tumpah di tangan Altan sebelum meluncur jatuh yang menghantam lantai.
Mati! Habislah ia kali ini.
"Maaf ya Pak Altan. Saya--saya tidak sengaja." Sahut Vanilla dengan suara terbata-bata. Ia kemudian berlari mencari lap bersih. Berusaha mengeringkan tangan Altan yang sekarang terlihat memerah. Altan menepis tangannya. Sepertinya boss besarnya ini sedang marah besar.
Helow skripsi, riwayatmu kini.
"Saya--"
"Sudah, kembali ke belakang sana! Suruh Bu Surti dan Mirna ke sini. Cukup, jangan coba-coba membantah kata-kata saya lagi." Altan berjalan masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Vanilla dan Bumi dalam diam.
"Kamu mengerti bahasa Indonesia atau tidak? Saya bilang sana kamu ke belakang!" Gelegar suara Altan membuat tubuh Vanilla sedikit tersentak kaget. Tanpa berkata apa-apa lagi ia segera berjongkok dan mengumpulkan pecahan-pecahan gelas kopi. Ia mendesis kesakitan saat tangannya secara tidak sengaja tergores pecahan gelas yang berserakan di lantai.
"Sudah saya bilang kamu ke belakang saja dan panggil Bu Surti serta Mirna ke sini. Kenapa kamu masih ngeyel terus, hah?" Altan yang tadi berupaya menolong Vanilla dengan menerima tumpahan kopi panas menjadi emosi seketika melihat kedegilan Vanilla. Entah mengapa Vanilla ini suka sekali membantah kata-katanya. Tangannya yang terkena kopi panas tadi mulai terasa berdenyut dan sepertinya akan melepuh. Rasa sakit membuat emosinya menjadi tidak terkontrol. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi hanya asal njeplak saja tanpa ia saring terlebih dahulu.
"Permisi." Dari pada terkena bentakan lebih parah lagi Vanilla segera ke belakang. Altan ini kalau sedang uring-uringan tingkahnya melebihi wanita yang sedang PMS. Vanilla kembali ke pantry dan harus menghadapi satu orang menyebalkan lagi, Winda. Setelah membuatkan teh untuk Winda, Vanilla menghela napas panjang tiga kali sebelum mengantarkannya. Menghadapi Winda itu tidak mudah. Selalu ada saja celaannya.
Vanilla heran saat melihat ada sedikit keramaian di kubikel Bu Yasmin yang bersebelahan dengan Winda. Semakin mendekati kubikel mereka berdua, Vanilla membelalakan matanya. Bu Yasmin yang biasanya berpenampilan culun dan menggunakan kacamata tebal, terlihat cantik tanpa kacamata p****t botolnya. Yang membuat Vanilla takjub adalah Bu Yasmin menggunakan make up lengkap. Padahal biasanya si ibu konon katanya hanya menggunakan bedak bayi dan itu pun dipakai apabila ia ingat. Bagaimana kini satu kantor tidak heboh saat melihat Bu Yasmin menjadi begitu modis dan cantik mempesona.
"Halah, kalian semua ini kampungan sekali. Cantik karena dempulan make up saja heboh. Bagaimana pun cantik natural barulah bisa dikatakan cantik yang sebenarnya. Bukan cantik karena polesan dempul semata." Ujar Winda sembari berdecih sinis. Mulut berbisa Winda sepertinya mulai meracuni pikiran Bu Yasmin. Bu Yasmin yang pada dasarnya memang pemalu menjadi semakin tampak tidak percaya diri dan gelisah. Padahal tadi ia sudah terlihat begitu percaya diri dan bahagia. Winda ini memang gemar sekali menyakiti orang lain. Tidak bisa turut berbahagia melihat orang senang.
"Cantik natural memang lebih indah dari pada cantik karena dempulan make up. Tapi cantik karena dempulan make up itu lebih baik daripada cantik karena diedit kayak Anda, Bu Winda." Sahut Vanilla ketus seraya meletakkan teh di atas meja Winda. Wajah Winda seketika berubah merah mendengar sindirian Vanilla.
"Eh kata siapa gue ngedit wajah? Gue ini udah cantik dari sananya tau!" Sembur Winda emosi. Ia tidak terima dibilang cantik karena editan.
"Nggak pernah ngedit wajah lo bilang? Mata lo jereng? Gue cuma mau ngasih tahu lo. Lain kali kalo lagi ngedit, diusahakan rem sedikit hasrat pengen nampak cantiknya. Jangan sampai tingkat halu lo ketinggian. Ntar kalo lo hilang atau diculik orang, kagak bakalan ada orang yang bisa ngenalin lo. Karena apa? Karena photo lo beda banget sama muka asli lo!" Wajah Winda sekarang sudah seperti ingin makan orang saking marahnya.
"Udah lo nggak usah emosi gitu ngedenger kata-kata gue. Better lo minum aja teh manis ini. Kali setelahnya sikap pahit lo bisa berubah manis juga. Saran gue, jangan suka merusak suasana hati orang lain. Kalo lo emang nggak bisa membuat orang lain senang, minimal lo jangan membuat susah orang. Permisi." Vanilla meninggalkan Winda begitu saja setelah mengantarkan teh manisnya. Dia bahkan sudah berlo gue pada Winda.
Vanilla sangat menyadari kalau kebahagiaan dan kesedihan itu menular adanya. Oleh karena itu ia lebih suka menularkan kebahagiaan dari pada kesedihan kepada orang-orang di sekelilingnya. Dia sangat tidak menyukai orang-orang nyinyir yang suka mengomentari hal-hal yang tidak penting. Vanilla selalu mengingat apa yang dikatakan oleh ayahnya.
Hati-hati, jangan suka menyakiti hati orang lain dengan tajamnya lidahmu. Percayalah, dia tidak akan pernah lupa sekali pun saat itu ia tersenyum padamu. Akan halnya sebaliknya, kebaikan hatimu dan lembutnya tutur katamu akan selalu diingatnya walaupun saat itu ia hanya diam seribu bahasa. Ingatlah apa yang kamu tanam, itulah yang akan kamu tuai.
Oleh karena itu Vanilla selalu berprinsip kalau ia tidak mampu membantu orang lain, minimal ia tidak akan menyakiti hati mereka. Itu saja sudah cukup.
Drttt... drrtt... drttt...
Ponselnya menampilkan nama Aliya di layar. Ia tahu, pasti Aliya sudah tidak sabar untuk berpesta setelah ia bebas dari keharusan menjadi seorang istri. Si Centil ini sudah tidak sabar untuk merayakannya ternyata. Sejujurnya dia juga, ding. Sepertinya sudah lama sekali ia dan dua sahabatnya ini tidak refreshing.
"Iya, Liya. Kenapa lagi? Rencana kita goals semua kan?"
"Iya, lancar jaya aman sentosa semuanya. Ntar pulang kerja lo langsung aja ke rumah si Pandan. Ayah dan ibunya lagi pulang kampung ke kerajaan Siam sana. Bang Lautan juga sedang ada tugas luar kota. Jadi kita bisa hangout di club sampai pagi. Hehehe... gue cuma mau bilang lo nggak usah bawa kostum lagi. Udah gue siapin. Wig dan segala macam alat-alat tempur penyamaran kita semua udah lengkap gue bawa. Lo tinggal bawa badan aja ke rumah Pandan. Kok gue tetiba pengen didandanin dewasa dan seksi biar bisa ngegodain Bang Izar ya, La? Kalo gue dandan dewasa, kira-kira kakak lo bakal ngenalin gue nggak ya? Gimana La, bagus nggak ide gue?
"Gila lo, Liya. Lo jangan macem-macem ya? Ntar kalo lo ketahuan, penyamaran kita semua juga jadi terbongkar. Lo mau kita semua dibuat bahan campuran perkedel sama ayah dan bunda gue? Inget ya, Liya. Lo jangan macem-macem sama kakak gue!"
"Iya cintaku, sayangku, manisku, maduku? Hihihihi."
"Anjay... jijik banget gue ngedenger rayuan nggak bermutu lo. Ya udah, ntar pulang kerja gue langsung ke rumah Pandan. Gue juga udah izin ortu gue kok kalo kita bakalan nginep di rumah Pandan. Udah ah, gue kerja dulu. Entah si boss besar nyap-nyap lagi ngomelin gue."
Vanilla menutup ponsel dengan hati gembira. Akhirnya mereka bisa bersantai sejenak setelah hampir tiga bulan ini mereka tidak pernah ke club untuk sekedar hang out dan bersenang-senang. Mereka bertiga memang suka hang out sesekali ke club malam. Mereka suka menikmati dunia gemerlap sesekali sambil menari. Walau suka hang out mereka tahu batasannya. Mereka tidak pernah minum minuman yang beralkohol. Mereka dugem? Ya benar. Mereka menikmati suasananya, musiknya, euphorianya. Tapi tidak minuman beralkoholnya. Kalau pun mereka minum, pesanan mereka adalah mocktail. Mocktail adalah campuran dari bermacam-macam bahan minuman tanpa alkohol. Berasal dari kependekan kata mock dan cocktail. Mocktail bisa disebut versi tidak beralkohol dari cocktail.
Vanilla menjadi begitu tidak sabar menunggu pagi berganti malam. Ia ingin bersenang-senang dan menjadi orang dewasa walau hanya dalam semalam. Dan untuk mewujudkan itu semua, Pandan dan tangan ajaibnya adalah masternya. Helow club, I'm coming!