Ch.03 Mengalah Kalah

2244 Words
Semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Marina kehilangan keseimbangan, menabrak pagar kayu dan jatuh ke sungai dengan suara cipratan yang keras. Air Hudson River menerima sosoknya seketika membuat jerit ketakutan mengudara hebat. “Tolong! Tolooong!” “Aku tidak bisa berenang!” “Antoniooo! Tolong aku! Tolooong!” Mata lelaki itu terbelalak lebar. Ia tidak menyangka tenaganya mendorong Marina sampai menyebabkan sang kekasih terlempar ke dalam sungai. Di mana detik itu ia baru teringat kalau memang Marina tidak bisa berenang. “Marina!” teriak Antonio panik. Ia segera melepas jasnya dan hendak berlari ke tepian. Wajahnya berubah pucat saat melihat ombak deras menggulung tubuh wanita itu. Marina berjuang keras di air yang begitu dingin, tangannya menghantam permukaan air berkali-kali. “Tolong ...! Tolong! A-aku tidak bisa berenang ...!” suaranya lemah, terbawa arus. Antonio sudah hendak melompat ketika tiba-tiba Rodee berteriak nyaring. “Antonio ... aku pusing ... aduuuuh!” Tubuhnya oleng, lalu ia pura-pura pingsan di tempatnya berdiri sekarang. “Rodee!” Antonio tidak jadi melompat ke sungai untuk menyelamatkan Marina. Sebaliknya, ia menahan tubuh Rodee yang hampir jatuh. d**a pria itu naik turun, bimbang, di antara dua pilihan yang menghancurkan. Ia menatap Hudson River sebentar, melihat sosok Marina yang masih berjuang di sana, lalu memejamkan mata dengan membuat keputusan yang menunjukkan seperti apa isi hatinya saat ini. “Cepat selamatkan dia!” katanya kepada seorang petugas restoran yang baru datang karena mendengar jerit keributan. “Aku harus membawa Rodee ke dalam. Cepat, lakukan sesuatu untuk menyelamatkan Marina!” Petugas itu terkejut saat melihat ada wanita hampir tenggelam di sungai. Lebih terkejut lagi saat melihat pagar kayu patah. Ia langsung mengambil jaket pelampung dan terjun ke sungai tanpa berpikir panjang. Sementara itu, Antonio menggendong Rodee ke dalam restoran, wajahnya tegang dan panik. Perlahan wanita itu membuka mata, pura-pura lemah. “A-Antonio … a-aku … aku di mana? Kepalaku … oh, pusing sekali.” “Aku sudah menggendongmu, Rodee. Tenang, ya? Kamu baik-baik saja, kamu mungkin tadi hanya syok,” engah sang pria sangat perhatian dengan suara lembut. Di tepi sungai, petugas berjuang keras melawan arus. Marina sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya nyaris tenggelam ketika akhirnya jaket pelampung berhasil dikenakan padanya. “Tenang, Nona! Saya sudah di sini untuk menyelamatkan Anda! Jangan terus bergerak dan biarkan saya memasangkan jaket penyelamat ini pada Anda!” teriak petugas itu. Marina terbatuk keras, berkali-kali menelan air sungai yang asin dan dingin. Pandangannya buram, tetapi ia masih bisa mendengar samar suara orang-orang berteriak di tepi sungai, para karyawan lain. Beberapa menit kemudian, mereka berhasil menarik Marina ke darat. Tubuh menggigil hebat kedinginan, rambutnya basah menempel di wajah pucat. Ia menatap ke arah restoran, mencari sosok pria yang baru saja menampar dan mendorongnya hingga nyaris mati tenggelam di dalam sungai. Namun, yang terlihat hanyalah bayangan Antonio yang menghilang di balik pintu kaca, masih menggendong Rodee. Marina terdiam. Air mata bercampur air sungai di pipinya, menetes perlahan. Batin menangis sejadi-jadinya. Ia tidak bisa lagi menahan jerit rasa sakit di hati. ‘Jadi begitu, Antonio? Bahkan, ketika aku hampir mati akibat tanganmu sendiri, kamu lebih memilihnya ketimbang menyelamatkan aku?’ ‘Kamu sungguh tidak ada rasa lagi padaku? Kamu sungguh ingin aku mati saja?’ *** Uap hangat memenuhi ruangan kecil berubin abu-abu itu. Marina duduk di bangku kayu, tubuhnya gemetar karena dingin yang menusuk hingga ke tulang. Seorang pelayan wanita datang membawa satu handuk kering dan secangkir teh hangat. “Nona, silakan minum ini dulu. Air sungainya dingin sekali, tubuh Anda pasti kedinginan,” katanya lembut. “Terima kasih,” ucap Marina pelan, suaranya parau. Ia meneguk perlahan minuman itu, merasakan panasnya menyebar dari tenggorokan ke d**a, meski hatinya tetap beku. Pelayan lain datang membawa pakaian ganti. Sebuah seragam pelayan restoran yang sederhana, berwarna hitam dan putih. “Nona, pakaian Anda basah semua. Kami hanya punya ini,” ujar pelayan itu ragu. “Tapi, lebih baik memakainya daripada Anda membeku kedinginan.” Marina menatap pakaian itu sejenak. Gaun malam yang tadi begitu anggun di tubuhnya kini basah kuyup, robek, dan menempel kotoran dari sungai. Ia menarik napas panjang. “Tidak apa-apa,” katanya akhirnya. “Aku akan memakainya. Kamu benar, lebih baik memakai seragam ini daripada aku mati membeku.” Beberapa menit kemudian, Marina berdiri di depan cermin kecil di ruang pelayan. Rambut cokelat tuanya yang masih basah diikat seadanya. Seragam pelayan itu menggantung longgar di tubuhnya. Ia tampak seperti orang asing yang bukan dirinya. Wanita yang tadi berdiri anggun di samping Antoniom kini menjelma seseorang yang tampak … kalah. Ia memandangi pantulan dirinya sambil menahan air mata. “Lihat dirimu, Marina,” gumamnya pelan. “Bahkan dia tidak peduli kamu hidup atau mati.” Setelah merasa cukup kuat untuk berjalan, Marina keluar dari ruang pelayan. Setiap langkahnya berat. Lantai restoran masih berkilau, musik lembut kembali mengalun seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, ketika matanya terarah ke ruang pesta, dadanya seperti diremas terlalu keras hingga terlalu sakit. Di sana, di tengah keramaian tamu, Antonio berdiri bersama Rodee. Keduanya tengah berbincang dengan jarak yang sangat dekat bersama teman-teman lain. Bahkan, tangan Rodee sering sekali bergelayut manja di lengan kekar kekasihnya. Marina menelan kenyataan pahit dengan susah. Dingin air sungai yang baru saja hilang kini kembali menusuk lebih tajam. ‘Jadi, inikah akhir dari lima tahun terbuang sia-sia?’ pikirnya getir. Ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu keluar restoran. “Permisi,” katanya sopan kepada resepsionis. “Bisakah Anda memanggilkan taksi untuk saya?” Resepsionis itu menatapnya ragu, mungkin heran melihat wanita secantik Marina mengenakan seragam pelayan yang kebesaran. Akan tetapi, ia teringat akan keramaian sebelum ini bahwa ada seorang tamu restoran tercebur ke sungai. Langsung mengira bahwa inilah orangnya. Mengalahkan suara resepsionis memesann taksi, terdengar suara tawa tajam mengejek dari belakang. “Hahaha! Ya, Tuhan, Marina! Apa kamu sekarang menjadi pelayan?” Marina menarik napas dan menoleh. Rodee berdiri beberapa langkah darinya, masih mengenakan gaun mahal yang tidak ada kotoran kue di bagian d**a, dengan seulas senyum sinis di bibir merahnya. Sekilas Marina berpikir, berapa banyak gaun serep yang dibawa oleh wanita ini? Kenapa seakan Rodee sudah tahu harus membawa gaun cadangan? Di situlah Nona Woodhsen baru sadar kalau semua ini sudah direncanakan sejak awal. Bahwa, Rodee memang ingin menghancurkan dirinya di pesta ini dengan berbagai akting memukau yang dipercaya oleh Antonio dan semua orang. “Astaga! Jujur saja, aku hampir tidak mengenalimu. Ternyata, kamu cocok sekali memakai seragam pelayan. Sepertinya, kamu memang dilahirkan untuk menjadi seorang pelayan!” “Kamu memang tidak tahu kapan harus berhenti, ya?” ucap Marina dingin. “Kamu harus terus mulai menggangguku dan memfitnahku.” “Oh, aku tidak mulai melakukan apa pun. Aku hanya kagum padamu.” Rodee mendekat, menatap dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan merendahkan. “Kamu tahu? Aku rasa semua teman dan seluruh karyawan Antonio harus melihat ini.” Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto. “Mereka harus tahu bahwa kamu sangat cocok memakai seragam pelayan!” gelaknya. “Berhenti, Rodee! Kamu menang, oke? Ambil saja Antonio sesukamu!” desis Marina, berusaha menghentikan wanita itu dari mengambil foto dirinya memakai seragam pelayan. Namun, Rodee justru tertawa makin keras dan mengejek. “Lihat ke sini, Marina! Sedikit senyum, ayo!” “Supaya mereka semua tahu bahwa calon istri pengusaha Antonio Zambrotta ternyata hanya seorang pelayan restoran. Siapa tahu nanti kamu dapat pekerjaan baru di restoran salah satu teman Antonio setelah dia membuangmu?” Tawanya semakin kencang. Marina hanya menatap tanpa ekspresi karena sudah terlalu sering terluka. Ia menyerah, “Ambil saja fotonya sebanyak yang kamu mau,” katanya dingin. “Setidaknya aku tidak perlu menjual harga diri demi cinta seperti yang kamu lakukan.” Rodee mendengkus, matanya memancarkan kebencian yang terbungkus tawa manis. “Oh, jadi kamu masih berani bicara soal harga diri? Setelah mempermalukan dirimu sendiri di depan semua tamu? Setelah memperilhatkan pada semua orang bahwa kamu terus menyerangku?” Ia mendekat, suaranya berubah tajam. “Kamu tidak akan pernah bisa merebut Antonio dariku lagi. Sekarang dia milikku, seutuhnya.” Sebelum Marina sempat menjawab, suara langkah berat terdengar mendekat. Antonio muncul dari arah dalam restoran, wajahnya tampak terkejut melihat Rodee memakai baju pelayan. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Ia mengerutkan kening. “Marina, kenapa kamu memakai seragam pelayan?” Marina tertawa frustasi. “Well, tidak seperti mantanmu ini yang sepertinya sudah bersiap membawa banyak gaun cadangan karena tahu akan kotor terkena anggur dan kue, aku tidak membawa gaun cadangan sama sekali!” “Aku tidak tahu kalau kekasihku akan mendorongku ke dalam sungai dingin dan membiarkanku mati di sana demi perempuan lain!” “Jadi, mohon maaf kalau aku terpaksa memakai seragam pelayan ini dalam rangka supaya aku tidak mati kedinginan! Bukankah begitu, Antonio?” semburnya terengah, menahan keinginan untuk menjerit dan menangis kencang. Rodee segera berubah manja, mendekati Antonio dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya berusaha menahan Marina agar tidak pergi. Aku ingin dia kembali ke pesta, supaya tidak ada kesalahpahaman lagi.” “Tapi dia malah memaki aku seperti yang kamu lihat barusan. Sepertinya, memang dia sangat membenciku walau aku tidak tahu salahku apa.” Marina sudah sangat muak sampai dia menyeru kencang, “Oh, shut the f**k up, you f*****g b***h! Nikmati saja pesta ini sesukamu! Aku mau pulang daripada di sini besama setan sepertimu!” Antonio langsung mencengkeram dagu Marina dan berdesis. “Jangan kamu pernah berani memakinya seperti itu! Aku tidak akan mengijinkannya!” “Kamu mau pulang? Segera menyingkir dari pandanganku sebelum aku melemparmu ke dalam sungai lagi!” Antonio jelas tidak mau mantannya itu dihina. Tubuh Marina gemetar menahan emosi meledak. “Kamu sudah berubah terlalu jauh, Antonio,” katanya lirih, berbisik. “Di mana Antonio yang dulu?” “Di mana pria yang aku peluk dan tenangkan saat gagal mendirikan perusahaan pertamanya? Di mana pria yang selalu berkata aku adalah sumber kebahagiaanmu?” “Apa kamu sudah lupa semua itu? You said, I’m your muse, sumber inspirasimu! Sepertinya, semua hanya menjadi kenangan omong kosong, bukan?” engahnya, menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata itu menggantung di udara, memukul d**a Antonio kencang. Ia terdiam, matanya memandangi Marina seolah baru sadar akan suatu kecantikan yang tidak lagi ia pedulikan. Namun, sebelum bibirnya sempat bergerak menjawab, Marina sudah memalingkan wajah dan melangkah menjauh. Pintu restoran terbuka, angin malam menerpa rambut cokelat yang basah. Marina naik ke taksi tanpa menoleh lagi. Enough is enough …. *** Antonio berdiri terpaku di tempat, dadanya sesak, seolah ada yang runtuh perlahan di dalam. Akan tetapi, sebelum ia sempat menyesap hening itu lebih lama, Rodee sudah melangkah mendekat dan memeluk punggung gagahnya dari belakang. “Sudahlah,” bisik sang wanita lembut, “Malam ini aku ingin kamu untukku saja. Tidak ada Marina di antara kita. Lupakan kekasihmu yang selalu membuat masalah itu.” “Ini adalah malam yang berarti bagimu, tapi dia merusaknya sejak awal. Dia tidak mencintaimu. Dia hanya menginginkan uangmu saja. Masih ada aku, Antonio Sayang. Aku akan membahagiakanmu.” Ia mendongakkan wajah, bibirnya menyentuh leher Antonio dengan rayuan halus. Lelaki itu menutup mata sejenak, menahan tarikan perasaan yang bercampur antara bersalah dan terlena. Saat akhirnya ia membuka mata kembali, Marina sudah tak terlihat. Hanya tercium bau knalpot dari taksi tua yang membawanya pergi dari restoran. Antonio menarik napas dalam, lalu membiarkan Rodee menuntunnya kembali ke ruang pesta. Tangan mereka bertaut mesra, senyum Rodee merekah penuh kemenangan. Sementara di balik mata Antonio yang dingin, masih tersisa satu kilasan wajah Marina … wanita yang baru saja kehilangan segalanya, termasuk dia? *** Di dalam taksi yang melaju pelan menembus jalanan malam Manhattan, Marina duduk memeluk dirinya sendiri. Suara gemericik air hujan dari luar jendela dan cahaya lampu kota yang berkelebat memburam di matanya yang berkaca-kaca. Ia menggigil, bukan lagi karena dingin air sungai yang tadi menelannya, melainkan karena rasa malu dan hancur yang menyesakkan d**a. Seragam pelayan yang ia kenakan masih lembap, menempel di kulitnya, menjadi bukti nyata betapa rendah dirinya di mata orang-orang malam ini. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. “Apa aku benar-benar sudah sejauh ini jatuh?” bisiknya lirih pada bayangan sendiri di kaca jendela. Wajahnya tampak begitu asing. Yang tadinya cantik kini pucat, sembab, dan kehilangan sinar yang dulu membuat Antonio jatuh cinta. ‘Aku dulu wanita yang disayanginya ... sekarang bahkan ia biarkan aku dipermalukan di depan umum. Lebih gila lagi, dia lebih membiarkan aku mati di sungai daripada membiarkan Rodee pingsan?’ Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan tangis yang pecah tanpa suara. Hanya serak keluar di sela isakan. ‘Aku mencintainya terlalu dalam, tapi dia ... bahkan tak berusaha menyelamatkanku.’ Ingatannya kemudian kembali ke saat terakhir, pada waktu Antonio menatapnya dingin di depan pintu restoran, lalu berkata bahwa ia sebaiknya pulang saja daripada dilempar lagi ke dalam sungai. Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari tamparan mana pun. Taksi melintasi jembatan yang membentang di atas Hudson River, sungai yang baru saja hampir menelannya hidup-hidup. Marina memandang keluar jendela, melihat pantulan cahaya di air yang beriak. Di sana, seolah terpantul semua kenangan yang berputar di kepalanya. Tawa Antonio saat mereka makan malam sederhana di apartemen kecilnya, pelukan hangat di musim dingin pertama mereka, dan janji-janji manis bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya. Semua itu kini terasa seperti kebohongan kejam. Dan semua itu membuatnya mengambil ponsel, menghubungi seseorang. Suaranya gemetar saat panggilan tersambung. “Halo, Bibi Carol,” ucapnya pelan, berusaha menahan isak yang masih tersisa. “Marina? Sayang, kamu kenapa? Suaramu terdengar aneh sekali. Apa kamu sakit?” Ia menarik napas panjang, mencoba menegakkan punggungnya dan menguatkan diri. “Aku ... aku sudah berpikir panjang, Bibi. Tentang tawaran dari Bibi waktu itu.” “Aku bersedia menerima perjodohan itu … ya, aku menerimanya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD