Yudistira melepaskan jasnya begitu masuk ke ruang kerjanya. Jendela besar di belakang meja menyuguhkan pemandangan langit pagi yang mulai berubah keemasan. Tapi pikirannya tidak tertuju ke luar. Pikirannya masih tertahan pada satu nama.
Kirana.
Wanita itu ... Tidak jauh berbeda dari yang dia lihat tiga tahun lalu.
Masih polos, tapi menyimpan bara kecil di balik sorot matanya. Dan hari ini, dia telah berdiri di hadapan Yudistira, sendirian, dengan suara yang sedikit gemetar tapi tetap berani. Yudistira bisa melihat kegigihan dalam diri Kirana.
Bukan keberanian yang dia kagumi.
Tapi, kesempatan.
Dia ingat sekali, tiga tahun lalu. Dulu, dia datang ke rumah keluarga Amira dengan niat baik. Serius. Tulus. Tapi apa yang dia dapatkan?
Ejekan, sindiran, penolakan halus yang dibungkus senyum sopan oleh keluarga besar itu. Termasuk dari Kirana, si adik nomor dua yang waktu itu hanya ikut duduk dan menatapnya dari atas ke bawah, seolah bertanya dalam hati, “Ini? Ini calon suami kakakku?” Bisa dia lihat pandangan merendahkan Kirana pada dirinya, meski hanya dari tatapan matanya.
Yudistira ingat semuanya.
Dia tidak menyimpan dendam membabi buta. Tapi, dia tidak lupa setiap momennya. Momen yang cukup membuat harga dirinya merasa dilecehkan.
Dan hari ini, takdir bermain indah.
Kirana bekerja di perusahaannya. Di bawah kekuasaannya. Di meja rapat yang dia kuasai penuh. Dia punya hak untuk menilai. Untuk menekan. Bahkan jika perlu—untuk menghancurkan.
Tapi Yudistira bukan pria picik. Dia tidak akan membalas dengan kata kasar. Tidak dengan bentakan.
Justru sebaliknya.
Dia akan bersikap seolah-olah Kirana berarti. Diberi pujian. Diberi ruang.
Agar wanita itu bingung.
Agar dia membuka pertahanannya perlahan-lahan.
Dan, ketika Kirana mulai merasa ‘dekat’, ketika rasa percaya mulai tumbuh ....
Saat itulah permainan yang sebenarnya dimulai.
Yudistira melangkah ke mejanya dan duduk di kursi kebesarannya, membuka laptopnya. Membuka ulang presentasi Kirana. Menatap slide itu lama-lama.
“Rumah bukan sekadar bangunan. Rumah adalah harapan.”
Dia tersenyum miring. “Kalimat yang menarik, Kirana. Tapi kamu belum tau siapa yang sedang kamu hadapi.”
Lalu jemarinya bergerak mengetik sesuatu. Email.
Yudistira menekan tombol Send, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit. Matanya menatap langit-langit.
Dan entah kenapa ... wajah Kirana kembali melintas di benaknya. Bukan wajah mantan Istri yang sudah lama tidak dia dengar lagi kabarnya. Bahkan dia tidak mau repot-repot untuk mencari tau. Padahal Amira yang lebih banyak menggoreskan luka di hatinya. Tapi begitu melihat nama Kirana dalam daftar nama calon pelamar di perusahaannya, Yudistira seperti memiliki rencana terselubung terhadap gadis itu.
Namun, entah mengapa malah wajah Kirana yang selalu muncul dalam pikirannya. Bukan Kirana yang dulu. Tapi Kirana yang kini ... yang tampak lebih kuat, lebih hidup.
Dan—yang menyebalkannya—lebih menarik.
Tiga tahun lalu Kirana tidak begitu menarik, berbeda dengan Amira yang tampak lebih bersinar. Namun, sifat adik kakak itu pun tak jauh berbeda. Sama saja, suka merendahkan.
Tapi, lihatlah ... kini yang ada di pikirannya selalu wajah gadis itu yang terus berputar-putar.
Yudistira memejamkan mata.
Dia tak boleh goyah. Ini bukan tentang perasaan. Ini tentang kendali. Tentang pembalasan.
Tapi sampai kapan kamu bisa meyakinkan dirimu sendiri, Yudistira?
Di tengah lamunannya, pintu ruangannya terbuka. Sosok pria paruh baya yang rambutnya sebagian memutih melangkah masuk ke dalam dengan langkah tenang. Di tangannya tergenggam sebuah tablet.
Panca Mahesa.
Tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Harsa Kartanegara, kakek dari Yudistira. Pria itu bukan hanya seorang eksekutor ulung dalam dunia bisnis, tapi juga mentor yang mengawal setiap langkah Yudistira saat dia masih dianggap remeh—bahkan oleh keluarganya sendiri.
“Butuh data laporan unit Aruna Cluster yang versi kasar?” tanya Panca, seraya meletakkan tablet itu di atas meja.
Yudistira mengangguk pelan.
Matanya belum sepenuhnya lepas dari layar laptop di depannya. Tapi pikirannya, kembali pada potongan waktu tiga tahun lalu, di mana saat dia hanya seorang cucu dari keluarga Kartanegara yang dipandang sebelah mata karena lebih memilih merintis sendiri dibanding menumpang nama besar.
Dia sempat tinggal di rumah kecil di pinggiran Jakarta, menyusuri proyek-proyek kecil demi menyusun fondasi Gravira Holding dari nol. Bahkan, saat menikah dengan Amira, keadaannya masih serba terbatas. Tapi tidak ada satu pun dari keluarga wanita itu yang tau, bahwa dirinya adalah darah dari dinasti Kartanegara. Dia menutup rapat identitas itu, ingin membuktikan diri tanpa topeng warisan.
Sayangnya, niat tulus tak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan.
Amira mencampakkannya, tanpa menoleh lagi.
Dan mungkin, jika bukan karena luka itu, Yudistira tidak akan ada di titik ini.
“Tiga tahun bukan waktu yang sebentar,” gumam Panca sambil duduk di kursi seberang. “Tapi kamu buktikan, bukan hanya ke mereka, tapi juga ke dirimu sendiri.”
Yudistira menoleh. Sorot matanya tetap tenang, namun tajam.
“Saya tidak ingin dipuji, Om Panca. Saya hanya ingin, mereka melihat siapa yang pernah mereka remehkan.”
Diam. Sunyi.
Hanya suara dengung AC yang mengisi ruang kaca bergaya minimalis itu.
Panca tersenyum tipis. “Dan sekarang kamu menempatkan adik mantan istrimu di dalam proyek andalan tahun ini?” sindirnya.
Yudistira tidak menjawab. Dia membuka folder baru di laptopnya, memperlihatkan dokumen berjudul: Strategi Brand Aruna Cluster – Kirana S.
Panca tahu apa arti diam itu.
Yudistira bukan pria yang bertindak tanpa perhitungan. Setiap keputusan mengandung lapisan strategi, dan Kirana ... bukan sekadar staf kreatif biasa.
“Apa kamu yakin ingin melibatkan perasaan dalam strategi?” tanya Panca pelan, lebih sebagai peringatan dari seorang senior.
Namun Yudistira hanya mengangkat bahu.
“Yang saya libatkan bukan perasaan, Om. Tapi memori.”
Panca tertawa kecil. “Itu lebih berbahaya, Yudis. Om tau kamu pasti sadar akan hal itu.”
Yudistira tersenyum. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
Dia sudah kehilangan satu istri. Tapi kali ini, dia tidak akan kehilangan kendali. Asisten Kakeknya hanya belum mengenal dirinya saja.
***
“Maya, kenapa kamu selalu menghindari aku?” tanya Kirana pelan, mencoba menahan emosinya. “Katanya kita satu tim? Tapi kenapa akhir-akhir ini kamu selalu tidak pernah mengajakku saat akan survei lokasi atau meeting?”
Maya berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan d**a, matanya menatap Kirana dengan nada kecewa.
“Kita awalnya satu tim, Kirana,” sahutnya tajam. “Tapi sekarang kamu sendiri yang jadi penanggung jawab proyek Aruna Cluster. Aku bahkan gak tahu kenapa tiba-tiba kamu yang ditunjuk.”
Kirana mengerutkan kening. “Aku juga gak ngerti, May. Aku juga kaget waktu Pak Yudistira tunjuk aku. Aku pikir kita bakal garap proyek ini bareng-bareng, seperti yang sudah direncanakan.”
Maya tertawa miring, tawa yang tidak sampai ke matanya. “Ya sudah, berarti kamu gak butuh aku lagi kan? Toh, kamu bisa handle semuanya sendiri. Selamat ya, Kirana.”
“Maya, bukan itu maksud aku—”
Tapi Maya sudah berbalik, meninggalkan Kirana yang masih berdiri canggung di dekat mesin kopi kantor. Dia bahkan tidak tau mengapa Yudistira hanya menunjuknya, padahal mereka jelas tau kalau dia adalah pegawai baru di perusahaan tersebut.
Dengan napas tertahan, Kirana kembali ke mejanya, mencoba mengabaikan tatapan rekan-rekan kerja yang mungkin ikut mendengar percakapan tadi. Baru saja dia duduk, notifikasi email berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Yudistira, dengan subjek:
[URGENT] Draft Presentasi Aruna Cluster
Tangannya sedikit gemetar saat membuka email itu.
Kirana, saya butuh slide presentasi versi final sore ini sebelum jam 18.00. Akan dipakai untuk pitching internal ke direksi besok pagi. Harap diprioritaskan. – YK
Mata Kirana membelalak.
“Sore ini?! Astaga ...!”
File draft presentasi bahkan belum rampung 50%. Dia menatap layar, panik. Pikirannya langsung dipenuhi daftar revisi, gambar yang belum selesai di-render, dan copywriting yang masih mentah.
Dia menarik napas dalam-dalam.
Sepertinya, malam ini dia tidak akan pulang cepat.
Sementara itu, dari balik jendela kaca di ruangan meeting yang berada di lantai tujuh, Yudistira berdiri dengan tangan di saku celana, memperhatikan suasana kantor yang mulai lengang menjelang malam.
Lantai kreatif di depannya sudah sepi. Hanya tersisa satu meja yang masih menyala terang. Seorang perempuan duduk di sana, menatap layar laptop dengan ekspresi tegang.
Kirana.
Dari kejauhan, dia bisa melihat gadis itu mengacak rambutnya sendiri, lalu menunduk dalam, memijat pelipis. Sesekali dia berdiri, meraih tumpukan brosur referensi desain, lalu duduk lagi dengan buru-buru.
Yudistira tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tak ada senyum. Tak ada rasa bersalah.
Ini bagian dari rencananya. Perlahan, tapi pasti. Meletakkan Kirana di bawah tekanan, membiarkannya merasa kesepian, dibebani, dan dipilih.
Membuatnya bertanya-tanya: “Kenapa aku?”
Yudistira menyipitkan mata. “Tanyakan saja pada kakakmu, kenapa dulu begitu mudah membuang orang yang katanya tak pantas untuk keluarga kalian,” gumamnya pelan.
Tangannya menggenggam gelas kopi yang sejak tadi dingin, lalu meletakkannya di meja.
Malam masih panjang. Dan rencananya baru saja dimulai.