5. Permainan Balas Dendam Yudistira

1567 Words
Kirana tiba di kantor sekitar pukul delapan kurang lima belas menit. Dia masih berpacu dengan waktu untuk bisa sampai di kantor tepat waktu. Bahkan Kirana belum sempat untuk melihat-lihat kosan dekat kantor. Belum ada waktu. Pekerjaannya cukup menyita perhatiannya. Tapi siang ini dia akan menyempatkan waktu untuk melihat-lihat kosan yang sudah diinfokan Monica. Bagaimana pun juga dia harus bisa, jika masih berada di rumahnya, dia akan kerepotan sendiri karena jam kerjanya yang semakin menuntut. Walaupun dia masih berstatus sebagai pegawai baru, atasannya seolah memandang status pegawai lama dan baru dinilai sama. Masih ada sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai, Kirana memilih membawa mugnya ke pantry untuk membuat kopi moccacino favoritnya. Tiba di pantry tanpa sengaja dia bertemu dengan Maya yang sedang mengobrol dengan rekannya. Namun, Maya segera pergi meninggalkan pantry tanpa menyapanya sama sekali. Maya marah padanya karena dia mendapat proyek sendiri tanpa melibatkan tim. Padahal itu bukan maunya, tapi perintah dari atasan langsung. “Hai, Kirana, baru nyampe?” tanya salah seorang rekan kerjanya. “Hu'um. Sepertinya aku benar-benar harus cari kosan di dekat kantor,” ujarnya seraya menyobek bungkus kopi mocacinonya. “Sudah dapat kosannya?” “Mbak Monica sudah kasih daftar kosan yang bisa aku datangi dan cari tau di dekat-dekat sini, sih.” “Oh, Monica.” Kirana menoleh pada wanita itu. “Mbak kenal kan?” Wanita itu mengangguk. “Kenal sih, tapi ya gitu, deh. Duluan ya, Kirana, kalau butuh bantuan ngomong saja ke aku.” Kirana tersenyum ramah. “Iya, Mbak Risma, terima kasih.” Usai menyeduh kopinya, Kirana kembali ke kubikelnya untuk memulai pekerjaan. Kirana memandangi layar laptopnya yang penuh coretan dan revisi dari proyek Aruna Cluster. Beberapa kali dia menghela napas panjang, tapi tak kunjung bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ada yang tak biasa. “Kenapa aku?” batinnya bertanya berulang kali. Bukan hanya karena proyek besar itu diberikan padanya secara mendadak, tapi juga karena sikap Yudistira yang sulit dijelaskan. Saat memuji, nadanya datar. Saat menegur, kata-katanya halus tapi menekan. Tatapannya—terlalu lama, terlalu dalam—membuat Kirana gugup. Dan meski pria itu sering terlihat sibuk, dia selalu tahu progres kerjanya sampai ke detail kecil. Seakan Kirana sedang diawasi dari balik dinding kaca yang tak kasat mata oleh pria itu. Setelah mengambil laporan revisi dari bagian keuangan, Kirana kembali ke lantai direksi. Lift berhenti di lantai delapan. Dia mengernyit. Seharusnya tidak ada divisi tempatnya di lantai ini. Tapi ketika pintu lift terbuka, langkah Kirana terhenti. Suara itu .... “Saya sudah katakan, saya tidak butuh kamu mengatur-atur keputusan yang saya buat di perusahaan ini,” ujar Yudistira—nada suaranya tenang tapi mengandung tekanan. Kirana menyelinap satu langkah mundur, bersembunyi di balik tembok pembatas dekat lorong. Dia tak sengaja menyaksikan Yudistira berdiri berhadapan dengan dua pria, satu pria paruh baya berambut putih—ayahnya, Kirana menduga. Satunya lagi, pria muda dengan senyum arogan dan postur tubuh sok santai. “Jabatanmu mungkin tinggi sekarang, tapi jangan lupa siapa yang membangun perusahaan ini dari awal,” kata seorang pria yang lebih tua. “Kamu bisa duduk di sana karena nama keluarga.” “Saya bisa duduk di sana, karena kerja keras saya,” balas Yudistira singkat. Yang lebih muda ikut menambahkan sambil terkekeh, “Yah, kita lihat saja seberapa lama kamu bisa bertahan. Dunia bisnis itu bukan cuma soal ambisi, tapi juga darah yang tepat.” Kirana membeku. Dia belum pernah melihat Yudistira bersikap seperti itu—tenang, tapi penuh bara. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Seolah pria itu sedang menahan badai di dalam dirinya. Beberapa detik kemudian, Yudistira berbalik. Tatapan matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Kirana. Kirana tersentak, panik, dan segera menunduk. Pura-pura memeriksa dokumen yang dibawanya. Yudistira melangkah mendekat, lalu berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Namun sesaat sebelum pria itu hilang di balik pintu lift, Kirana bisa merasakan satu hal—pria itu menyimpan sesuatu. Dan mungkin, sejak awal, memang tidak ada yang benar-benar biasa tentang Yudistira Kartanegara. Pria penuh misteri yang dulu keluarganya pikir dia hanya seorang pria miskin dan tidak berguna. *** Kirana kembali ke meja kerjanya dengan pikiran yang belum pulih sepenuhnya dari percakapan yang dia dengar tadi. Napasnya masih berat, seolah atmosfer di lantai delapan tadi ikut menempel di bahunya. Belum sempat duduk dengan benar, suara notifikasi email masuk di laptopnya. Dari: Yudistira Kartanegara Subjek: Aruna Cluster – Update Revisi Waktu: 10.42 AM Kirana, Tambahkan proyeksi margin keuntungan pada slide 5 dan sesuaikan penyesuaian harga lahan terbaru berdasarkan revisi dari pihak legal. Saya ingin versi lengkap presentasi hari ini jam 17.00. –YK. Kirana terbelalak. “Hari ini jam lima?” desisnya pelan. Tangannya mencengkeram mouse, menahan diri agar tidak berteriak frustrasi. Dia memeriksa ulang file presentasinya. Slide 5 belum menyertakan margin. File dari legal? Belum dia terima. “Ini gila,” gumamnya. “Aku bahkan belum dapat angka pastinya.” Dan saat itulah, semuanya terasa masuk akal. Perlakuan Maya. Tugas dadakan. Proyek solo tanpa tim. Tekanan halus yang tidak pernah dijelaskan, tapi terasa dari setiap kalimat email Yudistira. “Ini semacam hukuman.” Tapi Kirana tidak tau kenapa. Yang dia tau, dia tidak bisa kalah. Siang itu, tepat saat jam makan siang, Kirana memutuskan untuk keluar kantor sebentar. Di tengah tumpukan revisi Aruna Cluster yang belum selesai, dia tetap nekat menyisihkan waktunya untuk melihat kosan yang sebelumnya direkomendasikan oleh Monica. Pikirannya sempat ragu. Tapi tubuhnya sudah memberi sinyal kelelahan sejak dua hari lalu. Jika terus begini, Kirana tau dia bisa tumbang kapan saja. “Kosannya cuma sepuluh menit dari kantor naik ojek,” begitu kata Monica. Dan benar saja, lokasi kosan itu tak terlalu jauh. Dia menyusuri gang kecil yang cukup bersih dan tertata, sampai akhirnya tiba di depan bangunan dua lantai yang terlihat sederhana tapi cukup nyaman. Meski sesekali kepikiran soal email revisi yang belum sempat dia kirim ke Yudistira, Kirana memaksa dirinya tetap tenang. Dia harus punya tempat tinggal yang layak secepatnya. Tempat untuk bernapas. Tempat untuk tidur cukup. Tempat yang bukan sekadar numpang istirahat di sofa kantor atau perjalanan pulang-pergi yang menyita waktu. Sore ini, dia akan kembali bergulat dengan slide presentasi. Tapi setidaknya, mulai besok, dia bisa berangkat kerja dari tempat yang hanya sepuluh menit jauhnya. Satu hal selesai, meski hal lain masih porak-poranda. *** Kantor Gravira Holding sudah mulai sepi sejak pukul tujuh malam. Tapi di salah satu sudut ruang kerja, lampu masih menyala. Kirana duduk sendiri di balik meja, menatap layar laptop dengan mata sembab dan wajah letih. Tangannya mengetik cepat, menggabungkan data margin keuntungan dengan penyesuaian harga lahan. Lembar-lembar kertas berserakan di mejanya, bekas coretan dan revisi yang dia tulis dengan tergesa. Sesekali, dia menoleh ke jam digital di pojok layar. 20.10 Dia menggigit bibir. “Masih ada dua slide lagi, ayolah, Kirana!” gumamnya memohon pada dirinya sendiri agar bisa bekerja lebih cepat lagi agar bisa segera pulang ke rumah. Sudah dua jam lebih dia bekerja sendiri tanpa jeda, bahkan makan malam pun dia lewatkan. Semua demi memenuhi perintah Yudistira—perintah yang terasa seperti jebakan atau, ujian. Dia tidak tau mana yang lebih menyakitkan. “Kenapa harus aku?” desisnya lirih. “Apa salahku sampai aku harus ditarik ke dalam perang yang bahkan aku gak tau siapa musuhnya?” Kirana menghela napas panjang. Saat itu, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lorong. Kirana reflek menoleh. Seorang pria muncul di ambang pintu—tubuh jangkung, kemeja lengan panjang warna abu gelap, dasi yang sudah dilonggarkan, dan tatapan yang tak bisa ditebak. Yudistira. “Belum pulang?” tanyanya singkat. Kirana buru-buru berdiri. “Ma—masih menyelesaikan revisi, Pak.” Tatapan pria itu jatuh ke layar laptop, lalu ke meja yang berantakan. Tidak ada senyum. Tidak ada kata ‘terima kasih’. Hanya diam. “Seharusnya kamu pulang jam lima,” ucap pria itu datar. Kirana mengernyit. “Tapi email Bapak bilang saya harus mengirimkan revisi sore ini juga. Dan, saya belum sempat kirim karena harus minta data dari legal, lalu—” “Saya tau.” Suara itu membuat Kirana tercekat. Ada ketenangan yang menyeramkan dalam nada bicara Yudistira. Seolah dia sudah memprediksi semuanya sejak awal. Seolah—memang itu yang pria itu inginkan. “Jadi, Bapak sengaja?” tanya Kirana, pelan. Nyaris seperti bisikan. Yudistira tidak menjawab. Dia hanya melangkah lebih dekat, lalu berdiri di hadapan Kirana. Sorot matanya tajam, tapi tidak marah. Justru, seolah menahan sesuatu yang lebih dalam. “Kamu tau,” ucapnya perlahan, “dunia ini tidak adil, Kirana. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa mengalahkan permainan ini.” Lalu dia berbalik. Meninggalkan Kirana tanpa penjelasan, tanpa penutup. Hanya kalimat ambigu yang menusuk dan menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kirana terdiam. d**a sesak, pikiran campur aduk. Dia duduk kembali dengan jari gemetar, tapi entah kenapa, rasa marah itu berubah jadi rasa penasaran yang tak terdefinisi. Kirana mengatupkan bibirnya. Dalam diam, hatinya mendadak terasa dingin. Ada sesuatu yang ganjil dari cara pria itu memperlakukannya. Bukan sekadar ketegasan seorang atasan, tapi seperti ada dendam yang dibungkus rapi di balik instruksi dan tekanan yang terus dilimpahkan padanya. Kirana menarik napas pelan. Pikirannya mulai mengurai serpihan kenangan, tentang masa lalu keluarganya, tentang orang-orang yang dulu mungkin pernah dipandang sebelah mata oleh ayahnya. Dan Yudistira, bukankah dulu dia hanyalah seorang ‘orang luar’? Yang selalu mendapat tatapan meremehkan dari ayahnya. Bukan hanya ayahnya tapi ibu dan kakaknya, dan tentu saja dirinya juga. “Jangan-jangan, ini semua tentang masa lalu? Tentang keluargaku?” Jika benar, maka Kirana tau, ini bukan sekadar proyek kerja biasa. Ini bisa jadi, sebuah permainan balas dendam Yudistira terhadap dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD