Bab 6. Masih Terluka

1040 Words
Pintu kamar tertutup rapat. Karin menjatuhkan diri di sisi ranjang, wajahnya tertelungkup ke telapak tangan. Bahunya bergetar, menahan tangis. Hidupnya seolah jatuh ke jurang tanpa dasar. Padahal ia sudah mengumpulkan semua keberanian untuk mengundurkan diri, berharap terbebas. Namun yang ia dapatkan hanyalah halangan yang Harris buat, untuk menjeratnya lebih kuat. Seratus juta. Angka itu terus berputar di kepalanya, menghantam seperti palu. Jumlah yang sangat besar —untuk ukurannya, seakan sengaja dibuat untuk memastikan dirinya tidak pergi. 'Kenapa aku menandatangani sesuatu yang akan menyulitkanku?' pikirnya, frustasi. Karin tak tahu kenapa bisa ceroboh. Saat itu ia tidak berpikir bahwa Harris menuliskan satu kompensasi yang harus ia tanggung sekarang. 'Aku cuma seorang sekretaris, kenapa kontrak kerja harus ada denda yang akan ditanggung oleh si pekerja. Apalagi denda yang dinilainya sangat tidak masuk akal.' Air mata kembali tumpah. Karin menutup wajahnya dengan bantal, berharap bisa menenggelamkan semua kesedihannya sekaligus. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Harris muncul di kepalanya. Senyum tipis. Tatapan mata. Dan kalimatnya yang dingin —tinggal pilih, denda atau bertahan. Karin memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan. Luka itu masih terlalu segar. Luka yang Harris goreskan dengan tangan dan tatapannya. Luka yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun, bahkan kedua orang tuanya apalagi Angga. Hingga malam, Karin yang berada di dalam kamar merasa gelisah. Lampu kamar yang dipadamkan —meski sinar bulan di atas langit mampu menembus gorden kamarnya, tapi tetap tak mampu membuat matanya terpejam. Bayangan Angga kembali hadir dalam benaknya. Senyum, suara, dan terutama tatapan penuh ketulusan yang dulu membuat Karin merasa aman —berbeda jauh dengan tatapan Harris yang hanya membuatnya merasa terpojok, membuatnya terisak. “Angga …” bisik Karin, suaranya lirih. “Kalau kamu ada di sini, aku tidak akan sesedih ini. Tapi, aku tidak mau kamu terlibat dalam kondisiku sekarang." Air mata hangat kembali membasahi pipinya. Ia memeluk bantal lebih erat, seolah mencari kenyamanan dari sesuatu yang tak bisa ia miliki lagi. Keesokan harinya, Karin berusaha menata diri. Ia mengenakan pakaian kerjanya dengan wajah yang pucat, menatap cermin tanpa semangat. Lingkaran hitam di bawah matanya jelas terlihat, membuatnya memaksa dengan menambah lapisan bedak demi menutupi lingkaran tersebut. Saat tiba di kantor, langkahnya berat. Setiap orang yang menyapanya, ia balas dengan senyum tipis palsu. Di dalam hatinya, ia ingin berteriak bahwa ia tidak sedang baik-baik saja. Namun topeng yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah, runtuh seketika begitu ia kembali bertemu dengan Harris. Pria itu berdiri di dekat jendela ruang kerjanya, menatap ke luar sambil menyilangkan tangan di d**a. Begitu Karin masuk, Harris menoleh. Senyumnya muncul lagi —senyum tipis yang begitu familiar, senyum puas yang seakan berkata: Aku menang. Namun, hanya Harris sendiri yang mengerti. “Karin,” ucapnya tenang, “Senang kamu tetap datang hari ini.” Karin mengepalkan tangannya di balik rok. Ia ingin mengatakan bahwa ia datang karena terpaksa, bukan karena ingin. Tapi lidahnya kelu. Tak ada jawaban marah yang sejatinya hatinya katakan. Harris berjalan mendekat, jarak di antara mereka semakin menyempit. “Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi percayalah, semua ini demi kebaikanmu juga.” Karin mengerutkan dahi, bingung. “Apa maksud Bapak?” “Kalau kamu menyerah sekarang, kamu hanya akan terlihat lemah.” Harris menepuk pundaknya, membuat Karin merinding. “Aku tidak ingin kamu menjadi pecundang, Karin. Aku ingin kamu bertahan. Bersamaku.” Karin menahan napas. Kata-kata itu bukan sekadar motivasi, melainkan ancaman yang dibungkus manis. Ia bisa merasakannya. 'Tapi, apa maksud semua itu? Aku sama sekali tak mengerti. Mengapa ia ingin aku bertahan? Kenapa aku dianggap pecundang seandainya berhenti bekerja? Apakah dia benar-benar tidak waras? Sebatu itukah hatinya, demi melihat perempuan yang sudah ia nodai, tapi tak ada penyelasan sama sekali.' Harris kembali berjalan ke meja kerjanya, lalu duduk santai. “Lagipula aku sudah berusaha mengajarkan banyak hal padamu. Dari yang cuma sekedar pegawai staf biasa, akhirnya kamu berhasil menjadi seorang sekretaris yang mumpuni. Bagaimana bisa kamu lepaskan semua itu?" katanya dingin. Karin menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak pernah meminta semua ini. Ia tidak ingin menjadi seorang sekretaris yang mumpuni, tidak. Namun ia hanya bisa berdiri terpaku, menahan amarah dan sakit hati. "Hanya karena satu insiden sepele kamu mau tinggalkan itu semua? Karir, pengalaman, dan uang?" kata Harris lagi, membuat kepalan di tangan Karin semakin kencang. Hari-hari berikutnya terasa seperti penjara. Karin bekerja dengan tubuh, tapi pikirannya melayang jauh. Setiap kali melihat Harris, jantungnya berdetak cepat antara takut dan marah. Ia mencoba mencari jalan keluar. Membuka kembali kontrak. Membaca setiap pasal. Namun yang ia temukan hanyalah jebakan demi jebakan. Harris terlalu cerdas untuk seorang CEO. Di rumah, Karin mulai sering murung. Ibunya beberapa kali bertanya, tapi selalu ia jawab dengan senyum palsu. Ia tidak sanggup menceritakan insiden malam itu. Bagaimana mungkin? Bagaimana ia bisa mengungkapkan bahwa pria yang ibunya anggap baik adalah seorang yang jahat. Malam-malam Karin kembali diisi mimpi buruk. Ia terbangun dengan keringat dingin, menatap langit-langit dengan napas terengah. Bayangan Harris yang menyerangnya di kamar apartemen selalu menghantui mimpi indahnya ketika sedang bersama Angga. Satu malam Karin belum mau tidur, ia menatap langit dari balik jendela kamarnya. Udara dingin menusuk, tapi jauh lebih nyaman daripada dinginnya ruangan Harris. Air matanya jatuh lagi. Ia merasa semakin terpojok, semakin terikat. Namun di balik keputusasaan itu, ada secercah tekad yang mulai tumbuh. Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Kalau ia terus diam, Harris akan menguasai seluruh hidupnya. Ia harus menemukan cara, sekecil apa pun untuk melawan. Karin mengepalkan tangannya, menatap bulan dengan mata basah. “Angga, aku janji. Aku akan cari jalan keluar. Aku tidak akan selamanya jadi tawanan.” Dan untuk pertama kalinya, meski hanya sekejap, hatinya terasa sedikit lebih kuat. Di tempat lain, Harris yang masih berada di kantor, duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap tanda tangan Karin di atas kertas kontrak. Jemarinya menyentuh lembut tulisan itu, senyum puas menghiasi wajahnya. “Tidak ada yang lebih indah," gumamnya, “Daripada menahan seseorang yang berusaha kabur. Apalagi kalau alasannya adalah karena aku telah menodainya." Ia bersandar di kursi, matanya menerawang. Dalam pikirannya, wajah Angga sekilas muncul. Harris terkekeh kecil. 'Kalau saja kau bisa melihat ini, Angga, betapa lemah perempuanmu tanpa dirimu.' Bagi Harris, semua ini bukan sekadar pekerjaan. Ini permainan. Permainan di mana Karin adalah pion, dan ia adalah pengendali papan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD