Bab 8. Tak Bisa Dihindari

1012 Words
Suasana kantor siang itu sibuk seperti biasa. Telepon berdering, mesin printer berdengung, dan suara langkah kaki karyawan yang lalu-lalang terdengar berlapis-lapis. Di balik meja kerjanya, Karin mengetik cepat sambil berusaha menahan rasa muak yang masih bergelayut di dadanya sejak beberapa hari terakhir. Sejak niatnya mengundurkan diri ditolak mentah-mentah oleh Harris, dunianya seperti berubah. Lelaki itu seakan tahu bahwa ia berhasil mengurung Karin dalam sangkarnya. Dan lebih parahnya lagi, Harris tidak hanya menahannya tetap berada di kantor—ia kini semakin sering melibatkan Karin dalam berbagai urusan bisnisnya. "Siapkan berkas untuk pertemuan sore nanti," suara berat Harris terdengar dari balik pintu ruangannya. Lelaki itu tidak perlu keluar, cukup berbicara dari dalam, dan Karin tahu perintah itu ditujukan padanya. Karin menghela napas panjang. Tangannya sempat berhenti mengetik. "Baik, Pak," jawabnya datar, hampir tanpa intonasi. Seakan ada kesengajaan dalam setiap langkah Harris. Rapat yang sebenarnya bisa ia hadiri sendiri, kini selalu harus ditemani Karin. Presentasi yang biasanya ditangani manajer lain, kini dilimpahkan padanya. Bahkan sekadar makan siang dengan klien, Harris tetap meminta Karin hadir. Bagi Karin, semua itu bukanlah bentuk penghargaan. Ia yakin Harris hanya ingin membuatnya terikat, tidak punya ruang untuk mundur. Meski wajahnya tetap datar, hatinya mendidih. Ia merasa seperti boneka yang dipermainkan. Sore itu, Karin mengikuti Harris menghadiri pertemuan dengan salah satu calon investor di sebuah restoran mewah di pusat kota. Dari luar, restoran itu tampak anggun dengan jendela besar dan lampu gantung kristal yang berkilau. Karin duduk agak menjauh, hanya mencatat dan menyiapkan dokumen saat diperlukan. Sepanjang pertemuan, ia menjaga sikap profesional meski hatinya dingin. Pandangan Harris beberapa kali meliriknya, tapi Karin tidak pernah membalas. Setelah hampir dua jam, pertemuan berakhir. Investor itu tampak puas dan menyalami Harris dengan hangat sebelum meninggalkan ruangan. "Kamu pulang sendiri saja setelah ini," ujar Harris singkat, merapikan jas hitamnya. "Aku masih ada urusan lain." Karin hanya mengangguk tanpa komentar. Jujur, ia sedikit lega. Setidaknya, kali ini ia bisa bernapas tanpa harus terus berada di dekat lelaki itu. Begitu Harris keluar, Karin membereskan catatannya. Ia memutuskan untuk sekadar duduk sejenak di café kecil di lantai bawah restoran sebelum pulang. Kepalanya terasa berat, pikirannya penuh sesak oleh perasaan yang bertabrakan. Café itu tidak terlalu ramai. Musik instrumental mengalun pelan, dan aroma kopi memenuhi udara. Karin duduk di dekat jendela, memesan secangkir teh chamomile, berharap bisa menenangkan hatinya. Namun, baru beberapa menit duduk, suara yang sangat dikenalnya membuatnya menoleh. "Karin?" Tubuhnya menegang. Suara itu. Suara yang sudah berusaha ia hindari beberapa minggu ini. Perlahan, ia menoleh, dan benar saja—di hadapannya berdiri Angga. Angga masih sama seperti terakhir kali ia lihat, mata teduh yang kini dipenuhi kelelahan, wajahnya sedikit pucat, namun sorot matanya langsung hidup begitu melihat Karin. "Kamu di sini?" Angga menarik kursi tanpa menunggu jawaban, duduk di hadapannya. Senyum samar terbit di wajahnya, meski jelas ada luka di balik senyum itu. "Aku … tidak nyangka bisa ketemu kamu." Karin terdiam. Tangannya mengepal di bawah meja. Hatinya berdebar kencang, tapi wajahnya berusaha tetap tenang. "Aku baru selesai meeting," jawabnya singkat. Angga menatapnya penuh arti. "Aku tahu kamu lagi sibuk. Tapi, Rin … tolong, kasih aku sedikit waktu. Aku masih tidak bisa menerima semua ini." Karin menelan ludah. "Angga, kita sudah bicara. Aku tidak mau mengulangi lagi." "Tapi kamu tidak memberiku alasan jelas!" suara Angga meninggi sedikit, membuat beberapa pengunjung menoleh sebentar. Ia buru-buru menurunkan suaranya. "Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Apa aku benar-benar nggak berarti buat kamu?" Karin merasakan dadanya sesak. Air matanya hampir pecah, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Angga, jangan buat ini semakin sulit. Aku mohon." "Kalau memang aku salah, bilang, Rin! Aku bisa perbaiki. Aku bisa berubah. Tapi jangan pergi tanpa alasan kenapa." Suara Angga terdengar parau, putus asa. "Kamu tahu aku tidak isa tanpamu." Karin memejamkan mata. Bayangan malam itu kembali menghantuinya —malam ketika Harris merenggut paksa rasa aman dalam dirinya. Malam ketika harga dirinya tercabik. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan semua pada Angga. Tapi lidahnya kelu. 'Kalau kamu tahu, Ga, kamu mungkin akan membenciku.' "Aku tidak bisa menjelaskan apa pun," ucap Karin akhirnya, suaranya bergetar. "Tapi percaya padaku, ini yang terbaik. Kamu bisa mendapatkan perempuan lain yang lebih baik dari aku." "Terbaik untuk siapa?" Angga mencondongkan tubuhnya, tatapannya menusuk. "Untuk kamu? Atau untuk orang lain?" Karin membeku. Pertanyaan itu seperti pisau. Ia tahu Angga mencurigai sesuatu, tapi ia tidak bisa mengakui. "Aku … aku harus pulang," katanya cepat, berdiri dari kursi. Angga ikut berdiri, menahan lengannya. "Karin, aku mohon. Jangan pergi. Kasih aku alasan, satu saja. Supaya aku ngerti dan tidak mencarimu lagi." Karin menatap Angga dengan mata berkaca-kaca. Untuk sepersekian detik, ia ingin menyerah, ingin meluruhkan semuanya. Namun rasa malu dan ketakutan lebih kuat. Ia menarik lengannya pelan, lalu berkata lirih, "Aku minta maaf, Ga." Dengan langkah tergesa, Karin meninggalkan café. Angga hanya bisa berdiri terpaku, menatap punggung perempuan yang ia cintai menjauh darinya, membawa semua misteri yang belum terpecahkan. ** Di sisi lain kota, Harris duduk di ruang kerjanya yang gelap, hanya diterangi lampu meja. Ia menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Sebuah berkas laporan terbuka, berisi perkembangan proyek yang ia awasi. Namun pikirannya tidak hanya pada bisnis. Senyum tipis terukir di bibirnya. Ia tahu bidak-bidak di papan permainan mulai bergerak. Karin kini selalu di sisinya dalam setiap urusan kerja. Angga pasti merasakan kehilangan. Dan sebentar lagi, luka itu akan semakin dalam. "Kamu sudah mengambil Renata dariku, Ga," gumam Harris pelan, suaranya penuh dendam. "Kali ini, aku pastikan kamu kehilangan segalanya. Perlahan. Tanpa bisa melawan." Harris menyandarkan tubuhnya, jemarinya mengetuk meja pelan. Baginya, ini baru permulaan. Karin hanyalah langkah pertama menuju kehancuran Angga. Dan ia menikmatinya. Harris tahu jika Karin amat membencinya, tapi ia tak peduli akan hal itu. Di benaknya sekarang adalah bagaimana caranya ia membalaskan dendam dan membuat sosok Angga menderita. "Kau harus merasakan rasa sakit seperti apa yang aku rasakan. Setelah mengambil Renata, lalu menghancurkan proyekku, tidak mungkin aku biarkan kau hidup bahagia," kata Harris. "Karin, kamu harus menanggung kesalahan kekasihmu. Sungguh perempuan malang," tambah Harris tersenyum puas. Malam semakin larut dengan bulan yang menerangi di atas langit sana. Sedangkan Harris masih enggan beranjak dari tempat duduknya, beserta laptop yang masih menyala. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD