6. Suami Tampan

1069 Words
"Daddy tahu, kamu tahu maksud Daddy mengajak kamu ke warung itu apa," ucap Fattan begitu sudah berada di mobil dengan sang putra. "Iya, Dad. Fachri tahu." "Kamu anak Daddy, bukan anak Om Revan. Kakakmu saja yang anak Om Revan, karena Daddy yang didik dia tidak pernah menyakiti wanita, apalagi istrinya. Tapi kamu?!" "Dad–" Fachri ingin membela diri, tetapi Fattan tidak peduli. "Daddy laki-laki. Daddy tahu apa yang ada dalam pikiran kamu. Kamu tahu, kenapa Daddy dan Mommy hari ini ke sini?! Karena Daddy merasa pasti ada yang tidak beres. Bisa-bisanya sebulan lebih ninggalin istri, kamu blas nggak kirim dia pesan satu pun apalagi telepon. Dan terbukti, kan, karena memang ada wanita lain di sini!" Fachri lupa. Di depan orang tuanya, ia memang bersikap harmonis saja dengan Aira. Namun, karena di sini ia sibuk dan saat bersantai lebih banyak bersama Ayu atau warga setempat, ia lupa untuk mengingatkan sang istri bahwa sandiwara masih berlangsung. "Tapi, Dad ...." "Jangan bikin Daddy malu! Ingat! Mommy-mu wanita, dan kelak kamu juga pasti punya anak perempuan, kamu mau, kalau anak kamu kelak dikhianati atau disakiti suaminya?!" Fachri menggeleng. "Itu juga yang mertuamu rasakan. Dia juga tidak akan rela jika putrinya disakiti." Seperti biasa, Fachri hanya bisa terdiam pasrah dan mengiyakan saat daddy-nya menceramahinya. Fattan memang penyayang, tetapi dia juga sangat tegas. *** Selepas sholat Asar, Fattan dan Zahra pamit untuk pulang. Tak lupa, Fattan mengingatkan lagi sang putra. "Ingat pesan Daddy, Fachri!" "Iya, Dad." Zahra sudah tahu maksud suaminya, karena tadi mereka sempat mengobrol berdua. Setelah orang tuanya pergi, Fachri mengajak Aira untuk bicara. Mereka pun duduk lesehan di karpet, di mana tadi digunakan untuk makan bersama. "Bicara apa, Kak?" tanya Aira. "Soal yang tadi, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud untuk menutupi statusku, tapi–" "Nggak apa-apa, kok, Kak. Aku ngerti, kok. Ya, hak Kak Fachri juga kan itu. Lagian, pernikahan kita kan cuma status di buku nikah. Di KTP kita aja masih sama-sama lajang." Mendengar perkataan Aira, Fachri lantas memandangnya. Namun, yang dipandang malah tersenyum. "Kenapa, Kak? Benar, kan?" "Iya, benar. Ehm, masalah Ayu ...." "Itu bukan urusanku, Kak." "Maksudku ...." "Kakak yang bilang kan dulu, kalau kita nggak akan saling mengekang. Kalau ternyata, di saat kita belum saling mencintai, ada yang jatuh cinta, ya sudah. Tinggal nunggu waktu aja kan berarti? Setahun? Atau Kak Fachri akan pangkas waktunya? Sebagai makmum Kakak, aku juga akan jadi makmum dari semua keputusan Kakak." Ya, setelah menikah, dulu mereka memang pernah saling berjanji untuk tidak akan saling mengekang. Satu tahun adalah waktu yang mereka jadikan batas waktu. Kalau dalam waktu satu tahun belum ada yang saling jatuh cinta, ya sudah. Mereka akan jujur pada orang tua bahwa tak bisa melanjutkan rumah tangga mereka. Pun jika ada yang jatuh cinta pada orang lain, harus menunggu waktu setelah masa satu tahun itu untuk menjalin hubungan. Sekadar dekat atau akrab tidak apa-apa. Asal jangan sampai jadian bila tak ingin dikatakan selingkuh. "Apa kamu juga sudah memiliki pacar, Ai?" Aira menggeleng. "Aku nggak boleh pacaran sama Ayah. Jadi fix, aku nggak pernah pacaran. Apalagi dalam status kita yang sekarang. Kalaupun ada cowok yang aku taksir, ya berarti aku harus ngempet sampai masa satu tahun kita habis." Fachri mengangguk-angguk. Oke, dia pun akan melakukan hal yang sama. Untuk sekarang ini, dia akan biarkan hubungannya dengan Ayu dan Aira sama-sama mengalir. Lihat nanti saja, gadis mana yang akan memenangkan hatinya. *** Setelah sholat magrib, seperti biasa Ayu datang ke rumah yang Fachri tempati untuk mengantar makanan. "Ayu," ucap Fachri saat membuka pintu. "Kenapa, Mas? Aku mau nganterin makan malam buat kita." Ayu menunjukkan yang dibawanya. Ia tidak tahu kalau Aira tak ikut pulang. "Wah, aku lupa nggak nge-chat kamu, kalau mommy-ku bawa lauk banyak. Tapi nggak apa-apa, deh. Besok kamu nggak usah masakin ya. Takut mubazir." "Oh ... oke." Ayu pun masuk ke rumah, sementara Fachri menutup pintu. Rumah ini, memiliki jendela dengan kaca yang cukup lebar. Jadi ia tidak takut menimbulkan fitnah karena aktivitasnya dapat terlihat dari luar. Pria itu memang menutup gorden ketika akan tidur. Saat Ayu akan ke dapur untuk mengambil alat makan, ia melihat ada koper yang tergeletak di lantai. "Lho, ini koper siapa, Mas?" "Oh, koper Aira. Anaknya lagi tidur." "Dia nggak ikut pulang orang tua kamu?" "Enggak. Dia akan menginap di sini untuk beberapa haru." Ayu mengangguk tanda mengerti. Gadis itu tidak bertanya siapa Aira, karena ia tahunya kalau Aira adalah adik Fachri. Sebenarnya, Aira tidak tidur. Ia hanya minta izin ke Fachri untuk ke kamar saat melihat Ayu sedang berjalan menuju ke kontrakan pria itu. Saat ditanya kenapa, jawaban Aira adalah karena belum ingin berkenalan dengan bidan desa itu saja. Sementara di dalam kamar, Aira hanya menguping pembicaraan dan candaan antara Ayu dan Fachri. Gadis itu tidak menyangka kalau sang suami bisa tertawa selepas itu. Dan itu dengan gadis lain. *** Pukul setengah sembilan malam, Ayu baru saja pulang. Seperti biasa, Fachri langsung menutup jendela dengan gorden. Aira pun langsung keluar dari kamar. "Kalau saja dia nggak pulang-pulang, mungkin aku akan tidur dalam keadaan lapar," ujar Aira. Fachri pun langsung berkacak pinggang. "Yang ngelarang kamu buat makan siapa?" "Nggak ada." "Ya, udah. Buruan sana makan. Awas aja kalau sampai sakit, terus aku yang disalahin sama Mommy," ancam Fachri. "Enggak disalahin, kok. Tapi aku bakal minta buat dirawat jalur VVIP. Baru nyadar aku, kalau punya suami dokter yang tampan." Aira terkekeh sambil berjalan menuju dapur. "Ye ... berbulan-bulan baru nyadar kamu. Orang temen-temen kamu aja pada ngeliatin aku semua kalau aku ke sekolah. Kamu yang di samping aku malah nggak melirik blas." Aira tertawa. "Itu tandanya apa, Kak? Tandanya, aku nggak mata gantengan. Nah, karena itulah makanya Allah kasih aku suami ganteng sebagai kado karena aku nggak pernah yang namanya ngelirik cowok ganteng." Gadis itu sedang mengambil rendang dari dalam kulkas. Kemudian mengambil beberapa potong untuk dipanaskan di teflon. Fachri berjalan mendekat. Lalu, mencomot sepotong rendang yang ada di teflon. Rendang buatan sang mama memang enak. Tak kalah dengan buatan Farhan yang memang memiliki rumah makan Padang, meskipun bukan orang asli salah satu kota di pulau Sumatera itu. "Ye ... main comot aja," protes Aira. "Kenapa? Nih, aku balikin lagi, ya." Fachri sudah berpura-pura bersiap untuk mengeluarkan daging yang tengah dikunyahnya. "Eh ... jangan!" Aira pun berteriak. Semenjak mereka tidur dalam satu kamar, hubungannya memang lebih menghangat. Tidak seperti dulu. Apalagi sebelum tidur, meskipun tidur di tempat terpisah, mereka suka bertukar cerita. Tidak salah Zahra memaksa mereka untuk tidur dalam satu ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD