"Tidur sana, udah jam sepuluh," ucap Fachri menyuruh Aira karena gadis itu masih saja asyik menonton televisi.
"Nanti ah ... belom ngantuk. Kak Fachri tidur aja dulu situ."
"Aku nggak bisa tidur kalau ada cahaya televisi."
"Ya, udah ... sana Kak Fachri yang tidur di kamar. Biar aku yang tidur di sini." Aira masih saja menolak.
"Yakin? Emang kamu berani? Inget ya, ini bukan di rumah, bukan di kota. Kalau nanti tiba-tiba ada yang ketuk pintu gimana?!" gertak Fachri, berusaha menakut-nakuti.
"Iih ... Kak Fachri nggak usah nakut-nakutin, deh!"
"Siapa yang nakut-nakutin? Makanya udah, sana pindah ke kamar. Aku besok harus kerja, lho."
"Ish, iya-iya." Dengan pasrah Aira mematikan televisi. Gadis itu pun langsung berdiri, dan berpindah ke kamar.
Lampu ruang tamu dimatikan. Ruangan tersebut memang jadi satu dengan ruangan televisi. Hanya menyisakan lampu bohlam kecil sebagai penerangan.
Sampai pukul sebelas, Fachri tak kunjung bisa memejamkan mata. Selain rasa dingin, kursi yang dijadikan tempat tidur juga sangat tidak nyaman. Baru beberapa jam saja badannya sudah sakit. Apalagi tubuhnya yang tinggi, membuat kakinya harus ditekuk. Nekat, pria itu akhirnya mengetuk pintu kamar.
"Ai, udah tidur belum?" tanyanya.
"Belom. Kenapa?" jawab Aira dari dalam.
Tanpa menjawab, Fachri langsung membuka pintu kamar.
"Kita tidur bareng, ya?!"
"Hah?! Kenapa? Bukannya Kak Fachri mau tidur di kursi katanya?"
"Enggak, ah. Badanku sakit semua. Aku mau tidur di kasur aja."
"Maksudnya, aku disuruh tidur di kursi?" Aira menunjuk dirinya sendiri.
"Ya kalau kamu mau ya sana. Kalau enggak, ya kita berbagi." Fachri mulai berjalan menuju ranjang. Lalu, ia duduk di pinggirannya.
"Iih ... enggak-enggak! Kasurnya sempit buat berdua!" Ukuran kasur di kamar itu memang hanya 120x200 cm. Atau, ukuran nomor 3. Jadi, kalau untuk tidur pasangan suami-istri yang memang tak pernah tidur saling memeluk ya memang sempit.
"Terus? Kamu mau tidur di kursi ya sana. Kalau aku nggak mau. Aku butuh tidur yang nyaman. Karena setiap hari aku bertemu sama orang sakit. Kalau kualitas tidurku jelek, bisa-bisa aku salah bikin resep. Dah, ah. Terserah kamu. Kalau kamu nggak mau tidur satu ranjang, ya terserah. Tapi aku udah ngantuk." Tanpa menghiraukan Aira lagi, Fachri pun langsung merebahkan diri di ranjang. Tidak peduli Aira mau tidur di mana.
Sementara Aira akhirnya hanya bisa membiarkan. Tidak mungkin juga ia menggantikan Fachri tidur di kursi. Karena memang, kursinya bukan kursi seperti di rumahnya atau di rumah mertuanya yang memang nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Guling yang tadinya ia peluk, kini dijadikannya pembatas agar satu sama lain tidak ada yang melanggar jatah tempat tidur mereka.
***
Esoknya Fachri bangun lebih dulu. Diperhatikannya wajah sang istri. Ia tertawa karena ekspresi istrinya itu. Mulut Aira melongo, tetapi tidak ada air liur baik di samping kiri maupun kanan bibirnya. Iseng, diambilnya ponsel miliknya. Lalu, tanpa izin ia memotret sang istri. Diunggahnya foto Aira yang ia tutupi dengan stiker ke status w******p-nya dengan keterangan [Jadi cewek tuh bobok yang elegan. Udah mulut mangap, ileran lagi. Untung ... :*] sengaja ia mengetik demikian, tidak mengetik secara lengkap. Setelah terunggah, Fachri terkekeh sendiri. Ia penasaran, bagaimana respons Aira nanti.
"Woi ... bangun, woi. Anak gadis molor mulu," ucap Fachri sambil memencet hidung Aira.
"Aaa, Kak Fachri, mah ... sakit tahu!" Aira protes sambil mengusap hidungnya yang sudah kemerahan.
Sedangkan Fachri langsung menutup hidungnya sendiri. "Beh ... berapa hari nggak sikat gigi sih, kamu?"
"Enak aja! Ini tuh bau surga tahu!"
"Waduh, sejak kapan bau surga begini. Bangun, cuci muka, gosok gigi sana. Abis itu, buatin aku kopi. Sebulanan ini, kamu cuti bikin kopi, kan? Mulai pagi ini, bikinin lagi. Mumpung di sini." Meskipun Aira tidak pernah memasak untuk Fachri, urusan membuat kopi memang jadi tugasnya. Baik ketika di rumah orang tua, maupun di rumah orang tuanya. "Eh ... malah pegang hape."
"Sabar, dong. Aku cek hape dulu bentar. Siapa tahu ada chat dari gebetan," jawab Aira asal saja.
"Kamu punya gebetan?"
"Cowok yang aku taksir ya ada lah."
"Siapa?"
"Ih, kepo. Urusin aja tuh bidan depan rumah." Aira lanjut fokus dengan ponselnya. Ia membuka aplikasi w******p. Tidak ada pesan penting. Kemudian, diklik-nya kolom status. Ia buka satu per satu. Sampai di status suaminya, ia menoleh ke sang pemilik status. Matanya mendelik tajam. Sambil menunjukkan ponsel ke Fachri, dia berkata, "Hapus, nggak?!"
Fachri justru tertawa. "Lha, kenapa? Cantik, kan, dia."
"Cantik kan dia, cantik kan dia. Kalimatnya itu lho, bikin orang pengen nyakar. Buruan hapus nggak?!"
"Bikin kopi dulu sana."
"Enggak! Hapus dulu!"
"Bikin kopi dulu."
Karena Fachri tak kunjung mau menghapusnya, Aira berniat untuk merebut ponsel pria itu. Baginya, orang-orang, terutama teman-teman Fachri yang tahu bagaimana ia tidur, hal itu akan sangat memalukan untuknya. Tanpa sengaja, Aira akhirnya menindih tubuh Fachri hanya demi mengambil ponsel yang masih dipegang si empunya. Mata mereka pun saling tatap, napasnya terasa satu sama lain karena wajah mereka sudah saling berhadapan. Andai saja ada yang mendorong kepala Aira dari belakang, pasti bibir mereka sudah menempel.
"Nanti aku hapus. Sana kamu bikin kopi dulu." Suara Fachri yang lebih tepat dikatakan sebagai bisikan, membuat Aira gagal fokus.
Mata gadis itu mengerjap. Kemudian, ia segera turun dari tubuh Fachri dan segera keluar dari kamar. Sedangkan Fachri mengembuskan napas dengan kencang. Beberapa bulan menikah, baru pernah ada kejadian seperti tadi. Ia berharap, nanti tidak ada kecanggungan karena ia sudah merasa nyaman hubungannya dengan sang istri tak berjarak seperti dulu.
Setelah beberapa menit Aira keluar, Fachri pun turun dari ranjang. Ia rapikan tempat tidur. Setelah kembali rapi, pria itu pun keluar bersiap membersihkan diri. Tak disangka, bukannya sedang membuat kopi, ternyata Aira sedang duduk melamun di kursi.
"Nih anak ya ... disuruh buat kopi malah melamun."
Aira tak menjawab. Fachri geleng kepala dibuatnya.
"Ai ... Ra ... Aira!!!"
"Eh, iya, kenapa Kak?"
"Pagi-pagi jangan melamun. Pamali. Kopiku mana?"
"Iya, aku buatkan." Aira langsung ke dapur.
"Buat minum buat kamu sekalian. Di sini dingin. Lumayan buat hangat-hangat badan. Awas aja kalau di sini kamu sampai sakit."
"Iya ... iya, Pak Dokter."
"Ya udah, aku mandi dulu. Mau sholat subuh. Biasanya sholat di masjid, tapi hari ini aku kesiangan."
"Ya udah, sana sih mandi. Malah pakai acara curhat."
"Abisnya kamu pakai melamun segala. Nanti kalau kamu kesambet, akunya juga kan yang jadi bingung. Jadi aku maju mundur antara mau masuk kamar mandi apa enggak."
"Ya Tuhan, ya Allah, ya Rabb ... ada apa dengan suami hamba pagi ini, ya, Allah."
Fachri malah tertawa. Ya, dia hanya tidak ingin saja ada kecanggungan setelah kejadian di kamar tadi.