8. Gara-gara Baju

1100 Words
Fachri pun akhirnya masuk ke kamar mandi, sedangkan Aira, ia mulai memasak air untuk menyeduh kopi. Sesaat setelah kopi untuk Fachri jadi, ia mendengar ada yang mengetuk pintu. "Iya ... sebentar," jawabnya. Pintu terbuka, ada Ayu di sana dengan nampan berisi nasi dan lauk. Ia tersenyum, kemudian menyelonong masuk begitu saja. Aira hanya melongo. Seperti biasa, Ayu berniat untuk memasak air untuk membuatkan Fachri kopi. Aira yang melihatnya lantas bertanya. "Mau buat apa, Mbak?" "Kopi buat Mas Fachri." "Oh, itu tadi udah saya buatkan." "Nggak terlalu manis, kan? Gulanya sedikit, kan?" Aira terbengong. Di sini siapa yang sebenarnya istri Fachri? Mengapa Ayu malah yang bersikap demikian? "Iya kok, Mbak. Saya udah terbiasa juga bikin kopi buat Kak Fachri di rumah," jawab Aira. "Ooh ...." Ayu hanya mengangguk-angguk. Setelah itu, ia menyiapkan semua peralatan makan di meja ruang tamu. Hal biasa yang suka dia lakukan. Mulai merasa ada sinyal tidak baik dari Ayu, Aira memilih untuk masuk kamar. Fachri sudah selesai mandi. "Yu, kamu udah di sini? Mana Aira?" "Kayaknya masuk kamar deh, Mas." "Ooh." Fachri hanya ber-oh saja lalu berjalan ke kamarnya. Di dalam kamar, Aira tengah sibuk dengan ponselnya. "Kok masuk kamar? Keluar gih, sarapan," ujar Fachri. "Kita sarapan bareng." "Enggak, ah. Males. Bidan itu kayaknya suka sama Kak Fachri dan aku nggak mau ngeliat dia sok perhatian ke Kak Fachri di depan aku." "Kamu cemburu?" "Nggak juga, sih. Nggak sreg aja. Tadi aja aku bikin kopi, dia tanya, nggak kemanisan, kan? Berasa dia tahu segalanya tentang Kak Fachri," sungut gadis itu. "Dia cuma mengingatkan kali, Ai. Bagus juga kan, dia hanya peduli sama kesehatanku. Itu aja." "Iya, deh, iya. Udah sana buruan keluar. Ntar dikira lagi ngapa-ngapain lagi." Benar saja, di luar kamar, tak hentinya Ayu menoleh ke arah kamar. Dalam pikirannya, ia penasaran, sedang apa Fachri dan Aira di dalam? Apa kakak-beradik itu memang sudah biasa berada di kamar hanya berdua? Ya, Ayu memang mengira kalau Aira dan Fachri adalah kakak-adik. Sementara di dalam kamar, Aira mulai merasa tak baik-baik saja. Ada getar aneh saat melihat tubuh tegap suaminya. Kemeja yang menempel pas di tubuh pria itu cukup membuatnya lebih menarik. Dan anehnya, setelah berbulan-bulan menikah, Aira justru baru menyadarinya. "Ai, tentang aku dan Ayu?". "Udahlah, Kak. Kita lihat saja setahun pernikahan kita bagaimana. Sekarang nikmati saja dulu. Nggak usah bahas apa pun. Biarkan semua ngalir kayak air." Fachri mengangguk setuju. Ya, Aira benar. Saat ini lebih baik jalani saja apa yang ada. Biarkan semua berjalan senatural mungkin. Fachri dan Ayu sarapan dalam diam, tak seperti biasanya. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Fachri. "Nggak kenapa-kenapa kok, Mas." "Kok banyak diam?" "Hanya ingin diam saja." Fachri hanya mengangguk saja. Mungkin Ayu memang sedang ingin diam. *** Seperginya Fachri bekerja, Aira memutuskan untuk bersih-bersih rumah. Selain itu, ia juga ingin mencuci baju Fachri yang sudah menumpuk di keranjang baju kotor di depan kamar mandi. "Katanya dokter, cinta kebersihan, baju kotor sampai numpuk. Bukannya kayak gini malah bikin jadi banyak nyamuk, ya?!" gerutunya. Ia mulai memisahkan baju-baju itu, takut ada bahan yang luntur. Ia sedang memilah-milah, ia merasa lucu dengan dalaman milik suaminya itu. Namun, satu yang cukup membuatnya tercengang, di baju kotor itu ada baju atasan wanita. Juga ... dalaman. Mau tak mau hal tersebut membuat Aira berpikir yang tidak-tidak. Apa iya suaminya sudah melakukan hal yang melampaui batas? Tapi, ia rasa tidak mungkin. Fachri pria yang tumbuh di lingkungan agama yang bagus. Pokoknya, nanti ia harus bertanya setelah Fachri pulang. Ya, harus! Di Puskesmas, saat sudah jam makan siang, seperti biasa, jika Puskesmas sudah sepi pasien, maka Fachri dan Ayu makan siang bersama. "Mas, apa hubungan kita akan tetap begini-begini saja?" tanya Ayu dengan serius. Sontak, Fachri langsung tersedak. Ia langsung meminum air putih sebanyak mungkin, agar makanan yang mengganjal di tenggorokan bisa segera terbawa air. "Begini-begini saja bagaimana maksud kamu?" "Ya, kita udah deket kan selama ini. Apa, apa Mas Fachri tidak ingin kita lebih serius? Pacaran misalnya." Refleks, Fachri langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gimana, ya, Yu ... aku orang yang nggak terbiasa pacaran soalnya. Ya, aku akui kita memang dekat. Aku sangat berterima kasih atas semua perhatian yang kamu kasih. Tapi maaf, untuk pacaran, aku nggak pernah memikirkan itu. Kalau untuk yang lain, kita lihat saja ke depannya akan seperti apa. Kita lihat, setelah magangku berakhir, kita akan seperti apa." Sebenarnya bukan itu yang jadi alasan Fachri, tetapi ia ingin melihat bagaimana hubungannya dengan Aira. Meskipun genit dengan wanita lain, pria itu masih tahu batasan. Kalaupun ia ingin menjalin hubungan serius dengan wanita lain, ya nanti, setelah pernikahannya berakhir. Bicara hati, Fachri memang ada hati pada Ayu. Apalagi ibu Ayu juga menitipkan Ayu padanya. Dua minggu yang lalu, ibu Ayu memang sudah kembali ke luar negeri untuk menghabiskan masa kontraknya. Di rumah, Aira baru saja selesai menjemur pakaian. Meskipun ia terbiasa mencuci baju menggunakan mesin, namun ia tetap bisa melakukannya dengan kucek tangan. Saat menjemur pakaian dalan dal4man yang milik wanita ada perasaan jengkel dalam hatinya. Ia tak sabar menunggu Fachri pulang untuk meminta penjelasan. Pukul tiga sore, Fachri pulang. Bersama Ayu tentu saja. Setelah turun dari mobil, Ayu langsung pulang ke rumah. Sedangkan Fachri tengah keheranan karena baju-bajunya yang kotor sudah berpindah ke tali jemuran. Biasanya, Ayu yang membawanya ke laundry. Meskipun di desa, di tempat tersebut memang ada tukang laundry. Pria itu masuk ke rumah dengan mengucap salam. Ada Aira yang sedang menonton televisi. Fachri langsung duduk di kursi, melepas sepatu dan kaus kaki yang ia kenakan. Setelah itu ia mencuci kaki di kamar mandi. Lalu mengambil air minum dan segera menenggaknya. "Kamu yang nyuci baju, Ai?" tanya Fachri. "Ya iya, lah. Siapa lagi." "Nyuci pakai apa?" "Ya pakai tangan. Masa pakai mulut." "Emang bisa? Bersih nggak?" "Ish ... sana periksa satu-satu. Oya, aku nemuin satu kaos wanita, braa, sama celana dalam. Itu punya siapa? Punya Bu Bidan, ya? Kok bisa ada di sini? Jangan bilang Kak Fachri macam-macam mentang-mentang jauh dari Mommy sama Daddy." "Kamu ngomong apaan, sih?! Rendah banget pikiran kamu. Baju dia ada di sini, karena dia numpang mandi di sini. Air di rumahnya mati. Dan masalah baju, karena bajuku dia yang bawa ke laundry, apa salahnya juga kan sekalian. Udah, nggak usah suka nyentuh barang-barang aku! Aku biarkan kamu di sini, karena nggak mau bikin Mommy marah. Jadi jangan seolah kamu berhak mengatur ini dan itu!" Setelah mengucapkan itu, Fachri langsung ke kamar. Sementara Aira masih terkejut dengan respons yang suaminya berikan. Mengapa bisa semarah itu? Bukankah pertanyaannya biasa saja? Seketika hatinya nyeri mengingat sang suami sebegitunya membela bidan depan rumah. Itu yang ada di pemikiran Aira saat ini. "Oke, aku pikir, kita akan bisa lebih dekat. Nyatanya salah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD