Ch.05 Dibawa Ke Rumah CEO

1444 Words
Waktu berjalan cepat di New York. Tak terasa sudah hampir satu bulan Liora bekerja di perusahaan X-Tech. berbagai gosip dari Christian ia dengar setiap hari. Akan tetapi, ia berusaha untuk tidak peduli. Apalagi, CEO tersebut sedang pergi ke luar negeri sampai dua minggu dan mereka tidak ada komunikasi sama sekali. Meski ia terus memeriksa ponsel setiap hari berharap ada pesan apa saja dari Christian, nyatanya tidak ada apa-apa. ‘Mungkin memang dia hanya iseng. Atau dia sungguh sudah punya tunangan dan memutuskan untuk berhenti menggodaku. Apa pun itu, aku memang tak pantas untuknya,’ yakin Liora dalam hati. Malam ini, ia mengusap pelipisnya dengan ujung jari. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul sembilan dan dia masih ada di depan meja resepsionis, membuat rekapan tamu yang datang hari ini. “Minerva sakit, Bernice ada urusan keluarga. Jadilah aku sendirian malam ini,” gumamnya lirih, memasukkan berkas terakhir ke computer dengan napas lega. Ia merapikan tas kecilnya, lalu bangkit dan berjalan pelan menuju pintu keluar. Liora menuruni tangga depan gedung, menoleh kiri dan kanan. Bus yang hendak ia tumpangi berhenti tidak jauh, kemudian ia mulai melangkah ke arah halte. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat ia berjalan di belokan yang gelap dan sepi. Dua pria asing berjalan tergesa mendekat. Bagian kepala tertutup hoodie hitam dan topi, membuat siapa pun tak bisa mengamati dengan jelas wajah mereka. Dengan sengaja mereka menubrukkan tubuh ke Liora dan menarik tas sang wanita dengan kasar. Singkat kata, mereka adalah perampok! “LEPASKAN TASKU! TOLOOONG! TOLOOONG!” teriaknya ketakutan. Pria itu semakin menarik tasnya kasar sementara Liora menahan sekuat tenaga. Dalam pergumulan itu, tubuhnya didorong hingga jatuh dari trotoar ke jalan aspal. Rasa nyeri menghantam pergelangan kakinya. Ia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit membuatnya tersungkur lagi. “TOLOOOONG!” Liora berteriak sekali lagi berharap ada yang mau berhenti membantunya. Karena panik mendengar jeritan korbannya, seorang perampok nekat mengeluarkan pisau guna menusuk Liora agar berhenti berteriak. Ia mengayunkan tangan ke atas, dan …. Belum sempat tangan menghunjam ke bawah, terdengar bunyi klik dari belakang kepala perampok. “Letakkan pisaumu ….” Suara berat itu mengancam sama seperti moncong pistol yang ada di belakang kepala sang perampok. Satu perampok lain berbalik cepat, ingin menolong temannya, tetapi dia langsung disambut dengan moncong senjata pula tepat di depan wajahnya. Sosok Christian Xu berdiri di sana. Tangan kanan menodong ke tengkuk sementara tangan kiri menodong ke wajah. Ia menyeringai dengan tenang. “Bergerak, maka kupastikan otak kalian tercecer di atas trotar,” desisnya mengancam pelan, tetapi mematikan. Terdengar suara deru mobil mendekati mereka. Satu buah Porsche 911 berhenti di pinggir jalan bersama BMW X5 yang mengiringi di belakangnya. Dari sportcar keluar Jihoon sementara dari BMW keluar lima orang bodyguard. “Urus mereka!” perintah Christian masih tetap menodongkan senjata. Liora yang melihat itu semua terengah, tersengal sampai sulit bernapas. Setelah melihat pisau perampok, kini dia harus melihat dua pistol milik Christian yang diarahkan persis ke tengkuk dan wajah lawan. Pemandangan yang baginya sangat mengerikan, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jihoon bersama dua bodyguard melesat cepat, mengamankan kedua perampok tanpa perlawanan berarti. Sesudah dua perampok dibekuk dan siap disingkirkan dari jalanan, Tuan Muda Xu mendekati Liora yang masih memandangnya dengan horor serta wajah pucat pasi. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil bersimpuh pelan. Matanya memandang ke bawah, lalu jemari menyentuh pergelangan, memeriksa kaki Liora. “Kakimu sakit?” Wanita itu menelan liur berkali-kali saking susahnya berbicara. Udara tercekat di tenggorokan, sulit untuk dihela. Akan tetapi, ia menjawab terbata, “I-iya … tadi … sa-saya … tadi mereka mendorong, d-dan … dan saya terjatuh.” Christian mengusap perlahan pergelangan kaki itu, menekannya dengan hati-hati. Usapan yang membuat seluruh aliran darah Liora berdesir kencang. Yah, dia juga masih wanita normal yang bisa berdesir kalau disentuh CEO-nya. Usapan itu terasa hangat, lembut, perhatian, bahkan … tulus. “Tidak patah. Hanya terkilir ringan. Tapi, sepertinya kamu tidak bisa berjalan dulu malam ini. Kakimu harus diistirahatkan.” Liora menunduk, wajahnya memerah antara malu dan sakit. “Bisa … saya pasti bisa pulang sendiri. Saya akan ke halte dan segera menaiki bus.” “Nope, kamu tidak bisa berjalan sendiri malam ini.” Selesai berkata begitu, mendadak Christian mengangkat tubuh resepsionis-nya dengan satu kali gerakan dan menggendongnya erat di d**a. Jelas saja Liora memekik kaget, “Tuan!” Namun, Christian justru tersenyum angkuh. “Kamu tidak bisa berjalan, jangan berisik. Percaya saja padaku. Malam ini, kamu ikut denganku.” “Hah! Tunggu, sa-saya … Tuan, ki-kita … kita … saya mau dibawa ke mana!” protes Liora kebingungan merasa tubuhnya seperti boneka kecil tak berdaya dalam dekapan hangat itu. Sportcar biru muda berkilau menunggu di tepi jalan. Porsche 911 yang harganya hampir 1 juta Dollar itu masih terbuka pintunya setelah Jihoon tadi keluar dari dalam. Dengan santai Christian meletakkan Liora di kursi penumpang, kemudian memasangkan sabuk pengaman. Wajahnya sengaja didekatkan dengan wajah Liora, apalagi bibirnya. Maju satu atau dua sentimeter saja sudah bisa dipastikan dia bisa mencium bibir sang wanita. Jihoon dan pengawal yang lain hanya saling tatap dan tersenyum tahu sama tahu. Sudah hafal luar kepala kelakukan bosnya. “Tuan, saya langsung bawa dua cecunguk ini ke Dungeon?” Christian menutup pintu mobil di sisi Liora, lalu menoleh ke asistennya dan menjawab, “Ya, bawa mereka ke Dungeon. Katakan pada Paman Gabe kalau mereka menyerangku. Beri mereka pelajaran untuk tidak main-main dengan Klan Lycenzo.” Sontak dua perampok menjerit setengah menangis setelah mendengar nama Lycenzo. “Ampun, Tuan! Ampuuuun! Kami tidak tahu!” Lycenzo adalah sebuah organisasi gelap yang sangat ditakuti di daratan Amerika. Dan merek yang duduk di tampuk pimpinan semua adalah keluarga Christian. Perampok sungguh memilih korban yang salah malam ini. Tak peduli dengan lolongan minta ampun dua perampok, Christian memasuki mobil. Setelah menutup pintu, ia mulai menginjak pedal gas dan bergeraklah kendaraan mewah tersebut dalam kecepatan tinggi membelah kota New York yang diterangi lampu kota menawan. Liora tak berani menoleh. Ia hanya terus menunduk dan meremas-remas jemari yang ada di atas pangkuan. ‘Tuhan, apa dia menculikku? Aku mau dibawa ke mana?' Hatinya bergemuruh tidak karuan. Bersama Christian seharusnya terasa lebih aman karena sang CEO tadi menyelamatkannya dari perampok. Tapi, kenapa dia takut sekali berduaan begini? Apalagi, kata-kata Bernice terngiang di telinga, “Tuan Christian katanya paling suka melakukan kencan satu malam dengan wanita, kemudian pergi begitu saja keesokan hari. Makanya, dia selalu mengajukan tiga syarat itu.” ‘Mati aku! Apa dia akan menjadikan aku partner one night stand-nya? Ah, yang benar saja! Aku tidak mau! Ini gila!’ Wanita lugu itu terus menjerit dalam hat. Wajahnya yang bingung, takut, dan salah tingkah sendiri menarik perhatian Tuan Muda Xu. “Memikirkan apa?” Tak ada jawaban, Liora hanya menggeleng dan terus menunduk. Mana mungkin dia bilang sedang memikirkan takut dijadikan teman tidur satu malam oleh sang CEO. “Kenapa sejak aku mengirim buket bunga dan pesan di chat yang memberimu ucapan selamat bekerja, bahkan memujimu cantik, tetapi kamu tidak pernah membalas apa pun?” Lalu, suara Christian semakin mendayu berat. “Kamu membuatku patah hati dengan memperlihatkan bahwa kamu tidak peduli padaku.” “Haaah!” Liora reflek mendongakkan kepala dan melenguh panjang saking kagetnya dengan kalimat itu. CEO X-Tech menggigit bibirnya sendiri supaya tidak tergelak. Ekspresi Liora yang sedemikian kaget dan polos membuatnya ingin tertawa lebar, tetapi ia tahan. Rayuan lain kembali ia lancarkan, “Dua minggu lebih aku keliling Eropa, kamu cuek sekali tidak pernah menanyakan kabarku. Aku curiga kamu berbohong saat mengatakan tidak punya kekasih.” “Pasti kamu sudah punya kekasih, ‘kan? Itulah sebabnya kamu tidak peduli padaku. Aku tidak suka punya karyawan pembohong.” Liora cepat menggeleng, tidak terima dibilang pembohong. “Saya tidak berbohong! Demi Tuhan, saya tidak punya kekasih! Saya hanya tidak tahu harus berkata apa! Tuan terlalu membuat saya gugup dan tidak bisa berpikir!” “Tolong jangan pecat saya! Hutang biaya kuliah saya harus segera mulai dicicil. Menjadi resepsionis di perusahaan Tuan adalah pekerjaan terbaik bagi saya!” pintanya memelas. Sudahlah, Christian sampai harus memalingkan wajahnya ke kiri agar tidak terlihat sedang menahan tawa setengah mati. Mudah sekali membuat wanita satu ini takut, begitu pikirannya. Setelah bisa menguasai diri dari rasa ingin tertawa, ia kembali menoleh ke kanan dan memperlihatkan wajah dingin menawannya, seakan dia tidak baru saja ingin meledak tertawa. Bahkan, suaranya saja sudah bisa dikondisikan mendayu berat seperti sebelumnya. “Baiklah, kalau kamu tidak punya kekasih, pasti kamu tidak keberatan kalau malam ini bersamaku, bukan?” Liora terengah, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya apa yang sejak tadi sudah membebani pikiran. “Uhm … i-iya, tidak keberatan. Tapi … uhm … kalau boleh saya tahu, uhm … memangnya Tuan mau membawa saya ke mana malam ini?” “Membawamu ke rumahku. Di sana … hanya ada kita berdua.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD