Ch.04 Buket Bunga Mewah

2776 Words
Liora datang memasuki lobi gedung kantor X-Tech yang megah. Melewati security, membiarkan mesin memindai tubuh serta isi tasnya, lalu dia segera berjalan menuju meja respsionis tempatnya bekerja. Kepala masih dipenuhi dengan kejadian semalam yang seperti mimpi. Ada seorang CEO merasa tertarik dengannya. Entah harus merasa tersanjung atau dipermainkan karena dia tidak percaya dengan kisah Cinderella. Dia lebih memercayai kisah nyata di mana seorang wanita harus berjuang sendiri untuk masa depan dan kebaikannya, bukan atas kedatangan seorang pangeran berkuda putih untuk menyelamatkan dari dunia yang kejam. Masih tidak tahu apa yang diinginkan Tuan Christia Xu darinya, tetapi yang jelas semua itu telah membuatnya sangat gelisah. Ia bahkan menyapu pandangan karena takut sang CEO ada di sana memandanginya seperti tadi malam saat mereka duduk berdua berhadapan. ‘Heh? Apa itu!’ pekiknya dalam hati ketika melihat sesuatu yang asing di atas meja kerjanya. Sebuah buket kecil mawar merah, dibungkus rapi dengan kertas putih satin dan pita merah muda. Mata Liora membelalak lebar. Langkah kaki dipercepat dan dia segera meraih buket bunga tersebut. Hal pertama yang dicari adalah siapa pengirimnya, bukan? Ia kemudian menemukan sebuah kartu mungil berbentuk hati, berwarna merah muda terselip di antara kelopak. Di dalam kartu tersebut ada tulisan yang kemudian ia baca sambil bergumam, “Untuk Liora Zheng. Selamat bekerja, Cantik.” Makinlah matanya membesar. “Apa in i…?” engahnya lirih. Jemari bingung dan ragu untuk menyentuh bunga itu, seakan takut benda mungil itu meledak begitu saja. Ia menoleh kanan-kiri, seolah mencari siapa yang sengaja menaruhnya di sana. Lalu, suaranya kembali bergumam. “Apa ini lelucon? Ada yang ingin membuat lelucon denganku karena aku anak baru di sini? Sungguh tidak lucu!” desisnya kesal, menggeleng lirih. Bernice yang baru saja meletakkan tas di mejanya ikut memandang bingung sekaligus melirik pada apa yang tertulis di kartu. “Astaga, Liora! Manis sekali! Sepertinya kamu punya penggemar rahasia,” candanya sambil menahan tawa geli. Minerva datang beberapa detik kemudian, masih menggenggam gelas kopi berbahan kertas di tangannya. Mata resepsionis senior itu segera tertuju pada buket mungil. “Wah, wah … baru beberapa hari bekerja, sudah ada yang kirim bunga. Hebat juga kamu,” godanya sambil menyenggol pelan bahu Liora. Liora langsung menggeleng cepat. “Jangan bercanda. Aku tidak tahu siapa yang mengirim. Serius, aku juga baru melihatnya pagi ini. Dan jujur saja, aku tidak suka bentuk perhatian yang mencolok seperti ini.” “Aku tidak mau membuat masalah. Apa aku buang saja, ya?” bingungnya, meminta saran dari kedua karyawan yang sudah lebih senior. Bernice membaca tulisan di kartu dengan mata memindai. “Selamat bekerja, cantik. Hmm … jelas ini bukan kiriman biasa. Gaya tulisannya rapi, dan buketnya … kecil, tapi elegan.” Minerva berdecak pelan. “Pasti bukan dari orang sembarangan. Lihat saja pembungkusnya, itu mahal. Aku sering lihat di majalah dekorasi. Kita juga kadang menerima buket seperti ini yang biasa diberikan klien untuk para manajer dan direkutur.” Liora semakin kebingungan. Ia buru-buru memanggil satpam yang sedang berjalan meintasi meja resepsionis. “Uhm, maaf … buket bunga ini … siapa yang mengirim? Ada kurir datang atau ada orang yang langsung meletakannya di mejaku?” tanyanya hati-hati sekaligus penasaran. Satpam itu mengangguk sopan. “Benar, Nona. Tadi pagi ada kurir dari toko bunga. Mereka hanya bilang ini untuk resepsionis atas nama Liora. Tidak ada keterangan siapa pengirimnya. Saya yang meletakkan buket itu di meja Nona.” “Jadi … tidak ada nama sama sekali?” tanya Liora lagi, kian bingung. “Tidak ada, Nona.” Bernice memekik gemas . “Oh, Liora! Ini sungguh seru! Berarti kamu benar-benar punya secret admirer!” Minerva ikut terkekeh. “Iya, siapa pun dia, pasti tahu cara membuat wanita bingung setengah mati. Romantis sekali.” Liora hanya bisa menghela napas. “Aku tidak suka jadi bahan gosip, seriously. Aku benar-benar tidak tahu siapa yang melakukan ini.” Ia mengambil dan meletakkan buket itu ke sisi bawah meja, seakan ingin menyembunyikannya dari pandangan. Namun, buket mungil itu ternyata tidak bisa begitu saja dilupakan. Sesaat kemudian, Angelica muncul dengan langkah anggun nan angkuh. Wanita itu berhenti tepat di depan meja resepsionis, matanya langsung tertuju pada bunga yang sedang di tangan Liora. “Bunga apa itu? Kamu membeli buket bunga untuk siapa?” tanyanya dengan nada datar, meski jelas ada kilatan penasaran sekaligus tidak suka di matanya. Liora menahan napas sementara dua teman resepsionis-nya langsung bergeser dan pura-pura tidak tahu. Bernice serta Minerva lebih suka menghindari konfrontasi langsung dengan Angelica. “Aku tidak tahu siapa pengirim bunga ini. Saat aku datang, bunganya sudah ada di meja resepsionis,” jawab Liora berusaha tenang, walau jantung berdetak terlalu kencang ingin lompat dari rongga d**a. Angelica mengambil buket itu tanpa izin, meneliti pita dan label yang tertera. “Dari butik bunga Fleur Magnifique,” gumamnya setengah berbisik. “Aku tahu tempat ini. Sangat mahal, pelanggan mereka biasanya kalangan atas.” “Buket kecil begini saja harganya bisa di atas $500. Jadi jelas, pengirimnya bukan orang sembarangan.” Bernice dan Minerva saling pandang, keduanya semakin penasaran. Akan tetapi, mereka tetap tutup mulut dan pura-pura tidak mendengar. Angelica menatap Liora tajam, seolah ingin mengorek isi pikiran sang wanita muda. “Liora, bukankah aku sudah mengingatkan padamu kemarin, hah?” desisnya sedikit kasar. “Kamu pegawai baru di sini, masih masa percobaan. Jangan sampai kamu terlihat … you know! Aku tidak suka kamu genit dengan siapa pun, apalagi dengan karyawan level manajer ke atas!” “Semua tindakan genitmu akan dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral, mengandalkan daya tarik pribadi demi menaikkan jabatan. Resikonya, jelas dipecat!” seringai Angelica semakin ketus menutupi iri dengki. Harap maklul, tidak ada yang pernah mengiriminya buket mawar secantik itu. Betapa terbelalak mata Liora mendengar ucapan itu. Kata “dipecat” menusuk tepat di ulu hati. Ia segera menggeleng, “Aku bersumpah demi makam kedua orang tuaku! Aku tidak merayu atau menggoda siapa pun! Aku tidak melakukan itu! Aku bersumpah!” Angelica tersenyum malas, senyum yang lebih mirip sindiran daripada percaya. “Ya, semoga saja begitu. Tapi, aku tahu bagaimana gosip di kantor ini bekerja. Sekali saja kamu terlihat terlalu dekat dengan seseorang yang berpengaruh, semua orang akan menilaimu buruk.” Liora memandang bunga itu lagi, matanya mulai berkaca-kaca khawatir. “Jadi, apa yang harus kulakukan? Mengembalikannya? Tapi, aku tidak tahu siapa pengirimnya.” Angelica melipat tangan di depan d**a, lalu mendongakkan kepala dengan angkuh. Sambil tersenyum ketus, ia berkata, “Terserah kamu. Tapi kalau aku di posisimu, aku akan berhati-hati. Kamu tidak ingin orang lain salah sangka, bukan?” Liora menunduk, jemarinya menggenggam kartu kecil itu. Kata-kata sederhana, yaitu, “Selamat bekerja, Cantik”, berulang kali berputar di kepalanya, membuat jantungnya berdebar tak menentu. Siapa yang tega mengusik ketenangannya dengan cara seperti ini? Angelica masih berdiri di depan meja, tatapannya menuduh dan merendahkan. Ada sesuatu di balik sorot mata itu. Satu rasa iri yang sulit disembunyikan, sekaligus rasa penasaran yang membakar jiwa. Seolah Angelica tidak rela jika Liora, si gadis desa yang baru saja datang, tiba-tiba menarik perhatian pria yang jauh di luar jangkauannya. Terutama jika pria itu ada di dalam kantor. Baginya, semua pria seharusnya tertarik padanya ketimbang pada gadis desa macam Liora. “Jangan lupa, Liora,” ucap Angelica kembali mengintimidasi. “Setiap bunga selalu punya duri. Hati-hati agar kamu tidak terluka karenanya.” Liora tertegun mendengar peringatan itu. Ia mengangguk kecil, meski dalam hatinya hanya ada satu perasaan, bingung. Siapa sebenarnya pengagum rahasia itu? Dan mengapa berbagai kalimat Angelica terasa menyudutkan, tidak suka padanya, sementara dia tidak pernah berbuat apa pun yang merugikan sekretaris utama tersebut. Saat Angelica masih ada di depan meja resepsionis memandang sinis, bisik-bisik karyawan lain mulai terdengar. Sang CEO sudah datang dan seluruh mata tertuju ke sana, termasuk Liora. Christian memasuki lobi bersama asisten serta dua pengawal. Seperti biasa, penampilannya paripurna. Tubuh tinggi dibalut jas abu-abu tua, jam tangan ratusan ribu Dollar di pergelangan tangan, serta aura tampan playboy yang selalu membius semua wanita. Kemudian, pria itu dengan sengaja mengeluarkan ponsel, mengetik sesuatu, lalu menatap Liora. Detik berikutnya resepsionis cantik merasa ada yang bergetar di jas blazer-nya, sebuah pesan masuk ke dalam gawai yang ia miliki. Ia mengambil ponsel lalu melihat benar ada pesan masuk. Bagai disambar petir saat kemudian mebaca siapa yang mengirim pesan. Baru juga nomornya disimpan tadi malam, pagi ini tahu-tahu sudah muncul pesan. Apalagi, isi pesannya benar-benar menghentak! CEO Christian [Selamat bekerja, Cantik.] Pesan yang sama persis dengan yang ada di kartu ucapan buket mawar. Ia terbelalak, cepat mematikan layar ponsel, lalu memasukkan kembali ke dalam saku karena takut ada yang mengetahui. Napasnya terengah, tetapi cepat ia berusaha menguasai diri dan tidak terlihat panik berlebihan. ‘Tuhanku, ternyata dia yang mengirim bunga ini! Pantas saja semuanya serba mahal! Astaga! Aku harus apa!’ jerit Liora di dalam hati. Dia masih bisa melihat Christian kemudian mengulum senyum dan melirik singkat ke arahnya penuh makna, sebelum kemudian lanjut berjalan memasuki lift bersama Jihoon dan para pengawal. Angelica berseru genit saat bosnya sudah tidak terlihat. “Kalian lihat barusan? Tuan Christian tersenyum padaku! Sungguh luar biasa!” Sungguh, sekretaris itu malang sekali. Dia tidak tahu kalau yang ditatap Christian adalah wanita yang ada di belakangnya, yaitu Liora. Dengan penuh percaya diri dia sesumbar kalau dirinya yang dilihat, seolah sepenting itu dirinya bagi Tuan Muda Xu. Dengan wajah sumringah, Angelica meninggalkan meja resepsionis seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah dia tidak baru saja membuat Liora ketakutan dengan semua intimidasi dan nasihat ketusnya. Dan seiring Angelica pergi, kini niat Liora membuang buket misterius tersebut hilang sudah. Dia hanya duduk lemas di kursi dan mendengarkan bagaimana Bernice serta Minerva mengelu-elukan seorang Christian Xu. Betapa tampan, betapa kaya, betapa jenius, betapa berpengaruh, dan … betapa beruntung wanita yang bisa menjadi pasangannya. “Kamu membuatku tertarik.” Suara Christian semalam terngiang jelas di telinganya. Membuat Liora berpikir dalam hati, ‘Apakah aku berarti termasuk wanita yang beruntung?’ *** Suara dering ponsel Christian memecah percakapan seriusnya dengan Jihoon mengenai laporan mingguan. Sang CEO menurunkan pandangannya ke layar, melihat nama yang muncul. Amanda Lilac. Memperlihatkan layar ponselnya kepada sang asisten, ia bertanya sarkas. “Terima atau tolak?” Jihoon hanya tersenyum datar. “Mana yang menurut Tuan sesuai dengan mood hari ini, maka lakukanlah.” “Moodku sedang baik.” “Kalau begitu terima saja,” tandas sang asisten. Paham kalau Christian bersedia menerima, tetapi tidak mau terlihat dia senang menerimanya. Satu kali tarikan napas panjang, lalu Tuan Xu menekan tombol hijau. “Hai, Amanda.” “Christian, aku baru saja menandatangani kontrak dengan X-Tech!” suara seorang wanita cantik di seberang penuh semangat. “Aku resmi jadi brand ambassador produk perusahaanmu selama satu tahun ke depan. “ “Aku ingin merayakannya. Bagaimana kalau kita makan siang bersama hari ini?” Ajakan yang diucap dengan nada penuh harap. Jika saja Christian bisa melihat, dia akan tahu seberapa besar pengharapan artis cantik itu kepadanya. Christian melirik sekilas ke arah Jihoon yang duduk di depannya, lalu berkata tanpa suara, hanya gerakan bibir, yaitu … “Dia mengajakku keluar!” Asisten yang baik hati dan tidak sombong itu paham lagi apa maksud bosnya. Mencari dukungan untuk menolak. Maka, dia menggeleng dan berkata tanpa suara juga. “Jangan beri harapan, bilang saja sibuk!” Maka, mengangguklah Christian. Memang enak melempar tanggung jawab seperti ini. Nanti kalau ada apa-apa tinggal bilang atas saran Jihoon maka dia menolak ajakan Amanda. Padahal, yang bos itu sebenarnya siapa? “Terima kasih sudah mau bekerja sama dengan X-Tech. Aku senang mendengarnya,” jawabnya tersenyum menahan keinginan untuk segera mengakhiri panggilan. Satu-satunya alasan dia menerima telepon ini adalah karena hubungan baik antara keluarga Amanda dengan keluarganya. Suara sang Tuan Muda lanjut terdengar tenang, bahkan lembut. “Tapi, untuk makan siang sekrang … maaf, aku sangat sibuk. Agenda hari ini sudah penuh.” “Nanti malam?” “Kata Jihoon, nanti malam aku ada meeting dengan klien dari Belanda.” “Besok siang?” Christian menghela berat, lalu dengan sengaja berbicara keras pada sang asisten. “Jihoon, apa agendaku jam makan siang besok?” “Bertemu walikota, Tuan. Membahas donasi untuk para fakir miskin.” “Nah, kamu dengar sendiri. Aku masih sibuk sampai beberapa hari ke depan,” senyum sang jenius di bidang teknologi siber. “Maafkan aku, ya? Tapi, aku sangat senang kamu bergabung sebagai Brand Ambassador. Saat nanti pengumuman resmi aku pasti datang.” Ada jeda singkat sebelum Amanda membalas, suaranya sedikit kecewa namun masih manis. “Oh, baiklah. Aku mengerti. Lain kali saja, ya. Tapi, kamu harus janji, bahwa kamu tidak akan menolak terus.” Satu lirikan pada Jihoon, sang asisten segera berkata kencang. “Tuan, tamu Anda dari Canada sudah datang. Mereka menunggu di ruang pertemuan lantai lima.” “Aku harus pergi dulu, tamuku sudah menunggu. Kita bicara lain kali, ya?” tanggap Tuan Xu tidak ingin memberi janji apa pun. “Aku akan ke rumahmu nanti malam. Aku membelikan sesuatu untuk Mommy Ghea dari kunjunganku terakhir ke Paris. Kamu tidak akan ke rumah ibumu nanti malam?” Masih saja Amanda berusaha, dan kali ini menggunakan ibunda Christian untuk mencari perhatian. Pemuda bermata sipit menggeleng, “Aku sudah bilang, nanti malam aku juga ada acara bertemu klien. Apa pun itu yang akan kamu berikan pada ibuku, pasti sesuatu yang bagus. Terima kasih, ya. Bye, Amanda.” Lalu, ia menekan tombol merah sambil merlirik Jihoon. “Aku sudah cukup sopan, bukan?” Mengangguklah sang asisten. “Saya akan mendukung Anda jika nanti Nyonya Ghea menegur. Menurut saya, Tuan sudah sangat sopan.” “Dan untuk Nona Amanda, sepertinya dia masih terus terobsesi dengan Tuan. Meski dunia kiamat, dia tidak akan berhenti mengejar Tuan. Sebuah penegasan mungkin bisa menyelesaikan masalah?” “Masalahnya,” Christian menatap sekilas ke arah jendela kaca, lalu terkekeh sambil menggeleng. “Amanda itu teman masa kecil. Dia dekat sekali dengan Mommy dan juga Desiree. Jadi, mau tidak mau aku harus menjaga sikap.” “Biarkan saja dia lelah sendiri mengejarku. Kalau sudah lelah, dia akan berhenti dan mencari pria lain untuk dia kejar dan miliki.” “Baik,” angguk Jihoon. “Saya percaya dengan penilaian Tuan.” Paham lagi kalau memang itu yang harus dia ucap. Tidak usah berdebat perkara wanita dengan seorang Christian Xu, tiada guna. *** Hari berjalan, gosip menyebar secepat pergantian malam ke pagi dan pagi ke malam. Tiga resepsionis siang ini sedang duduk di meja kerja menunggu jam istirahat datang sebentar lagi. “Sudah dengar, belum? Amanda Lilac sudah resmi menjadi BA untuk X-Tech. Kantor kita setelah ini akan dipenuhi foto-fotonya dengan berbagai produk X-Tech,” ucap Bernice sembari menyeruput cokelat dingin dari tumbler hijau. Minerva mengangguk, “Aku dengar dari bagian legal, semua sudah resmi. Dia akan jadi BA kita selama satu tahun ke depan.” “Amanda Lilac yang kemarin baru saja dinobatkan sebagai artis film pendatang baru terbaik?” tanya Liora membelalakkan mata. “Dia sungguh cantik dan sekarang sedang sangat terkenal. Pantas saja perusahaan ini memilihnya.” Tawa Bernice berderai menanggapi ucapan Liora. “Bukan perusahaan ini yang memilih, tapi Tuan Christian sendiri. Apa kamu tidak tahu? Mereka digosipkan pacaran.” DEG! Ada sesuatu yang menembus jantung Liora. “Me-mereka … mereka pacaran?” Anggukan Minerva semakin memperkuat gosip yang ada. “Kata orang-orang, mereka teman masa kecil. Ibunya Amanda adalah sahabat karib Nyonya Xu, ibunya Tuan Christian.” “Katanya mereka dijodohkan?” sambung Bernice masih terus menyeruput cokelat dinginnya. Liora tidak tahu harus berkata apa. Baru saja beberapa saat lalu dia menerima buket bunga dengan ucapan “Selamat bekerja, Cantik”, sekarang sudah mendengar kabar seperti ini. Kabar yang membuatnya bertanya dalam sunyi, ‘Kalau memang Tuan Christian sudah punya tunangan, atau punya kekasih, kenapa dia mengatakan tertarik padaku?’ “Hey, kenapa diam saja!” tegur Bernice menyenggol siku Liora, lalu mereka bertiga tertawa. Minerva tergelak menggoda, “Apa jangan-jangan kamu sedang berpikir seandainya kamu menjadi Amanda Lilcac? Jangan dibayangkan, kita tidak akan mampu menjadi seperti dia!” “Iya, kita setiap hari di sini saja tidak pernah dilihat oleh Tuan Christian! Jangankan menjadi tunangan, atau menerima tiga syaratnya, dilihat saja tidak!” tanggap Bernice membuat mereka berdua semakin terbahak. Liora yang tidak mengerti tentu saja hanya diam. Akan tetapi, dia penasaran dan tergelitik untuk bertanya. “Tiga syarat apa? Apa yang kalian yang maksud?” Bernice mendekatkan duduk mereka berdua, menggeser kursinya, lalu berbisik. “Kata orang, Tuan Christian selalu mempunyai tiga syarat utama dalam berhubungan dengan seorang wanita.” Kalimat itu disambung oleh Minerva yang juga mendekatkan kurisnya. Dia menyebut syarat-syarat itu dengan gamblang. “Satu, tidak ada cinta. Dua, tidak ada ikatan. Dan tiga … tidak ada kehamilan.” Dan terakhir, Bernice membisikkan gosip yang lebih gong lagi. “Tuan Christian katanya paling suka melakukan kencan satu malam dengan wanita, kemudian pergi begitu saja keesokan hari. Makanya, dia selalu mengajukan tiga syarat itu.” Bibir Liora sontak melongo, “Haaaah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD