BAB 14 Iya, Aku Dijodohkan
Pintu ruang rapat besar itu terbuka perlahan. Amanda Lilac sang artis papan atas yang baru saja menerima penghargaan Oscar memasuki ruangan. Seluruh mata tertuju padanya tanpa berkedip. Wangi harum tubuhnya membuat semua merasa sedang di padang bunga.
Semua … kecuali sang CEO.
Jauh di dalam hati kecilnya, Christian justru merasa tidak nyaman bertemu dengan wanita ini.
“Selamat siang,” ucap Amanda dengan senyum manis yang menawan. Lalu, ia menatap lembut pada Tuan Muda Xu. “Selamat siang, Chris. Senang akhirnya bisa berjumpa denganmu.”
Senyum sang pria singkat, suara beratnya pun singkat. “Hmm, ya, sama-sama."
Christian tersenyum pendek, lalu mempersilakan Amanda duduk di kursi yang sudah disediakan di sampingnya.
Jihoon selalu hadir sebagai penyelemat. “Apakah rapat kita mulai sekarang, Tuan?” tanya sang asisten pribadi.
“Sure,” angguk Christian, tersenyum berterima kasih karena dengan rapat dimulai berarti tidak ada waktu baginya untuk berbasa-basi dengan teman masa kecilnya yang cantik tersebut.
Begitu duduk, Amanda menempelkan lengan mereka berdua, kemudian besbisik. “Aku senang akhirnya bisa bekerja sama langsung denganmu. Kita jarang sekali punya kesempatan bertemu seperti ini, bukan?”
“Ya, aku rasa begitu,” angguk Christian masih dengan senyum dan jawaban singkat.
Satu-satunya alasan dia bersikap baik pada Amanda adalah karena sejarah keluarga mereka yang sudah mengenal cukup lama. Dia tidak ingin menimbulkan huru-hara.
Amanda tertawa lembut, berbisik, mencoba mencari perhatian dengan mengajak wisata masa lalu. “Kamu ingat waktu itu kita masih remaja? Mommy-mu memintaku untuk menemaninya berbelanja. Kamu kelihatan kesal sekali karena harus ikut.”
“Aku rindu dengan Mommy Ghea. Apa kabarnya beliau sekarang? Bagaimana dengan Desiree? Mereka semua sehat?”
Christian ikut tersenyum kecil, meski ia sengaja mengalihkan tatapannya ke meja rapat. “Itu sudah puluhan tahun lalu, Amanda. Keluargaku semua sehat. Nah, mari kita fokus pada pekerjaan hari ini.”
Tim divisi sales marketing segera memulai presentasi, menyalakan layar proyektor yang menampilkan strategi promosi. Suasana ruang rapat menjadi serius, suara presenter bergema menjelaskan rencana kampanye global untuk X-Tech dengan Amanda Lilac sebagai brand ambassador.
Dan di tengah paparan itu, Amanda tak henti-hentinya mencuri pandang pada wajah Christian. Matanya terpaku pada sosok pria itu.
Sang CEO menulis beberapa catatan kecil di buku kerja, pura-pura tidak menyadari. Sesekali ia mengangguk pada timnya, lalu menyela dengan pertanyaan.
“Bagaimana rencana distribusi konten digital untuk pasar Asia?” tanya Christian, bertanya dengan tenang tanpa peduli Amanda sedang menatapnya seperti ingin melahapnya hidup-hidup.
Anak buah menjawab dengan rinci, sementara sang artis cantik hanya duduk dengan senyum manis, seolah semua pertanyaan dan penjelasan itu hanya alasan bagi dirinya untuk terus mengagumi Christian.
Rapat berlangsung hampir satu jam. Meski diskusi terjadi dengan intens dan seru, Amanda maih bisa menemukan celah untuk melontarkan kalimat kecil yang melambangkan kedekatannya dengan Christian.
“Aku masih tidak percaya kamu bisa menjadi CEO sehebat ini, Chris. Rasanya baru kemarin kita masih sama-sama di high school dan saling melempar air saat pelajaran olah raga,” ucap Amanda kembali mengajak wisata masa lalu.
“Dan …,” tatapnya sendu. “Serasa baru kemarin kamu menjadi teman kencanku di prom night. Kamu ingat kita menjadi King and Queen di acara itu?”
Amanda mendekatkan bibirnya, berbisik lembut, “Dan saat kita berdansa, kamu mencium bibirku untuk pertama kalinya. Kamu adalah lelaki pertama yang mengecup bibirku.”
Christian menggaruk tengkuk karena merinding sendiri dengan embusan napas Amanda di kisaran lehernya. Senyum jengahnya terlukis di wajah tampan.
Detik berikutnya, ia menanggapi dengan nada datar. “Aku ingat semuanya. Kamu dan aku … cinta monyet,” tawanya pelan, dingin.
Uh, baginya ternyata semua itu hanya cinta monyet.
“Ya, memang waktu berjalan cepat. Dan di sinilah kita sekarang sudah menjadi manusia dewasa, berjalan di roda kehidupan masing-masing.”
Kalimat terakhir diucap dengan sangat tegas. Berjalan di roda kehidupan masing-masing maksudnya adalah mereka memiliki jalur yang berbeda. Jangan sampai semua kenangan masa lalu menjadikan mereka berbagi jalur.
Setelah itu, mereka kembali memerhatikan rapat yang sudah berada di penghujung. Ponsel sang CEO berbunyi. Menatap layar, ia lalu menekan tombol hijau.
“Ya, Mommy?” jawabnya singkat.
“Hai, Chris. Mommy barusan menelepon kantormu. Kata Angelica, rapatmu sebentar lagi selesai?”
“Hmm, benar. Kenapa?”
“Amanda masih di situ?”
“Ya.”
Ghea terkekeh riang. “Mommy ada di restoran Italia dekat kantormu. Mommy di sini dengan ibunya Amanda juga. Kamu kemarilah, ya? Kita makan siang bersama.”
“Mom, aku ba—”
“Tidak ada alasan menolak! Kalau kamu menolak, Mommy marah!” tukas Ghea tegas, dengan bibir cemberut.
Dan meski Tuan Muda Xu tidak bisa melihat ibunya cemberut, dari nada bicara saja sudah bisa mengira. “Fine, hanya satu jam maksimal. Aku banyak urusan.”
Setelah Ghea mengakhiri pembicaraan, ia menghampiri Amanda yang sedang berbicara dengan beberapa direktur lain. “Mommy mengundang kita makan siang bersama, sekarang.”
Mata Amanda berbinar. “Benarkah? Oh, tentu aku senang sekali. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Mommy-mu.”
“Kita berangkat naik satu mobil saja, ya? Aku ingin naik mobil bersama kamu,” pintanya di depan semua orang yang kini ganti memandang pada CEO mereka.
Menolak akan terasa kasar, hingga akhirnya, “Ya, kita satu mobil saja.”
***
Begitu keluar dari ruang rapat, Amanda berjalan di sisi Christian dengan langkah anggun. “Sepertinya ini akan menjadi makan siang yang menyenangkan. Aku merindukan kebersamaan keluarga seperti dulu.”
Tak ada jawaban, sang CEO hanya tersenyum dingin dan berkali-kali menghela napas panjang.
Dalam hati, ia sebenarnya lebih memilih menghindari situasi ini. Akan tetapi, karena Mommy-nya sudah memaksanya secara langsung, ia tidak punya hati untuk menolak.
Lift bergerak turun perlahan. Amanda menoleh, tersenyum dengan nada bercanda. “Kamu terlihat tidak terlalu bersemangat, Chris. Apa kamu tidak senang kita akan makan siang bersama?”
Christian menjawab tanpa memandang yang mengajak bicara, “Aku hanya lelah dengan rapat. Fokusku masih pada urusan pekerjaan.”
“Aku akan membuatmu melupakan urusan pekerjaan saat kita makan siang nanti. Banyak orang yang bilang aku adalah komedian. Mereka selalu tertawa lepas saat bersamaku. Kamu akan merasa senang setelah ini.”
Dalam hati, rasanya pria itu ingin meledak. Yang membuatnya kesal justru keberadaan wanita ini, lalu bagaimana ceritanya justru Amanda akan membuatnya senang?
Lift berbunyi pelan ketika pintunya terbuka di lobi. Christian melangkah keluar berdampingan dengan Amanda.
Melangkah berdampingan di lobi dengan diiringi asisten masing-masing, para karyawan yang kebetulan lewat menoleh, menatap kagum pada sosok Amanda Lilac yang berjalan di sisi CEO mereka.
Kilatan kamera wartawan kembali menyala seiring langkah keduanya semakin mendekati pintu kaca, merekam momen keduanya akan keluar gedung bersama.
Christian tetap memasang wajah datar, tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk itu. Sementara Amanda menebar senyum, menampilkan citra artis yang mempesona.
Liora yang duduk di meja resepsionis tiba-tiba terhenti gerakan tangannya. Mata terpaku pada sosok pria yang sudah beberapa waktu terakhir ini mengisi hatinya.
Ia melihat jelas bagaimana Amanda menempel pada Christian. Jarak mereka nyaris tidak ada, dan Christian tidak menolak. Bahkan saat wanita itu berbisik, ia mengangguk, seolah menyetujui semua yang Amanda katakan.
Padahal, bisikan Amanda adalah, “Nanti kalau wartawan bertanya ini dan itu, jangan katakan apa pun, ya?”
Jelas saja Christian mengangguk. Ah, tetapi bagaimana bisa menjelaskan semua itu pada sang resepsionis yang terus memandangi dengan d**a kembang kempis dan sakit meremat hati.
Hati Liora bergemuruh. Ia ingin percaya, ingin yakin kalau semua itu hanya urusan pekerjaan. Akan tetapi, pemandangan di depan matanya terlalu menusuk.
Saat itu, Christian sempat melirik sekilas. Tatapannya bertemu dengan mata Liora. Ada kebingungan, ada rasa pilu, dan ada sejuta tanya yang tak terucap di wajah perempuan sederhana itu.
Christian menahan napas sepersekian detik. Hatinya terasa ditarik ke dua arah. Akan tetapi, langkah kakinya tidak berhenti. Ia hanya membalas dengan tatapan singkat, lalu kembali berjalan di sisi Amanda, membiarkan suasana tetap menggantung.
Liora tercekat memandangi semua yang ada di depan mata. Jemarinya menggenggam pena di tangannya begitu erat hingga hampir patah.
Ia berusaha menjaga wajahnya tetap netral di hadapan Bernice dan Minerva yang masih sibuk bergosip di balik meja.
‘Apa yang mereka lakukan? Mereka hendak ke mana? Kenapa sejak tadi tidak ada berita apa pun dari Chris mengenai kebersamaannya dengan Amanda?’
Batin Liora bergejolak seperti lautan diterjang badai. Apalagi, kemudian terlihat bagaimana kekasihnya melindungi Amanda dari dorongan wartawan yang berusaha mencari berita dan memaksa untuk mengambil foto.
‘Apa ini alasannya kenapa dia tidak ingin ada ikatan denganku? Karena dia memang sebenarnya ada sesuatu dengan Amanda?’ pikirnya semakin perih.
Bernice sempat melirik, bertanya sambil setengah tersenyum, “Kamu baik-baik saja, Liora?”
Gadis desa itu buru-buru mengangguk, meski wajahnya pucat. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat.
Namun, setelah Bernice dan Minerva kembali tenggelam dalam pekerjaan, Liora duduk lemas. Punggungnya menempel ke sandaran kursi, matanya kosong menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati Christian.
‘Padahal, aku belum bertanya apa pun kepadanya tentang Amanda. Tapi, dari apa yang aku lihat sepertinya sudah tidak perlu bertanya lagi. Semua sudah jelas, dia memang ada sesuatu dengan artis itu.’
Hatinya sakit. Ada rasa perih yang sulit dijelaskan. Bagaimana mungkin ia, hanya seorang resepsionis sederhana, bisa bersaing dengan seorang artis peraih Oscar yang cantik dan sempurna seperti Amanda Lilac?
‘Christian … sebenarnya aku ini apa di matamu?’ Batinnya merintih lirih.
***
Liora duduk di sofa ruang tengah apartemennya. Televisi menyala, menayangkan sebuah acara hiburan yang ia pandangi dengan sorot kosong. Tatapannya tidak benar-benar mengikuti layar.
Pikiran melayang sejak siang tadi, sejak Christian berjalan berdampingan dengan Amanda Lilac, memasuki mobil mewah sang CEO, dan kemudian menghilang tanpa kabar.
Tangannya meraih gelas berisi kopi hangat di meja. Ia menyeruput sedikit, lalu kembali meletakkannya. Tidak ada rasa, tidak ada fokus. Hanya perasaan hampa yang membuat dadanya sesak.
“Kenapa sampai sekarang dia belum menghubungiku?” Batinnya bertanya lirih. Hati bimbang, antara ingin marah, cemburu, sekaligus takut kehilangan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Liora tersentak kecil. Ia menoleh, dan di sana berdiri Christian dengan wajah lelah. Jasnya dilepas, dasinya longgar, dan langkah pria itu segera mendekat ke arahnya.
“Selamat malam, Gorgeous” sapa Christian pelan. Suaranya berat mendayu lembut. Ia berjalan santai dan duduk di samping Liora.
Liora diam. Tubuhnya tidak memberi respon. Wajah menatap ke depan. Ia tidak menyambut, tidak bertanya, cukup diam sebagai pernyataan sikap.
Christian memperhatikan wajah muram itu, lalu menarik napas panjang. “Aku tahu kamu marah,” katanya. “Aku minta maaf, Liora. Seharian ini aku sibuk sekali, dan aku tidak sempat menjelaskan apa pun padamu.”
Liora akhirnya menoleh, menatap lekat dan lurus. Ada luka di sana, ada kekecewaan yang jelas. Bibirnya bergerak pelan, suara nyaris bergetar. “Kamu tadi ke mana seharian? Setelah pergi dengan Amanda menjelang makan siang, kamu tidak kembali lagi ke kantor. Apa kamu pergi dengan Amanda?”
Christian tidak menghindar. Ia memilih untuk jujur, meski tahu risikonya. “Ya, tadi siang aku pergi makan siang dengan ibuku, Amanda, dan dengan ibunya,” jawabnya perlahan.
Hati Liora tercekat. Kata-kata itu menyayat. Ia menunduk, mencoba menelan pahit yang mengalir di dadanya.
“Tapi, aku hanya makan siang sekitar dua jam saja dengan mereka. Setelah itu, aku ada urusan dengan Dantheo Lycenzo. Aku harus mencari tahu siapa yang mengacak-acak perusahaann istrinya. Kamu tahu aku ahli dalam urusan siber, bukan?”
“Kebetulan, mentorku sudah kembali dan aku harus mencari tahu dalang di balik perusakan nama baik istrinya.”
Liora menatap gamang. Kalimat itu terdengar sangat jujur. “Apa kamu berhasil menemukannya?”
“Belum,” jawab Christian tersenyum kecil. Sedikit lega karena pertanyaan itu diucap dengan nada khawatir, yang mana berarti perhatian Liora ada padanya. “Tapi, sebentar lagi pasti kami akan menemukannya.”
Jemarinya terangkat, membelai wajah cantik berbalut gamang. “Maafkan aku karena kamu harus melihatku pergi bersama Amanda. Tidak ada pilihan, Mommy akan mengamuk kalau aku tidak mau makan siang dengan mereka.”
Liora menatap dengan mata berkaca-kaca. Ia bingung harus berkata apa. Akan tetapi, hati terus bergemuruh.
“Chris, aku baca dan dengar di berbagai kanal gosip kalau kamu dan Amanda sebenarnya akan bertunangan?” Akhirnya, ia bertanya.
Tawa kecil muncul di bibir Christian. Wajah lelahnya menggeleng, “Berapa kali aku harus bilang jangan percaya gosip? Aku tahu kamu cemburu dan khawatir, tapi percayalah, itu tidak benar.”
“Aku tidak mungkin bertunangan dengannya dan masih berhubungan denganmu. Aku mau kamu percaya itu, please?” tandasnya dengan suara sedikit tegas.
Akan tetapi, Liora masih belum puas hingga akhirnya ia bertanya lagi. “Kata gosip lain, kamu dan Amanda sedang dijodohkan? Apa itu benar?”
Dan kali ini Tuan Xu menghela berat, sangat berat. “Ya, kalau itu benar. Memang aku sedang dijodohkan dengan Amanda. Ibuku ingin aku menikahinya sesegera mungkin.”