11. Lalai

1411 Words
Menertawakan kesulitan orang lain menjadi kesenangan bagi sebagian orang, tanpa tahu seberat apa cobaan hidup yang dilalui orang tersebut. Hanya menilai sekilas dari apa yang didengar tanpa tahu bagaimana orang tersebut tetap waras dan mempertahankan hidupnya. Nadia bisa menggambarkan sifat asli Bos nya hanya dalam waktu singkat. Ketampanan dan kesempurnaan wajah serta tubuhnya tidak lantas membuat Arik memiliki sifat yang patut dikagumi. Casing boleh sempurna, tapi attitude lelaki itu benar-benar nol. Nadia bukan tipe orang yang pandai bersandiwara, untuk menarik bibir saat lelaki itu melintas di depannya saja sangat sulit. Apalagi bersikap ramah. Nadia kesulitan bersikap ramah setelah insiden hari itu, bahkan pertemanannya dengan Mila pun sedikit merenggang. Nadia kerap menolak ajakan Mila. Sebagai salah satu teman yang paling dekat dengannya di kantor, Nadia merasa kecewa saat Mila menjadikan masalah pribadinya sebagai bahan lelucon. Hal biasa yang sering mereka lakukan tapi melibatkan orang lain didalamnya terlebih orang tersebut adalah Bos yang sangat menyebalkan, tentunya Nadia merasa kecewa dengan sikap Mila hari itu. “Nad, Lo masih marah?” Mila mendekat, “Gue minta maaf. Jangan marah lagi, ya? Udah seminggu lebih loh dan Lo masih aja ngehindarin gue.” Mila memasang wajah sedih dan menyesal. “Gue nggak marah,” Nadia menoleh sekilas. “Lagi banyak kerjaan aja.” Beberapa menit lalu, Mila sempat mengirim pesan, mengajaknya makan siang bersama. Tapi lagi-lagi Nadia menolaknya. “Lagi di buru-buru banget,” lanjutnya, sambil menunjuk ke arah Laptop di hadapannya. “Mau gue beliin makanan? Lo mau apa, bilang?” “Nggak usah. Gue masih punya uang kembalian nyicil mobil. Cukup lah untuk biaya jajan gue seminggu kedepan.” Sindir Nadia “Artinya Lo masih marah, Nad.” “Nggak. Lo makan siang bareng Tanto, Hasan aja. Gue disini aja, atau ke kantin.” Mila berusaha membujuk, tapi sepertinya Nadia masih enggan berdamai. Ia memilih tetap berada di meja kerjanya, mengabaikan ajak Mila. Wanita itu menyerah setelah beberapa menit membujuk tapi hanya penolakan yang diterimanya. Sesaat setelah kepergian Mila, ponsel Nadia berdering dimana nama Arik muncul. Di jam makan siang seperti ini, ada urusan apa lelaki itu menghubunginya. Nadia pun mengabaikannya, pura-pura tidak mendengar lebih baik. Panggilan kedua kembali terdengar, sepertinya sangat mendesak dan penting sampai menghubunginya lebih dari satu kali. Akhirnya Nadia pun menerima panggilan itu. “Iya, Pak.” “Kamu dimana?” Tanya Arik. “Di cafe bareng teman-teman, ada apa Pak?” Bohong Nadia. Jam istirahat masih panjang dan ia tidak mau mengorbankan waktu berharganya itu untuk pekerjaan. Seperti tidak ada waktu lain saja. “Kita akan menemui klien, sekarang.” Bukan lagi sekedar informasi tapi perintah. “Saya lagi makan siang, Pak. Tunggu sebentar bisa?” “Nggak bisa. Sekarang,” tegasnya. “Saya lagi makan, Pak. Tunggu sebentar lagi,” Nadia bukan lagi sedang makan, tapi belum makan apapun. Posisinya masih di dalam kantor, ia belum sempat menyeret tubuhnya menuju kantin. “Sejak kapan kantin pindah tempat ke kantor? Dan sejak kapan makanan kamu berubah dari nasi ke pulpen?” suara lelaki itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya bahkan suara langkah kakinya pun terdengar jelas di kedua telinga Nadia. Ia menoleh ke arah belakang dimana Arik sudah berdiri tak jauh dari meja kerjanya. “Ya ampun!” Nadia meringis. “Saya nggak melihat kamu sibuk atau sedang makan siang, jadi sekarang kamu ikut saya.” Arik mematikan sambungan. “Saya sudah kirim alamatnya, kita ketemu disana. Saya nggak mau pakai satu mobil yang sama, kamu bisa pakai mobilmu sendiri.” Nadia tengah memegang pulpen, bolehkan menusuk lelaki itu sekarang juga? Kenapa dia sangat, sangat menyebalkan! “Baik, Pak.” Nadia memaksa senyum, yang begitu terasa berat. “Jangan terlambat.” “Baik, Pak.” Arik berlalu begitu saja, meninggalkan Nadia yang masih duduk di kursi kerjanya. “Siapa juga yang mau numpang mobilnya?! Jangan mentang-mentang mobil bagus, karyawan biasa nggak boleh ikut! Dasar kaum pelangi!” Umpat Nadia sesaat setelah kepergian Arik. “Miskin banget sih Lo, Nad. Nggak punya mobil tapi udah pernah rasain nyicil mobil! Sial banget hidup gue!” Keluhnya lagi, saat Nadia sedang menunggu taksi online yang akan membawanya ke lokasi dimana ia dan Arik menemui klien. “Ke alamat ini ya, Pak.” Ucap Nadia pada sopir taksi online, ia menyodorkan alamat yang sudah dituliskan di kertas. Supir tersebut menganggukkan kepalanya. Ia pun memberikan kertas balasan. “Saya tidak bisa mendengar, kalau ada apa-apa tolong tulis.” Nadia terkejut, ternyata bapak paruh baya itu tidak bisa mendengar. Selama perjalanan Nadia terus mengumpat saat Arik mengirimnya beberapa pesan singkat yang intinya meminta wanita itu untuk datang tepat waktu. “Gimana mau tepat waktu, coba kalau tadi berangkat barengan. Pasti sampai nya juga barengan!” umpat Nadia. Ia merasa memiliki kebebasan untuk mengumpat dan menyumpahi Bos nya itu, pak Supri tidak akan mendengarnya meski lelaki paruh baya itu terus tersenyum melihat ke arahnya. Mungkin ekspresi kesal Nadia terlihat jelas di wajahnya. “Terima kasih, Pak.” Nadia membayar ongkos, saat mobil tersebut sampai di lokasi tujuan. Lelaki paruh baya itu membalas ucapan Nadia dengan isyarat. “Terima kasih, semoga Bapak juga diberikan kesehatan dan rezeki yang berlimpah ya.” Nadia tidak begitu paham dan mengerti maksud dari bahasa isyarat bapak itu. Tapi lelaki paruh baya itu tidak kunjung pergi yang membuat Nadia kebingungan. “Saya sudah lebihkan ongkosnya, bapak bisa pergi sekarang.” Ucap Nadia lagi. Tapi lelaki itu terlihat enggan pergi, sampai akhirnya kendaraan yang berada di belakangnya menyalakan klakson beberapa kali. “Buruan pergi, di belakang antri.” Ucap Nadia lagi. Mobil pun perlahan pergi. “Memangnya tips lebihan harus berapa sih?!” Keluh Nadia. “Masa di kasih dua puluh ribu nggak mau. Padahal cukup buat beli nasi goreng.” Keluhnya lagi. Nadia tahu, kedatangannya sedikit terlambat lima belas menit dari jadwal yang sudah di tentukan Arik. Jalanan ibu kota tidak bisa diprediksi, satu menit jalanan terlihat lengang lancar, tapi menit berikutnya bisa jadi macet total. Begitu juga yang terjadi pada Nadia. Tatapan Arik terlihat jelas menunjukkan kekesalan, pasalnya klien pun sudah datang dan hanya tinggal menunggu Nadia saja. “Maaf,saya terlambat. Macet banget di jalan.” Ucap Nadia. “Tidak apa-apa, kami pun baru datang.” Balas salah satu klien. “Tunjukan presentasinya,” Ucap Arik. Lelaki itu tidak seramah klien, padahal mereka saja memaklumi keterlambatan Nadia. Nadia membuka tas yang dibawanya tapi barang yang dicari tidak juga ditemukan. “Ya Tuhan, mana sih!” Nadia mencari dengan teliti, bahkan ia membongkar semua isi dalam tasnya. “Mana?!” Tegas Arik. “Tunggu, Pak.” “Kamu bisa kerja nggak sih?! Pak Dion mengatakan kamu karyawan terbaik tapi hal seperti itu saja kamu lalai. Datang terlambat dan lupa membawa bahan presentasi.” Arik tidak segan marah bahkan di hadapan para klien. “Saya nggak lupa, saya sedang mencarinya.” “Mana? Kamu benar-benar lalai!” Nadia menatap kecewa, padahal lelaki itu tidak harus mendahulukan emosi. Jikapun ia melupakan berkas penting itu, tapi Nadia selalu menaruh salinannya di laptop atau ponselnya. Nadia tidak seceroboh itu. “Mohon maaf Tuan Nam, mungkin berkasnya tertinggal di taksi online tadi, tapi saya punya salinannya. Tuan bersedia melihatnya? Besok saya akan pastikan kirim berkasnya ke kantor Tuan.” Nadia berusaha bernegosiasi, berharap lelaki keturunan korea itu bersedia memberikan sedikit kelonggaran pada Nadia. “Tentu. Kita sudah bekerja sama cukup lama, saya percaya kamu.” Balasnya dengan senyum yang membuat Nadia menghela lega. “Saya bisa pelajari file nya terlebih dahulu sebelum berkas aslinya kamu kirim. Tidak apa-apa, Nadia. Saya mengerti, hal seperti ini bisa saja terjadi tanpa kita sengaja.” Nadia menghela lega. “Tidak apa-apa, Nadia.” Ulangnya seolah ingin meyakinkan Nadia. “Terima Kasih Tuan Nam.” “Sama-sama Nadia.” Beruntung klien kali ini bukan klien baru, dimana Nadia bisa meminta sedikit kebijakan atas kesalahannya. Tapi Arik? Lelaki itu langsung memarahinya tanpa melihat bagaimana usaha yang dilakukan Nadia. Pertemuan dengan klien selesai sekitar tiga puluh menit. “Pulang bareng saya.” Ajak Arik saat keduanya berjalan beriringan menuju lobi utama. Nadia tidak menjawab, mengabaikan ucapan lelaki itu. “Nadia, kamu pulang sama saya.” Ucap Arik lagi. “Terima kasih atas kebaikannya Pak Arik, tapi saya tidak mau merusak mobil Bapak. Saya masih punya cicilan mobil mantan saya, jadi saya lebih memilih pulang naik ojek online saja.” Tolaknya dengan nada sarkas. “Saya nggak bilang begitu, saya.” Kalimat Arik terhenti saat melihat Nadia berjalan semakin kencang bahkan nyaris berlari. Wanita itu pun membuka sepatu heels yang dikenakannya dan tanpa ampun memukul sebuah mobil yang baru saja berhenti di depan lobi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD