PART 7 - MENIKMATI KESALAHAN.

1770 Words
Jika Yang Kau Pandang Sebatas Rupa. Seiring Waktu Semua Bisa Pudar. Jika ketulusan Hati Yang Kau pilih. Niscaya Akan Kekal Dan Tak Tergantikan. Dewa Mahesa sebenarnya lelaki yang setia. Ia sanggup menjalin hubungan dengan gadis bernama Fiola Mutiara selama dua tahun dan menghormati batas-batas yang kekasihnya inginkan. Menurut Fiola, pacaran tidak harus mengumbar nafsu. Pacaran versi Fiola adalah pengenalan dua sifat yang berbeda, yang harus bisa mereka dalami sebelum mencapai kata SAH. Banyak pasangan yang justru bercerai ketika berumah tangga, padahal jangka waktu pacaran keduanya bisa dibilang lama. Dan Fiola tak mau itu terjadi padanya. Ia ingin menikah hanya sekali seumur hidup dengan lelaki yang tulus ia cintai dan mencintai dirinya. Lelaki yang mau menerima segala kekurangan Fiola, termasuk menjaga sikap dan etika ketika mereka hanya ada di dalam satu ruangan. Tapi kembali lagi. Manusia tidaklah lepas dari hawa nafsu. Sekuat apapun ia menahan diri. Nyatanya godaan yang hadir di depan mata lebih indah dan sayang jika di lewati. Itu mungkin yang kini tengah dialami Dewa. Ia sadar dia bermain api, dan dia tahu konsekuensinya bermain apa adalah kena percikan yang bisa membuat kulit melepuh atau justru terbakar hebat menghanguskan seluruh jiwa dan raga. Sekali lagi, di relung hatinya yang paling dalam Dewa menolak jika ia disalahkan. Kesalahan dia kali ini bukan hanya murni salahnya, Fiona juga menyambut permainannya. Keduanya seakan hanyut akan permainan yang semakin menghanyutkan. Dan kini saat Dewa sendiri meresapi kelakuannya belakangan ini, kebingungan menerpanya. Siapa sebenarnya yang ia cintai. Fiola atau Fiona? Ditambah Fiona terasa mudah untuk didapatkan. Fiona terlalu sayang untuk dilewatkan. Ibarat Fiola adalah bunga mawar yang hanya bisa dilihat di etalase toko yang tak bisa ia pegang sekalipun sudah memutuskan untuk menawar harga. Sedang Fiona, sekuntum bunga di pinggir jalan, yang bisa ia nikmati sesukanya, tanpa takut ada yang memarahi jika ia menginginkan memetik bunga tersebut. Kedua bunga itu indah, dan Dewa sempat berpikir. Kenapa harus menanti bunga yang susah di gapai. Jika di depan mata, ada setangkai bunga liar yang masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Ia tidak salahkan? Hanya Dewa yang tahu apa perbedaan Fiola dan Fiona. Fiona selalu mengikuti semua keinginan, bahkan sesuatu hal yang tak pernah Fiola berikan. Andai Dewa lelaki b******k, ia sudah dengan mudah mendapatkan Fiona seutuhnya. Astaga. Dewa menikmati semuanya dengan Fiona. Mereka menjadi keseringan menghabiskan waktu di rumah Dewa. Hingga suatu sore, kembali di tengah hujan yang mengguyur. Seperti biasa Dewa kembali mengajak Fiona ke rumahnya. Dewa tak kuasa menghentikan permainannya dengan Fiona, ditambah wanita itu terus memancing jiwa laki-lakinya yang selama ini ia redam ketika menjadi kekasih Fiola. Aku hanya ingin memberikan apapun milikku hanya pada suamiku. Bukan pada kekasihku. Saat itu Dewa merasa bangga memiliki kekasih yang berpegang teguh pada prinsipnya. Berbeda dengan wanita yang kini ada di bawah kungkungan tubuhnya. Hampir, hampir Dewa kelepasan, andai wajah Fiola tidak hadir dalam sekelebat bayangannya. "Maaf Fiona, tapi kita belum menikah. Aku gak mungkin melakukan hal ini." Dewa bangkit dari atas ranjang, sementara Fiona tengah meredakan deru napasnya. Fiona mengusap wajahnya. Astaga, apa sudah aku lakukan? Aku hampir menyerahkan diriku pada Mas Dewa. Padahal dia calon suami Fiola. Dewa beranjak mendekati jendela kamarnya. Membiarkan kancing kemeja nya sudah terlepas beberapa hasil cantik dari jemari lentik Fiona. "Aku gak mungkin merusakmu Fiona." Dewa mengumpat dalam hati, bagaimana mudahnya Fiona memancing hasratnya. Apa karena cuaca sore ini mendukung? "Mas Dewa tidak mencintaiku? Setelah selama ini kita bersama?" lirih Fiona. Demi Tuhan, Dafa pun tidak pernah menyentuhnya sedalam ini. Tapi mengapa dengan Dewa, ia bahkan sanggup melakukannya? Apakah lelaki itu akan menganggapnya w************n? "Pasti Mas Dewa menganggapku w************n," isakan Fiona keluar. Fiona malu sekali. Apalagi mengingat bagaimana agresif dirinya tadi. Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi pada diriku? Mungkin itu sebabnya dilarang berduaan di dalam suatu ruangan jika belum sah di mata agama. Khawatir timbul sosok ketiga, yaitu setan. Padahal setan tak berwujud. Mengapa selalu disalahkan? Jelas-jelas manusia yang memang sulit mengendalikan hawa nafsunya. Nasfu setan atau manusia sebutannya? "Demi Tuhan Mas, Mas Dafa pun tidak pernah seperti ini ketika kami berdua." Dewa menoleh, menatap kembali Fiona yang terisak. Astaga, ia memang lelaki b******k. Karena rasa bersalah, Dewa melangkah mendekati Fiona. "Maafkan aku, Fiona. Maaf, aku tidak bermaksud menganggapmu murahan." Dewa memeluk Fiona, membiarkan wanita itu terisak di dadanya. Tangis Fiona reda. Ia mengangkat wajahnya, memandang wajah tampan Dewa. Telapak tangannya terulur, merangkum kedua pipi Dewa. Lelaki yang sebenarnya bukan miliknya. "Aku-aku gak tahu Mas. Tapi ... sepertinya aku jatuh cinta sama Mas Dewa," bisik Fiona dengan penuh keyakinan. Ia sadar ini salah, tapi kedekatan mereka, rasa yang semakin hadir dalam dadanya, membuat Fiona mengambil kesimpulan. Ia sudah mencintai calon saudara iparnya. Dewa mematung, tak percaya akan ada pengakuan dari bibir wanita cantik, yang telah sering ia nikmati selama ini. Ketika rasa rindunya pada Fiola hadir, Dewa menumpahkannya dengan menikmati apa yang ada dalam diri Fiona. Fiona masih merangkum wajah tampan Dewa. Wajah yang sering ia beri kecupan penuh cinta. Mereka memang tidak memiliki komitmen seperti apa hubungan mereka. Semua seperti air mengalir. Sekalipun mereka tahu akan banyak batu tajam dan curam di depan mata. Mereka seolah menutup mata. Yang jelas mereka menikmati semuanya. Menikmati kesalahan yang seharusnya tidak terjadi jika mereka mengingat sebuah nama. Fiola Mutiara. Seorang gadis yang berhati mulia dan selalu ingin membuat orang disekitarnya bahagia. Tapi saat Fiona membayangkan lelaki ini akan menjadi milik Fiola, entah mengapa Fiona tak rela. Jauh di relung hatinya. Ia menginginkan Dewa Mahesa hanya untuknya. "Mas Dewa cinta juga kan sama aku," bisik Fiona. Anggaplah ia gila, melupakan sosok Fiola yang berjuang dalam kesedihannya beberapa bulan yang lalu. Dewa mengangguk dalam ketidak pastian. "Ya, aku cinta sama kamu," lirih Dewa. Aku cinta pada pemilik wajah ini. Kembali hati Dewa memberi peringatan. Senyum mengudara di kedua sudut bibir Fiona. "Lalu hubungan Mas dengan Fiola?" Mendengar nama calon istrinya di sebut, membuat Dewa dilema. Ada rasa tercubit di dalam sana. Ada janji yang harus diingkari. Ada niat yang harus dibatalkan. Ketika keinginannya kini berputar haluan. Yah, bagaimana dengan Fiola? Tak mungkin ia menikahi keduanya, sekalipun ia ingin jika Fiola mengijinkan. "Mas Dewa harus memilih diantara kami." Fiona tahu Dewa gamang. Untuk itulah ia kembali memancing permainannya dengan melabuhkan kecupan demi kecupan ke wajah Dewa. Membuat Dewa terpancing. "Siapa yang kamu pilih Mas?" tanya Fiona dengan napas menggebu. Mata Dewa kembali menutup, menikmati sentuhan Fiona, yang entah mengapa semakin kemari semakin pintar memancing jiwa terpendamnya. "Kamu Fiona, kamu yang aku pilih. Kamu yang akan menjadi istri aku. Kamu yang akan aku lamar nantinya, bukan Fiola." Dan dalam kebahagiaan Fiona makin memperdalam permainan mereka. ** Hingga akhirnya Fiola meminta sesuatu hal yang tak pernah Dewa harapkan. Saat itu seperti biasa Dewa mengunjungi rumah Fiola. Fiona ada di sana, mendengar bagaimana Fiola merajuk pada Dewa. Dadanya selalu berdebar jika melihat Dewa datang dan Fiola tersenyum menyambutnya. Astaga Fiona, Dewa milik Fiola. Tapi bagaimana dengan janji lelaki itu? "Mas, sepertinya lamaran kita majukan ya." Fiola baru saja menaruh secangkir teh hangat di meja. Ia menatap ke arah kekasihnya yang membuat ia merindu. Dewa mematung. "Kok dimajukan? Kenapa?" "Ya, kan sudah mundur tiga bulan sejak Dafa meninggal," bisik Fiola. Ia khawatir Fiona mendengar. Dewa menghela napas. Fiola melirik heran. Bukankah dulu Dewa yang memaksa ingin cepat-cepat melamar dan menikah. Tapi kenapa sekarang terlihat keberatan. "Tapi, aku lagi ada proyek, La." "Maksudnya?" "Iya aku harus konsentrasi dulu sampai proyekku kelar. Dua bulan lagi bagaimana?" "Oh jadi dua bulan lagi?" Fiola menggaruk pelipisnya. "Iya, paling cepat ya. Gak apa-apa kan?" ** Nyatanya waktu yang Fiola berikan, tidak membuat Dewa berpikir ulang. Ia justru semakin dekat dengan Fiona. Dan Fiola semakin sibuk di ibukota. Jadwalnya yang seminggu sekali pulang ke Semarang, terkadang dua minggu lamanya Fiola di Jakarta. Membuat Dewa semakin menikmati hubungannya dengan Fiona. Dewa seperti biasa sudah tiba di depan kantor Fiona. Fiona sudah berdandan rapi, karena akan menghabiskan waktu bersama dengan Dewa. Apalagi mendengar Fiola tidak pulang minggu ini. Fiona seolah buta, jika antara dia dan Fiola sudah mempunyai janji yang harus mereka penuhi. Berjanjilah untuk tidak saling berbagi kekasih nantinya. Itu tidak mungkin terjadi. Kita memiliki type idaman pria yang berbeda. Fiona berjalan perlahan. Apa yang sudah kamu lakukan Fiona. Bahkan kamu tega merebut milik Fiola. Bukankah Dewa bukan typemu. Dewa sedikit bicara. Dia bukan Dafa yang pintar membuatmu tertawa. Bisik batin Fiona yang paling dalam. Kalau aku melepasnya, siapa yang menjaga aku nantinya? Aku gak mau sendiri. Aku gak mau melihat Fiola bahagia, sedang aku masih bersedih. Aku ingin bahagia bersama Fiola. Atau biar aku saja yang bahagia. Fiola jarang bersedih. Hidupnya sudah terlalu sempurna. Ia memiliki banyak sahabat, sedang aku? Kamu lupa siapa yang pertama ada di sampingmu saat kamu bersedih, Fiona. Setega itukah kamu pada Fiola? Ini bukan masalah tega. Aku mencintai Mas Dewa. Dan Mas Dewa mencintaiku. Aku tidak salah sendiri. Mas Dewa membalas cintaku. Dewa tidak mencintaimu Fiona. Dia hanya terjebak dalam romansa rasa rindunya pada Fiola. Kalau saja Fiola ada di dekatnya, sudah pasti Fiola yang dia dekati bukan dirimu. Cukup! Hentikan! Fiola meremas rambutnya. Pening menderanya. "Fiona!" teriakan Dewa membuatnya menoleh. Melihat sosok Dewa, Fiona langsung memeluk lelaki itu. "Kamu kenapa?" Dengan sayang Dewa membelai punggung Fiona. Fiona menggeleng. "Kita ke mobil yuk, gak enak di sini banyak yang lihat," bisik Dewa. Fiona baru menyadari hal itu. Ia mengikuti langkah Dewa. "Ada apa?" Dewa membelai puncak kepala Fiona. "Mas Dewa yakin cinta sama aku?" Mendengar pertanyaan gadis cantik di depannya Dewa mengangguk. Lelaki itu memeluk Fiona, melabuhkan kecupan di kening kekasihnya. Yah, mereka sudah bukan lagi seperti dulu, mereka kini berkomitmen di atas kedustaan. Mereka menyebut hubungan mereka sepasang kekasih yang sudah tidak lagi harus berpura-pura menyembunyikan rasa rindu dan cinta keduanya. Tentunya jika mereka tengah berdua. Tidak berlaku jika ada orang yang mereka kenali ada di dekat mereka. Dewa memang sudah memutuskan akan terus menjalin hubungan dengan Fiona. Persetan dengan hubungannya dengan Fiola. Salah Fiola sendiri yang lebih memilih kesibukannya dibanding kekasihnya. Salah Fiola sendiri yang membiarkan dirinya dekat dengan Fiona. Suara sesat yang semula muncul di otak Fiona, kini beralih bertengger ke kepala Dewa. "Ya sayang, Mas cinta sama kamu. Kamu yang akan menjadi istri Mas. Kamu yang akan Mas lamar." "Aku takut Mas. Aku takut hubungan kita tidak akan mendapat restu." Bagus Fiona, kenapa tidak dari awal kau berpikir seperti itu. Sisa-sisa batin Fiona yang positif masih bersuara, walau akhirnya tenggelam oleh suara negatif gadis itu. "Percaya sama Mas, Fiona. Mas akan cari jalan keluar untuk hubungan kita. Mas akan pastikan kita sampai ke pelaminan. Serahkan semuanya pada Mas." Dewa memeluk kekasihnya, walau ia sendiri diliputi kegamangan. Apakah benar hubungannya dengan Fiona akan berjalan lancar. Bagaimana ia mencari jalan keluar? Ia saja masih belum memiliki rencana, Sementara waktu yang dipinta Fiola tersisa sebulan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD