PART 8 - TERTANGKAP.

1719 Words
Ketika kau pikir, kau mengendalikan permainan. Lupakah jika ada pengendali sesungguhnya? Kehilanganmu ibarat membersihkan setitik debu yang mengotori gaun putihku. Hilang, namun menimbulkan bekas seumur hidup. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mungkin itu perumpamaan yang Dewa dan Fiona lakukan. Atau mungkin sebusuk-busuknya manusia, Tuhan masih memiliki kekuasaan untuk melindungi umatnya yang jelas-jelas tersakiti. Siang itu sinar matahari begitu menyorot permukaan bumi. Membuat siapapun dapat merasakan panasnya yang begitu menusuk di kulit. Seorang gadis terlihat berjalan dengan terburu-buru memasuki sebuah Mall yang tampak ramai di siang itu. Orang itu tak lain adalah Ami, sahabat dekat Fiola. Napasnya memburu dan mulut menggerutu, ingin menabrak siapa saja yang mungkin menghalangi langkah Ami saat memasuki Mall yang sudah ditunjuk atasannya. Ia melirik jam tangan di lengannya. Sudah telat lima belas menit. Repot memang, jika sedang dalam tugas bosnya menghubungi tak kenal tempat dan waktu. Padahal besok juga mereka ketemuan di kantor. Kenapa mendadak amat sih minta ketemu di Mall begini. Bukan apa. Ami itu kalau Fiola bilang jones. Jomblo ngenes. Apa kata tetangga jika mempergoki Ami di Mall bersama seorang lelaki yang berlabel atasannya. Hanya dua kata. Salah satunya pasti dia dikira sedang kencan. Walau pun menurut Ami gak bakal malu-maluin. Pak Zayn Riandra Putra sosok lelaki tampan nan gagah. Semua wanita pasti bilang begitu. Ami juga awalnya gitu. Catat ya, awalnya. Itu setelah tahu jika dibalik sikap dinginnya, ternyata Pak Zayn cerewetnya mengalahkan neneknya di kampung, Pilihan kedua, dia pasti dianggap simpanan lelaki itu. Bisa saja kan tetangganya menilai seperti itu, karena Ami tidak pernah membawa satu cowok pun ke rumah. Ia memiliki prinsip. Tak akan membiarkan satu lelaki pun masuk ke dalam rumahnya, sebelum hubungan mereka resmi dan siap ke pelaminan. Kembali ke Ami yang berjalan terburu-buru. Tadi ia naik ojek kemari, membuat tatanan rambutnya mengalahkan sapu ijuk di rumah ibunya. Sebaiknya ia mencari toilet dulu sebelum bertemu atasannya. Karena ia pernah menghadap bosnya seperti ini ketika mereka bertemu di Mall beberapa bulan lalu. "Kamu tidak menemukan toilet?" Begitu pertanyaan Pak Zayn ketika melihatnya datang dan duduk dibangku di depan atasannya. "Memang kenapa Pak? Saya lagi gak pengen ke toilet. Saya lagi gak kebelet." Zayn menggeleng. "Ami-ami, pantes kalau kamu jomblo." Alis Ami menukik. "Bapak menghina saya? Lupa kalau bapak jomblo juga?" Bukan Ami namanya kalau mau kalah sekalipun itu atasannya. "Coba saya pinjam salah satu alat kosmetik kamu. Yang ada kacanya." Tangan Zayn terulur dengan menengadah ke hadapan Ami. "Sejak kapan bapak bedakan?" tanya Ami dengan mata menyipit. "Sudah jangan cerewet. Pinjam cepat." Jemari Zayn bergerak, isyarat ia meminta dengan cepat. "Tapi masa saya pakai sponge bedak barengan sama bapak." Kembali gadis itu protes. "Kamu berikan saja, nanti saya ganti sepuluh kali lipat kalau saya memang pakai sponge bedak kamu. Cepat!" Dengan mulut bersungut Ami segera merogoh tasnya dan memberikan bedaknya yang two way cake. Secara perlahan Zayn membuka. Lalu membalik bedak itu ke hadapan Ami, hingga Ami bisa menatap cermin kecil di depannya. "Lihat tampang kamu?" tunjuk Zayn. Mata Ami membola. Pasalnya rambutnya seperti benang kusut dan terkena terjangan angin p****g beliung. Mencuat tak tentu arah. Belum lagi mukanya yang berkeringat, dan tadi ia asal mengusap keringat. "Saya berantakan ya Pak?" cicit Ami. "Banget." Zayn melirik jam di lengannya. "Masih ada waktu lima belas menit lagi, sebelum klien kita sampai di tempat ini, kamu mau ...." Ucapan Zayn tak berlanjut, karena sosok karyawannya sudah pergi setelah menyambar kotak bedak di tangannya. Zayn menggeleng. "Ami-Ami." Mengingat itu, Ami lalu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari toilet. Ketika ia berjalan, saat itulah ia melihat sosok yang ia kenal. "Dewa?" bisiknya. Lelahnya serasa hilang. Melihat lelaki yang ia kenal sedang berjalan berdua dengan seorang wanita. Tanpa melihat wajah sang wanita, Ami yakin itu Fiola, sahabatnya. Ami mempercepat langkahnya. Tentu saja ia bahagia bertemu mereka berdua. ia kangen pada sahabatnya ini. Mereka memang pasangan yang serasi. Selalu nempel dan mesra, tak kenal tempat. Semoga Ami bisa bahagia seperti Fiola yang telah menemukan tambatan hati. Sudahlah nanti saja ke toilet. Urusan bosnya? Bodo amat, dia bisa menunggu. Palingan Ami akan mendapat semprotan, sudah biasa. Orang yang ia tuju makin dekat. Duh, Fiola ama Dewa makin lengket saja, pake pegangan gitu. Udah kaya mau nyebrang jalan aja. Setelah dirasa tinggal beberapa langkah lagi. "Hey, kalian makin mesra saja," tegur Ami sambil menepuk bahu Dewa. Otomatis pasangan yang tengah jalan saling bergenggaman tangan itu berhenti dan berbalik. "Pegangan aja terus, kaya mau nyeb ... lho Fiona?" Tatapan terkejut tentu saja terlihat jelas di wajah Ami, begitupun kedua orang yang ada di depan Ami. Mungkin tak percaya akan bertemu wanita ini. Lalu tatapan Ami mengarah ke bawah, ke arah jalinan jemari. Sontak jemari yang saling menjalin itu terlepas. Wajah Ami mengeras. "Apa-apaan ini?" tanya Ami dengan wajah berang. Ia bersumpah mengira Dewa akan bersama Fiola kekasihnya yang merupakan sahabat sejatinya. Dan bagaimana bisa Dewa bersama Fiona. Dan dari sikap mereka. Astaga, Ami tak ingin berspekulasi yang berujung menyakitkan hati. Seperti maling yang tertangkap, Ami melihat wajah Fiona pias dan menunduk, sementara Dewa memalingkan wajahnya. Ami yakin wajah mereka berdua merah padam. "Jangan katakan jika kalian menikam Fiola dari belakang," desis Ami tak terima. Tatapan Ami semakin nyalang, ketika dilihatnya dua orang manusia yang nyaris seperti tak memiliki dosa itu sama-sama terdiam. Seolah apapun yang akan keluar dari mulut mereka akan semakin membuat Ami bertambah murka. "Fiona, Dewa. Kalian masih waras!" Kini Ami bahkan nyaris berteriak. Bukankah lamaran lelaki itu sebulan lagi terlaksana? Yang berarti sahabatnya akan menikah dengan Dewa, tapi lihatlah yang ia saksikan ini. Dewa melangkah mendekati Ami. Sepertinya kali ini ia tak bisa lagi berkelit. Ia mengenal sosok Ami, dan gadis ini terlalu pintar untuk mereka bohongi. Tubuh Ami dibawa Dewa ke tepian. Lelaki itu menyeret lengan Ami dengan paksa. "Ini bukan urusan kamu. Dengar ...." "Kamu yang dengar!" Telunjuk Ami tepat di wajah Dewa setelah sebelumnya menghempaskan lengan Dewa yang menjamahnya. Sungguh Ami jijik sekali. "Aku gak akan biarkan Fiola terluka karena perbuatan kalian." Napas Ami turun naik menahan emosi. Ia juga melayangkan tatapan ke arah Fiona yang menunduk penuh rasa ketakutan. Tapi Ami tak puas rasanya, jika hanya matanya saja yang melotot. Lalu Ami melangkah ke arah Fiona. Menelisik wajah cantik yang serupa dengan wajah sahabatnya. Tapi Ami tahu, banyak kepalsuan dari wajah di depannya ini. Dan rasa muak perlahan menyeruak hadir di dalam dadanya. "Tega kamu sama Fiola, setelah apa yang Fiola perbuat sama kamu!" Bahkan Ami mendorong bahu Fiona dengan kasar. Walau jujur, Ami ingin sekali melempar Fiona ke lantai dasar Mall ini. Wajah Fiona berkaca. Ia tak menduga secepat ini hubungan terlarangnya dengan Dewa tercium. Dan sialannya, Ami yang memergoki. Fiona tahu sejak dahulu Ami tak pernah menyukainya. "Mi, aku ...." "Owh ... atau kamu lupa jika kekasihmu baru saja meninggal beberapa bulan lalu?" "Ami!" Dewa membentak dan langsung memasang badan untuk Fiona. Ia raih tubuh Fiona untuk di sembunyikan di belakang tubuhnya. Dalam kemarahannya, Ami bertepuk tangan. "Wow, hebat kalian! Layak dapat piala Oscar." Sungguh Ami tidak suka para pengkhianat, terlebih ia tahu bagaimana selama ini Fiola terhadap Fiona. "Fiola urusanku, kamu gak usah ikut campur." Kembali Dewa memberi tatapan peringatan. Ami menatap remeh pada keduanya. "Aku gak akan biarkan kalian menghancurkan Fiola! Ingat itu!" bentaknya dengan mata nanar pada keduanya. Lalu setelah berkata begitu Ami berbalik pergi. Ya Tuhan, bukan aku yang dikhianati. Tapi kenapa aku ingin menangis ya. Ami berhasil menemukan toilet. Ia segera masuk ke dalam salah satu bilik. Duduk di atas kloset, menutup matanya. Menetralkan debaran dalam dadanya. Mi, kalau lo ada waktu, chat Fiona ya. Kasih semangat sama dia supaya gak terus-menerus berduka ingat Daffa. "Padahal lo tahu gue gak suka sama Fiona," isaknya. Kali ini aja Mi. Kasihan dia berduka banget, gue juga minta tolong sama Dewa supaya menemani Fiona, kemana aja Fiona mau. Gue sibuk banget urus kerjaan gue, jadi sering gak punya waktu. "Ya Tuhan Fiola. Kayaknya lo yang harus berduka kali ini." Ami mengusap kedua ujung matanya, walau tetap membuat hidungnya memerah. Fiola sahabatnya. Berulang kali dia diminta untuk menghibur Fiona ketika Dafa kecelakaan. Tapi lihatlah, orang yang sangat ia khawatirkan justru menikamnya dari belakang. Ponselnya berbunyi. Pak Bos Zayn. Ih ini orang gak sabaran amat sih. Gak tahu orang lagi sedih gini. Inginnya ia cuekin, tapi tak mungkin. Yang ada dia kena semprotan dari jomblo Zayn. Ami membersit hidungnya, sebelum menekan tombol hijau di ponselnya. "Ami, kamu mau menyuruh saya menunggu berapa jam lagi kira-kira?" Mendengar itu, Ami mendengkus. Benarkan, pasti bosnya sudah lama menunggu. Ia bisa membayangkan raut wajah atasannya itu. "Iya Pak. Sabar kenapa. Sebentar saya ke sana. Saya kebelet jadinya ke toilet dulu." "Oke." Lalu sambungan terputus. Dengan langkah malas, Ami keluar dari bilik toilet. ** Ami kembali melangkah mencari restoran yang atasannya share tadi. "Maaf saya telat." Ami menunduk, demi menyembunyikan matanya yang masih susah ia tahan untuk tidak berair demi membayangkan sosok Fiola. Kasihan Fiola. Pengkhianat hidupnya justru orang yang ia sayangi selama ini. b******k Dewa dan Fiona. Ingin rasanya tadi ia lempar mereka ke jalanan. Sukur-sukur ketemu truk, kehajar dan gepeng selamanya. Sosok laki-laki yang menjadi atasannya melirik gadis yang baru saja datang. Sejak tadi ia menunggu karyawannya sampai setengah jam. Sepertinya ia akan mendapat medali sebagai bos yang baik hati. Di mana-mana biasa karyawan yang menunggu, ini justru atasan yang menunggu. Hebat. "Kamu kenapa?" Zayn melirik karyawannya penasaran. Biasanya Ami cerewet begitu ketemu. Ami tetap menunduk. Sambil sesekali mengusap kedua sudut matanya. "Bapak gak usah lihat-lihat saya," cegahnya. "Saya gak tanggung jawab kalau bapak naksir saya." Astaga. Mulut Zayn menganga. Dasar karyawan minim tatakrama. Dengan malas, Zayn meraih tisu di dekatnya. "Saya gak mau di sangka orang sebagai alasan kamu menangis. Gak level banget sih nangisin anak orang." Masih raut wajah kesal Ami meraih tisu yang disodorkan atasannya. Ia mengusap kedua ujung matanya. "Kamu kenapa ... eh, kamu apa-apaan sih?" Zayn melirik heran, ketika Ami menunduk dan menyembunyikan wajahnya dengan buku menu. "Sstttss, bapak diem bisa gak sih. Berisik banget." Zayn mengerjap. Lalu ia melihat kelakuan karyawannya ini. Buku menu yang menutupi wajah Ami perlahan menurun dan memperlihatkan mata Ami sedikit. Mata Ami bahkan masih terlihat basah. "Kamu ...." "Sttss saya bilang diem dulu." Kembali Ami memberi isyarat. Karena penasaran Zayn mau menoleh ke belakang. Ia bingung melihat sikap aneh Ami. "Bapak jangan nengok-nengok. Nanti mereka curiga." Kembali Zayn membatalkan gerakannya. "Kamu memergoki kekasihmu membawa wanita lain?" bisik Zayn mendekat ke arah Ami. "Bapak meledek? Kapan saya punya kekasih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD