Chapter 7 - Mulai Bekerja

1642 Words
Mahesa menatap punggung gadis yang baru saja ia temui itu berjalan menjauh meninggalkan meja kerjanya. Sebelum melangkahkan kaki keluar ruangan, Iwa menyempatkan diri berbalik badan, dan kembali melihat ke arah Mahesa. Iwa tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Mahesa tersenyum membalas. Iwa perlahan keluar ruangan, dan kembali menutup pintu kaca itu. Mahesa tertawa ringan ketika melihat Iwa melompat dan menggoyang-goyangkan pinggulnya setelah pintu tertutup. Ia tidak sadar kalau Mahesa bisa melihat bokongnya yang terus bergoyang dari balik pintu, dengan jelas. Mahesa menghentikan tawanya, ketika ia melihat sosoknya dari pantulan cermin yang ada di dinding kantor. Ia merasa, sudah cukup lama tidak tertawa selepas ini. Selama ini Mahesa sulit tertawa, lebih tepatnya Mahesa tidak memiliki seseorang yang bisa membuatnya tertawa. Bibir Mahesa semakin mengerucut ketika ia menatap layar ponselnya, "Halo, iya Fa?" Jawab Mahesa menjawab panggilan telepon dari istrinya. "Mahes, aku hari ini pulang malam. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan." Ucap Syafa dari sebrang sambungan telepon. Niat Syafa memang baik, ia menghubungi Mahesa agar ia tidak menunggu istrinya pulang. Tapi Syafa selalu tidak pernah menyertakan alasan yang pas untuk kegiatan yang ia lakukan sampai larut, "Aku bisa menunggumu di kantor?" pancing Mahesa, "Untuk apa Mahes? Aku bukan anak kecil yang kamu tungguin. Aku malu!" Protes Syafa. "Aku ini suamimu, Syafa. Aku hanya ingin mendampingi mu. Apa aku salah?" "Mahes. Aku menghubungimu karena aku menghargaimu, apa kamu tidak bisa menghargaiku juga?" Syafa terdengar marah. "Sudahlah, Mahes. Aku sedang pusing. Pekerjaan aku menumpuk, aku harus fokus dengan semua. Kita akan bicarakan ini nanti setelah aku pulang bekerja." ucap Syafa, seraya mematikan sambungan telepon tanpa menunggu persetujuan Mahesa untuk menutup teleponnya. Mahesa meletakkan ponsel, dan mengurut keningnya. Harusnya setelah menikah, Mahes merasa bahagia, penantian panjangnya memilih istri, dan menemukan Syafa sebagai pendamping hidup harusnya cukup membuatnya bahagia melebihi apapun. Tapi, semua justru terbalik. Mahesa merasa, Syafa tidak menganggap Mahesa suaminya. Tidak ada rasa bahagia apalagi kehangatan di rumah besar yang mereka tinggali. Mahesa bangkit dari duduknya, percuma saja Mahesa gundah seperti ini, apa yang Syafa lakukan adalah aib rumah tangga yang harus Mahesa tutup rapat, termasuk kepada Oma Aning. Mahesa berjalan keluar kantor, ia teringat sesuatu. Mahesa lupa meminta nomor ponsel gadis yang baru saja mendatanginya. "Mana kunci mobil?" tanya Mahesa pada Chandra, supir pribadi Mahesa, lelaki muda itu memberikan kunci mobil yang ia ambil dari saku celananya. Chandra mengikuti langkah cepat Mahesa, "Bapak mau kemana? Biar saya antarkan," tawar Chandra. "Tidak perlu. Aku terburu-buru." jawab Mahesa, "Stop! Kami tunggu saja di kantor. Aku akan segera kembali." Mahesa melarang Chandra ikut masuk ke dalam lift. Chandra menghentikan langkahnya dan membiarkan pintu lift tertutup menghilangkan bayangan Mahesa. Mahesa melirik ke arah jam, harusnya anak itu belum terlalu jauh untuk dikejar. Mahes berjalan sedikit berlari menuju mobil. Entah apa yang Mahesa kejar, tapi ada sesuatu yang mendorong Mahesa ingin bertemu gadis kumal yang datang tadi. Mahesa naik ke atas mobil, dan menghidupkan mobilnya. Dengan cepat Mahesa melajukan mobil ke luar halaman kantor. Perlahan Mahesa menyusuri jalan, kepala Mahesa berputar ke kiri dan ke kanan mengamati siapa tau Iwa belum jauh. Tidak lama mata Mahesa terbelalak, melihat Iwa berjalan di troatoar pinggir jalan. Mahesa menepikan mobilnya, dan membuka kaca jendela mobilnya. "Hei, kamu!" teriak Mahesa dari dalam mobil. Iwa menghentikan langkahnya dan menatap ke arah sumber suara. Iwa terperanjat ketika melihat Mahesa dari salam mobil. "Kamu saya perintahkan mulai bekerja hari ini!" ucap Mahesa. Iwa mengerutkan alisnya, "Hari ini? Tapi, Pak.." "Kalau kamu menolak, terpaksa gaji mu akan saya potong, dan saya anggap kamu sebagai asisten yang tidak konsisten dan tidak disiplin!" tegas Mahesa. Iwa semakin tertegun, Iwa berusaha menyadarkan diri, tapi ternyata ia tidak sedang bermimpi. Mahesa memang datang dan berbicara kepadanya di trotoar pinggir jalan. "Masuk!" perintah Mahesa. "Hah?" Iwa semakin kaget. "Ayo!" perintah Mahesa kali ini menyadarkan Iwa kalau ia harus menuruti semua perintah bos barunya itu. Sebelum naik ke dalam mobil, Iwa berulang kali membaca doa. Ia takut, Mahesa termasuk ke dalam golongan lelaki hidung belang. Iwa naik ke dalam mobil. Kakinya ia rapatkan, Iwa duduk menempel ke pintu mobil dan sesekali ia melirik ke arah pintu mobil mewah yang sedang ia naiki itu. Setelah melirik ke arah kunci mobil, kali ini Iwa melihat ke sekeliling mobil, mencari tau apakah di dalam mobil ada kamera pengawas. Iwa pernah menonton film, kalau di mobil mewah seperti milik atasannya itu ada kamera yang bisa dengan leluasa memantau penumpang di dalamnya. "Kamu kenapa tidak naik taxi?" tanya Mahesa bingung, Mahesa masih fokus mengemudikan mobilnya. "Aku biasa jalan. Taxi mahal, Pak." jawab Iwa. "Mahal? Bukankah kamu sudah saya berikan uang untuk belanja?" tanya Mahesa lagi. Iwa seperti tersadar akan sesuatu, "Jangan bilang, kamu lupa kalau kamu punya uang?" pancing Mahesa. Iwa tidak menjawab, Mahesa memalingkan wajah sejenak ke arah Iwa. Ia melihat Iwa menganggukkan kepala. "Iya. Aku lupa.." Jawab Iwa malu-malu. "Hahaha.." Tawa Mahesa kali ini benar-benar lepas kali ini menyaksikan ekspresi lugu Iwa. Iwa bisa menghapus sedikit kekesalannya terhadap Syafa. Ini yang diharapkan Mahesa, minimal gadis di sampingnya ini bisa menghibur Mahesa dengan sikap apa adanya yang ia miliki. Sejak dulu, Mahesa selalu meyakini bahwa pilihan Oma Aning memang tidak pernah keliru. Oma Aning sudah Mahesa anggap sebagai pengganti Mamanya. Mama Mahesa yang pergi dan lebih memilih hidup dengan lelaki lain, sama sekali tidak pernah kembali atau hanya sekedar menyapa Mahesa. Itulah yang membuat Mahesa menganggap wanita bukan hanya perlu cantik. Namun pencarian Mahesa yang terhenti di Syafa sepertinya keliru. Syafa tidak seperti yang Mahesa bayangkan. Kegagalan pada rumah tangga sebelumnya tidak membuat Syafa berubah, dan mengambil hikmah dari perceraiannya. "Kamu sekarang mau kemana?" tanya Mahesa, "Rencananya, aku mau ke Tanah Abang," jawab Iwa pelan, "Tanah Abang? Mau ngapain? Kerja jadi kuli angkut lagi?" Cecar Mahesa. Iwa memalingkan wajah ke Mahesa, "Aku ingin membeli pakaian bekerja seperti yang Bapak pinta." Mahesa mengangkat kedua alisnya, "Kenapa harus di sana?" tanya Mahesa lagi. "Lalu? Harus kemana, Pak?" Iwa balik bertanya. "Di butik, hm atau di mal mungkin.." Mahesa memberi saran. "Hm, aku lebih senang belanja di Tanah Abang, aku bisa medapatkan banyak baju dengan uang ini. Aku juga bisa membeli lebih dari satu pasang sepatu. Aku harus sering berganti pakaian dan sepatu, bukan?" Mahesa mengangguk-angguk membenarkan. "Kalau begitu aku ikut." Ucap Mahesa. "Hah?" Iwa menganga menatap Mahesa bingung. Iwa merasa hari ini seperti mimpi. Setelah ia memegang tiga tumpuk uang merah, dan kini Mahesa, atasan barunya itu berniat ikut ia berbelanja. Apa mungkin, ia berniat mengambil sisa uang itu? Terka Iwa dalam hati. "Sejak kecil, aku tidak pernah masuk ke sana." ucap Mahesa jujur. "Wajar saja, Pak. Mana mungkin orang kaya seperti Bapak berbelanja di tempat penuh sesak orang seperti itu." Mahesa mengangkat kedua bahunya. Mobil Mahesa membawa Iwa ke pusat perbelanjaan itu. Sepanjang perjalanan Iwa hanya diam, begitu pula dengan Mahesa. Mahesa juga tidak tau harus bertanya apa lagi dengan Iwa. Meminta nomor ponsel Iwa mungkin belum waktunya. Lagi pula, sepanjang perjalanan Mahesa belum melihat Iwa memainkan ponselnya, atau sekedar mengeluarkannya dari dalam tas yang Iwa kenakan. Mobil Mahesa terparkir ke parkiran pusat perbelanjaan itu. Iwa membuka sit belt yang melingkar ke tubuhnya. Sementara Mahesa membua jas yang ia kenakan, ia juga membuka dasi yang ia kenakan. Mahesa membuka kedua kancing di lengan kemejanya, lalu jemarinya membuka kancing teratas kemeja yang Mahesa kenakan. Iwa bergerak ragu. Ia takut Mahesa berbuat macam-macam. "Aku akan menggulung lengan kemeja, dan.." Mahesa bercermin menggunakan spion di tengah mobilnya, dan mulai mengacak-acak sedikit rambutnya. "Tidak terlalu resmi, bukan?" Mahesa menatap Iwa. Iwa mengulum senyum, melihat Mahesa geli. Mungkin atasannya itu benar-benar mengalami pengalaman pertama memasuki pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta ini. "Aku turun dulu, Pak." pamit Iwa. "Wa, tunggu!" pekik Mahesa. Iwa mengurungkan niatnya menutup pintu. "Baik, Pak." jawab Iwa kikuk. Mahesa turun dari mobil dan menutup kembali pintu mobilnya. Sementara Iwa berjalan, Mahesa berada di sampingnya. Lengan kemeja panjang Mahesa sudah tergulung. Iwa tidak menyangka Mahesa bisa terlihat lebih muda dari usianya saat berganti gaya berpakaian. "Kita mau kemana?" tanya Mahesa. "Kalau Bapak lelah, tunggu saja di sana. Aku harus memilih dan menawar harga semiring mungkin." Jelas Iwa. "Kenapa harus di tawar kalau harganya sendiri sudah sangat murah," protes Mahesa. "Menawar itu seni dalam berbelanja, Pak. Ada kepuasan sendiri saat kita mendapatkan barang dengan hasil jerih payah hasil tawaran kita kepada penjual." Iwa menjelaskan. Mahesan hanya bisa mengangguk mengerti. Iwa berjalan mendekati sebuah toko pakaian wanita. Iwa menatap satu persatu baju kemeja yang terpajang. Tangnnya piawai memili baju, dan menarik sebuah kemeja yang ia anggap cocok untuk dirinya. "Ini modal berapa, Ni?" tanya Iwa tidak seperti biasa pembeli bertanya harga kepada penjual. "Modal enam puluh ribu, tapi bisa lima puluh tiga ribu kalau ambil lebih dari tiga pasang. Bebas pilih size. ucap perempuan yang menjual pakaian. Mahesa mengamati cara mereka bercengkrama. Iwa sangat pintar mengurusi keuangannya. Dengan beberapa lembar saja, Iwa sudah mendapai banyak pasang baju, uang yang diberikan Mahesa juga masih utuh. "Kalau begitu, aku ambil ini, Ni. Juga ini, oh ya, jangan lupa bonus tas itu juga dimasukkan ya." pinta Iwa. Petugas mengemasi barang yang Iwa pesan. Mahesa mendekati Iwa. Khawatir uang yang ia berikan kurang. Namun ternyata Mahesa salah. Iwa sudah banyak mendapatkan beberapa pasang lagi. Iwa sangat piawai menggunakan uang yang ia berikan. Dari toko ke toko Iwa berjalan, memilih baju. Di tangan Iwa sudah ada beberapa kantung pakaian dan beberapa kantung yang berisi sepatu. Iwa duduk dan meluruskan kakinya yang terasa pegal. Iwa menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari Mahesa yang baru ia sadari tidak ada lagi bersamanya. Iwa merasa bersalah, karena selama berbelanja, Iwa tidak mengacuhkan atasannya itu. Kalau sampai Mahesa menghilang, bisa berbahaya. Iwa menggerutu salam hati. Tiba-tiba, Iwa melihat botol kertas berisi minuman dingin sudah ada di hadapannya. "Minum." Mahesa ternyata menghilang untuk membelikan Iwa minum. Iwa menggigit bibirnya, "Maaf, Pak." Ucap Iwa sungkan. "Tidak apa-apa. Minumlah." perintah Mahesa. "Kamu pintar sekali menawar." ucap Mahesa. Iwa mengulum senyum, "Kalau ilmu itu, tidak akan di dapa di ilmu sekolahan." jawab Iwa bangga. Mahesa tersenyum melihatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD