Cahpter 8 - Penolakan Syafa

1244 Words
Iwa membawa beberapa pelastik yang sudah terisi semua keperluannya untuk memulai bekerja. Di belakang Iwa, Mahesa ikut membawakan bungkusan hasil belanjaan Iwa. Iwa membuka pintu kamar kos nya, lalu meletakkan semua belanjaannya. Iwa membantu Mahesa meletakkan pelastik bawaannya, dibantu Iwa yang merasa segan atasannya ikut mengantarkan nya sampai ke depan pintu kost. Mahesa menghela nafas dan melihat sekeliling kamar Iwa. Kamar sepetak yang rapih. "Pak, maaf ya Pak, sampai mengantarkan aku ke depan kamar.." tanya Iwa di sela nafasnya yang cepat karena lelah. "Ini kamar manusia?" tanya Mahesa bergidik.  "Hah?" Iwa terkesima mendengar pertanyaan Mahesa yang terkesan meremehkan.  "Iya. Dibanding kandang kuda milikku, kamarmu masih kalah jauh." Iwa menyeringai. Dalam hati Iwa mengutuk keras apa yang Mahesa katakan, Mahesa sombong sekali. "Ok, aku pulang dulu. Besok kamu sudah bisa datang ke kantor. Aku harap gayamu tidak kampungan." Ucap Mahesa sambil berbalik dan pergi menjauh dari Iwa yang terpaku menyaksikan atasannya pergi begitu saja. Namun Iwa tidak perduli, hari ini Iwa bagaikan ketiban durian runtuh. Semua yang terjadi hari ini seperti mimpi. Uang di dalam tas Iwa masih tersisa sangat banyak. Mungkin ia masih bisa bertahan hidup selama satu tahun dengan sisa uangnya ini.  BRAK! Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu kos nya yang masih terbuka. Barbara sudah berdiri tegap dengan tas pinggang andalannya.  "Nampaknya ada yang sedang bergelimangan harta ya," todong Barbara melihat tumpukan pelastik memenuhi hampir setengah isi kamar.  "Alhamdulillah Kak, doa Iwa selama ini di dengar Allah!" Iwa melangkahi beberapa pelastik belanjaan yang berserakan dan mendatangi Barbara yang berdiri di bibir pintu sambil menopangkan lengan di pinggang, "Kakak tau, ini semua yang membelikan bos baru Iwa! Namanya Pak Mahesa. Selain tampan, Pak Mahesa juga baiiiik sekali, dia.." "Ahh, sudah! Aku tak penting siapa bos kau itu, yang penting, bisa gak kau membayar kos mu yang sudah menunggak enam bulan ini?" tanya Barbara membulatkan mata ke arah Iwa. Tidak seperti biasanya, Iwa kali ini tidak membalas pelototan mata Barbara dengan wajah memelas karena belum ada uang untuk ia bayarkan. Tapi, wajah Iwa justru sumringah. Iwa membuka tasnya, lalu menghitung beberapa uang di dalam tas. Barbara melongos, ingin ikut melihat berapa banyak uang yang Iwa punya. Tapi Iwa menarik tas itu dan menyembunyikannya. "Hm," Barbara mendelik sinis,  "Ini, kak. Hitung. Untuk empat bulan." Barbara menghutung uang kosnya lagi.  "Cukup." ucap Barbara sinis.  Iwa mengangguk sambil terus tersenyum.  "Kau hati-hati. Ini Jakarta. Aku khawatir kau dimanfaatkan dengan bos kau itu!" ucap Barbara seraya memasukkan beberapa lembar uang kertas itu ke dalam tas pinggang miuliknya.  "Maksudnya bagaimana, Kak?" tanya Iwa tidak mengerti.  "Banyak orang yang picik di sini." bisik Barbara, Iwa mengerutkan alis mengisyaratkan tidak mengerti. "Di luar mereka terlihat baik dan berwibawa. Begitu royal, tapi..." Barbara menghentikan bisikannya, dan mendekatkan bibir ke telinga Iwa,  "Tapi, ternyata mereka hanya memanfaatkan wanita muda seperti kamu untuk dijadikan wanita bayaran." sambung Iwa. Iwa menelan ludah. Ia pernah mendengar cerita seperti itu. Tetangganya dulu, pernah menjual anak gadisnya sendiri untuk melunasi hutang piutang keluarga.  "Tapi, Pak Mahesa, tidak terlihat seperti itu, Kak." Iwa menanggapi,  "Banyak kambing berbulu domba, Wa." Barbara kembali menimpali.  Iwa terdiam. Kakinya lemas. Ia sekarang dalam kondisi bimbang. Yang dikatakan Barbara ada benarnya, kalau Mahesa tidak menginginkan apa-apa dari Iwa, ia tidak mungkin bersikap sangat baik kepada Iwa.  "Ingat, Iwa, kamu jangan terbuai oleh kata-kata manis bos mu itu!" Barbara kembali mengingatkan. Iwa menggigit bibir.  *** Mahesa melangkah lunglai masuk rumahnya. Hari sudah mulai sore. Entah kenapa hari terasa begitu panjang, biasanya Mahesa pulang bekerja sudah nyaris gelap. Tapi hari ini tidak. walaupun ia sudah berkeliling mencari keperluan calon asistennya, tapi hari belum juga gelap. Mahesa teringat Syafa yang tadi meminta izin pulang lrut. Ini sudah hari ke tiga Syafa meminta izin pulang larut. Dua malam yang lalu Syafa pulang jam sepuluh malam, keesokan malamnya, Syafa pulang lebih malam lagi, nyaris jam dua belas tengah malam.Mahesa tidak tau, jam berapa lagi ia akan pulang ke rumah.  "Kemana istrimu, Mahes." suara Oma Aning mengagetkan. Mahesa menghentikan langkahnya terkejut mendengar suara Oma Aning yang tiba-tiba memecah lamunannya.  Mahesa mendatangi Oma yang sedang duduk, dan mencium punggung tangan keriuputnya. Oma Aning mengusap kepala Mahesa ketika ia menunduk. Kebiasaan seperti itu sudah ia lakukan sejak kecil.  "Syafa minta izin pulang terlambat hari ini." jawab Mahesa malas. Oma Aning akan kepikiran dengan tingkah keterlaluan cucu menantunya/  "Apa yang dia lakukan sampai selalu pulang malam? Kamu saja yang punya perusahaan besar, berskala Internasional, tidak terlalu sibuk dengan perusahaan, bukan?" Oma Aning berkata sinis. Mahesa duduk di sofa tidak jauh dari tempat Oma Aning duduk.  "Syafa itu wanita karir, Oma. Mahes tidak bisa melarang atau mengekang Syafa dengan melarang segala sesuatu ruang gerak Syafa." Jelas Mahesa sangat berhati-hati. "Terserah kamu saja, Mahes. Oma sudah menyerah dengan semua nasihat." ucap Oma lemas. Mahesa menggenggam tangan keriput Oma Aning.  "Bagaimana dengan Iwa?" tanya Oma Aning teringat sesuatu.  "Dia anak yang baik. Dan, menyenangkan." Mahesa mengembangkan senyum ketika mengingat kegiatan yang ia dan Iwa lakukan tadi, "Mahes senang dengan anak itu, Ma. Jadi, Mahes memutuskan untuk membelikannya pakaian kerja dan sepatu untuk ia pakai sehari-hari, Iwa sudah Mahes terima sebagai asisten pribadi Mahes." Mahes mengatakan yang sesungguhnya kapada Oma Aning. "Dari pertama Oma bertemu dengan Iwa, entah kenapa Iwa merasa dia anak yang jujur dan sopan. Oma juga tidak menyangka kalau Mahes akan suka juga dengan sikap Iwa." Oma Aning mengusapkan minyak kayu putih di tengkuk, leher belakangnya.  Mahesa mengangguk.  CKREEK..  Tiba-tiba pintu ruang utama terbuka. Dari balik pintu itu tampak Syafa berjalan masuk ke dalam ruangan, bertemu dengan Oma dan Mahesa yang sedang duduk di ruang tamu.  "Syafa?" tanya Mahesa, mengangkat lengannya yang terlingkar arloji hitam, "belum malam. Kenapa kamu sudah pulang?" tanya Mahesa bingung.  "Aku hanya berganti baju saja, Mahes. Setelah itu aku akan kembali pergi. Aku sudah ada janji dengan client dan beberapa teman arisanku malam ini." ucap Syafa singkat.  "Oma, sehat Oma?" tanya Syafa tanpa mendekati Oma Aning. Oma Aning hanya tersenyum mendengar pertanyaan Syafa. Syafa berjalan masuk ke dalam rumah setelah menyapa Oma,  "Oma, Mahes tinggal sebentar." Pamit Mahesa kepada Oma. Oma mengangguk menyetujui. Mahesa berjalan mengikuti Syafa dari belakang. Sayafa berjalan menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dan lantai dua yang terdiri dari dua kamar tidur. Satu kamar tidur utama, dan kamar satu lagi Mahes sengaja biarkan kosong untuk tempat anak mereka nanti.  Syafa membuka pintu kamar dan mendoronyanya masuk.  "Mahes, kan aku sudah bilang, aku tidak suka bau minyak kayu putih menyengat seperti itu!" Protes Syafa memperotes Oma Aning yang mengenakan minyak kayu putih di ruang tamu tadi.  "Tapi Oma Aning tinggal di sini, Syafa. Tidak berhak kita melarangnya untuk sekedar memakai minyak kayu putih, kan?" tanya Mahesa mendekati Syafa. Sayafa membuka kancing kemejanya satu persatu, dan mulai menanggalkan pakaian bagian atasnya,  "Kamu harus sabar ya sayang," Mahesa mengusap pundah Syafa yang nyaris tidak lagi berbusana. Syafa menatap Mahesan erat. Mahesa mendekatkan wajah ke istrinya itu,  Semakin dekat, Mahesa akhirnya berhasil mengecup bibir Syafa. Tidak lama, Syafa menarik kecupan Mahesa.  "Kenapa, Fa?" tanya Mahesa yang sedang berada dalam puncak dorongan kelaki-lakiannya, setelah hampir dua minggu ia di tolak oleh Syafa. "Aku buru-buru, Mahes. Nanti saja ya." Syafa mendorong Mahesa ke belakang. Syafa berjalan menjauh, dan masuk ke dalam kamar mandi. Mahesa harus kembali menahan keinginannya. Mahesa terdiam, berfikir apakah Syafa sudah tak ada lagi perasaan apapun dengan dirinya. Atau karena hal lain. Mahesa duduk di bibir tempat tidur, dan memukul tempat tidur itu keras.  "Apa sebenarnya kesalahanku? Sial!" Maki Mahesa. Ia tidak bisa marah kepada Syafa. Belum waktunya. Mahesa akan bersabar sampai Syafa benar-benar menginginkannya kembali.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD