Chapter 9 - Tanpa Sengaja

1519 Words
Mahesa menatap tubuh Syafa yang sudah terbalut anggun dengan gaun berwarna biru gelap. Syafa terlihat semakin matang dan anggun dengan balutan gaun itu. Tampaknya Syafa akan menghadiri undangan resmi malam ini. Mahesa sudah berusaha bertanya kemana Syafa akan pergi, namun lagi-kagi Mahesa hanya mendapatkan penolakan. Ia tidak tau lagi bagaimana ia harus menentukan sikap. "Kamu sebenarnya akan kemana, Fa?" Tanya Mahesa yang masih duduk di pinggir tempat tidur, belum melakukan apapun. Mahesa sedang mengendalikan emosinya, karena keinginannya tidak dipenuhi oleh Syafa malam ini. "Sudah dibilang, aku akan pergi bersama teman-teman arisanku. Malam malam." jawab Syafa. Mahesa mengangkat kedua alisnya. Ia tidak terlalu yakin akan jawaban itu. Teman arisan Syafa salah satunya ada Clarissa, istri dari sahabatnya. Mahesa sudah menanyakan tentang makan malam ini, namun suami Clarissa tidak membenarkan. Clarissa malam ini ada di rumah saja. "Aku pergi dulu, Hes. Kamu tidur duluan saja, tidak apa-apa." Syafa melangkahkan kaki keluar kamar. Mahesa tidak menjawab. Tanpa rasa berdosa Syafa sudah pergi meninggalkan Mahesa. Mahesa menghela nafas, ia melirik foto pernikahan yang beridiri di atas meja samping tempat tidur. Mahesa menutup bingkai foto itu. Ia tidak ingin menatap foto itu. Hatinya sakit. "Bagaimana kalau kamu selidiki saja?" Sebuah suara berkata di dalam hati Mahesa. Mahes terdiam, mempertimbangkan kata hatinya. Semenjak awal menikah, Mahesa tidak pernah menyimpan rasa curiga sedikitpun kepada Syafa, karena Mahesa menilai Syafa adalah wanita berpendidikan yang tidak akan menjatuhkan predikat itu dengan berbuat yang tidak semestinya dilakukan. Mahesa diam, melepaskan kaus kaki, dan membuka kancing kemeja bagian atasnya. Mahesa menyandarkan kepalanya di atas tumpukan bantal. Mahesa membuka ponsel yang sedari tadi tidak ia sentuh. Mahesa membuka galeri ponselnya, ia menekan salah satu foto yang ada di galeri ponselnya. Foto yang Mahesa ambil saat duduk menemani Iwa berbelanja. Mahesa mengambil foto gadis yang baru hitungan jam ia temui. Gadis itu sangat serius melakukan transaksi tawar menawar dengan penjual kemeja. "Anak aneh," Mahesa tersenyum ketika ia melihat Iwa gagal membeli kemeja yang sudah ia tawar sangat lama, setelah harga hampir mulai disepakati, Iwa meninggalkan toko itu dan melangkah pergi. Mahesa tidak pernah menyaksikan atau mengalami hal seperti itu. Sejak kecil, Mahesa selalu berbelnja di toko yang selalu sudah menempelkan harga di setiap item yang akan di jual. Mahesa menarik nafas dalam. Bisa-bisanya ia senyum-senyum sendiri menyaksikan foto orang asing. Entahlah, apa yang ada di pikiran Mahesa kali ini. Mungkin, Mahesa terlalu stres memikirkan sikap Syafa, atau mungkin Mahesa termasuk salah seorang lelaki yang kesepian dan haus akan kasih sayang. Entahlah, Mahesa hanya merasa tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali diam, dan menerima. Sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan lelaki yang sudah di kecewakan istri sendiri. *** Kriuk... Iwa memegangi perutnya. Jam masih menunjukkan angka delapan malam. Perut Iwa sudah berbunyi. Ia lupa, kalau terakhir kali ia makan tadi pagi. Hingga malam, Iwa belum ada lagi yang di makan. Iwa memejamkan mata, berusaha menghapus rasa lapar yang ia rasakan. Iwa sudah biasa menghadapi dan mengendalikan rasa lapar. Setelah tidur, besok pagi Iwa akan merasakan kenyang dan bisa menahan lapar lebih lama. Namun malam ini Iwa sangat gelisah, ia benar-benar merasa lapar. Iwa kembali mencoba tidur dan memejamkan mata, ia tidak boleh mengikuti rasa lapar itu. Uangnya harus lebih di hemat untuk membayar kos yang sudah menunggak selama empat bulan. Menunggak? Tunggu! Iwa membuka mata, dan bangkit dari tidurnya. Iwa duduk dengan kaki di luruskan. Ia menatap tas yang tergantung di samping lemarinya. Iwa langsung menyingkirkan selimut tipis yang hanya cukup menyelimuti kedua kakinya. Iwa langsung menuju tas kecil berwarna hijau muda itu. Iwa membelalakkan mata. Ia hampir melupakan hari ini. Iwa masih memiliki banyak uang sisa berbelanja dengan Mahesa tadi. Iwa meraih tumpukan uang berwarna merah itu, dan menyisakan beberapa uang saja. Sementara yang lain Iwa selipkan di bawah tumpukkan baju. Iwa sudah putuskan akan membeli nasi goreng di ujung gang depan. Iwa tidak sepantasnya menahan lapar, karena malam ini ia memiliki uang untuk membeli makanan. Setelah menyimpan uang, Iwa menyilangkan tas kecil itu dan keluar kamar. Iwa kembali mencoba pintu kamar kosnya, apakah sudah terkunci dengan baik atau belum. Setelah diyakini sudah terkunci, Iwa melangkahkan kaki pergi meninggalkan kosnya. Iwa berjalan cepat, rasanya hati Iwa sangat bahagia, ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Malam hari, berjalan, mencari makanan pengganjal perut. Biasanya, kompensasi dari rasa lapar yang Iwa rasakan adalah tidur. "Lo anak cewek yang tadi sore pulang dari dibawa Om-om, kan?" Tiba-tiba di hadapan Iwa sudah ada dua orang lelaki seumuran dengannya menghadang. "Kalian salah orang!" Jawab Iwa. Iwa memeluk tas miliknya. Iwa pernah mendengar tentang mereka. Mereka adalah anak-anak muda yang selalu menodong orang lewat untuk dimintai uang. "Haha, kami gak buta kali." jawab salh satu diantara kedua anak tersebut. Kedua lelaki iitu terus maju, Iwa melangkah mundur. Badan Iwa gemetar. Ia ingin mengurungkan niatnya membeli nasi goreng, tapi sudah terlambat. Dua lelaki itu tertawa puas, melihat ekspresi takut Iwa. Beberapa orang yang lewat berikap acuh, seperti tidak menyaksikan apapun. Padahal, Iwa sudah jelas menunjukkan ekspresi takut. "Lo mau kemana, hah?" "Lo mau janjian lagi dengan Om-om? Masih kurang yang tadi?"Celetik lelaki bertopi hitam. "Lo gak usah takut, kami baik kok." Iwa semakin erat memeluk tasnya. Lelaki yang tidak mengenakan topi sepertinya tau kalau ada sesuatu yang disembunyikan di dalam tas Iwa. "Ayo sayang, sama kita aja." Rayu lelaki bertopi. Iwa menelan ludah. Tukang nasi goreng mulai nampak dari tempat ia berdiri, tapi Iwa jelas tidak bisa melanjutkan hajatnya ingin membeli nasi goreng bahkan untuk pertama kalinya. Dua lelaki bergaya aneh itu membuat Iwa merasa kenyang. Nasi goreng yang ada di ujung gang harus ia miliki. "Itu, polisi!!!" teriak Iwa menunjuk sesuatu yang tidak ada. Lelaki itu langsung lari dan nyaris terjatuh. Setelah meyakini lelaki itu berhamburan pergi, Iwa berjalan cepat. "Sial! Perempuan itu menipu kita!" pekik lelaki bertopi yang menunjuk Iwa yang sudah melangkah agak jauh. Iwa membuka sendalnya, mengapitkan sendal itu ke jari Iwa. Tangan mengenakan sendal namanya. Tapi bagaimanapun itu, Iwa harus menyelamatkan diri dulu. Iwa berlari sekuat tenaga, di belakangnya sudah ada dua orang lelaki yamg ikut mengejar tapi seperti nya mereka tidak bisa menunggu terlalu lama. "Woi, tungguuu?" jerit lelaki itu. Iwa terus berlari tanpa memperdulikan siapapun yang melihat mereka seperti bermain kejar-kejaran. Iwa terus berlari, namun Iwa tidak melihat gundukan batu di hadapannya dan.. "Aduh.." Iwa memegangi dengkul nya yang sudah mengeluarkan darah dan terasa sangat pedih. Kedua lelaki itu berdiri mengelilingi Iwa yang terjatuh. "Aku miskin, mau apa kalian?" tanya Iwa gemetar. "Haha, kamu kira kami tidak tau, kalau tadi siang kamu pulang jalan dengan om?" teriak salah satu lelaki. Teriakan itu membuat beberapa orang si sekeliling menatap Iwa dengan tatapan menjijikkan. Iwa menggeleng, "Bukan, dia bos saya.." Iwa menjawab lagi. "Bos apa? Bos birahi?" hahaha.." Tawa keduanya pecah. Iwa masih duduk, ia memundurkan duduknya. Terus hingga ke belakang. Iwa terus menggeleng, sambil tetap memeluk tas nya erat. Iwa melihat sekeliling. Semua orang malam ini terlihat tidak perduli. Kaki lelaki bertopi diangkat, dan ia menendangkan kakinya dan mendarat tepat di pundak Iwa. Iwa meringis karena merasakan nyeri. Ketika laki sebelahnya ingin ikut menendang, terdengat sebuah suara mengurungkan niatnya. "Bocah!" sebuah suara terdengar lantang. Iwa mencari sumber suara. "Untuk apa kamu siksa anak orang? Dia ini perempuan miskin, bukan?" tanya Mahesa yang sudah ada di belakang kedua lelaki itu. "Siapa kamu?" "Saya om-om gadis ini. Saya bisa dengan mudah membuatmu masuk penjara. Percaya kamu?" tanya Mahesa gagah. Kedua lelaki itu terlihat berbisik satu sama lain. "Mundur, atau besok malam kalian tidur di dalam bui." Tawar Mahesa. Kedua lelaki itu mundur, mundur beberapa langkah sebelum kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Iwa yang masih memegangi pundaknya yang nyeri. Mahesa berjalan mendekati Iwa, ia menjulurkan tangannya ke arah Iwa. Iwa menatap Mahesa, ia melihat tangan Mahesa, berfikir sejenak untuk menyambut uluran tangan atasannya itu. Mahesa terus menjulurkan tangannya, Iwa meraih tangan Mahesa lalu beranjak bangun. Iwa kembali memegangi pundaknya dengan tangan kanan. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Mahesa pelan. "Keseleo.." jawab Iwa meringis kesakitan, ketika tangannya sulit bergerak. "Kita ke rumah sakit." ucap Mahesa prihatin melihat pundak Iwa. Iwa menggeleng. "Tidak mau." Iwa menolak. "Kenapa?" tanya Mahesa bingung. "Besok aku akan ke tukang urut saja." jawab Iwa menjelaskan. Mahesa menggeleng kan kepala. "Primitif sekali." Mahesa menggeleng kan kepalanya dan merangkul Iwa, memaksa Iwa ikut dengannya. Iwa kaku dengan tindakan yang diberikan Mahesa. "Ayo, ikut aku saja." Mahesa menggiring Iwa secara perlahan untuk masuk ke dalam mobil. Iwa mengikuti. Di dalam mobil Iwa menunduk, malu. Lagi-lagi Iwa membuat Mahesa ikut campur dalam urusannya. "Mau kemana malam-malam?" tanya Mahesa. "Beli nasi goreng." ucap Iwa pelan. Mahesa mengangguk. "Kita ke rumah sakit dulu, setelah itu kita beli nasi goreng." Ucap Mahesa. Iwa hanya bisa menunduk. Iwa ingin sekali menolak kebaikan Mahesa, namun ia tidak bisa. Mahesa sesekali memalingkan wajahnya ke Iwa. Suasana mobil dengan minim penerangan, entah kenapa wajah kusam Iwa terlihat terang. "Bapak sendiri, kenapa malam-malam keluar?" tanya Iwa. "Ingin menyusul istriku." jawab Mahesa singkat. Mata Iwa membulat mendengar jawaban santai Mahesa. "Aduh, Pak. Apa kata Ibu kalau sampai lihat aku duduk di depan bersama Bapak seperti ini?" tanya Iwa panik. Mahesa menggeleng cepat. "Dia tidak ingin aku susul. Aku hanya ingin memastikan, dia baik-baik saja." Ucap Mahesa pelan. Iwa menangkap ada sesuatu yang terjadi antara Mahesa dan istrinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD