Iwa memajukan wajahnya, mendekat ke kaca jendela dan menengok keluar, menatap gedung bertingkat tinggi dipenuhi banyak lampu. Iwa menelan ludah, karena di hadapannya sebuah rumah sakit internasional, terkenal dan pastinya sangat mahal. Iwa melirik ke arah Mahesa yang sedang membuka seat belt nya, meraih ponsel sebentar, lalu membuka pintu. Iwa kembali menatap gedung bertingkat itu.
"Kenapa gak turun?" tanya Mahesa berhenti membuka pintu mobil dan menatap Iwa yang bahkan membuka lilitan sabuk pengamannya saja belum.
"Lepas sabuk pengaman mu, lalu turun." ucap Mahesa. Iwa mengangguk, lalu mengikuti perintah Mahesa. Tidak jauh dari pintu mobil Mahesa sudah berdiri seorang wanita berpakaian putih membawa kursi roda. Iwa berjalan pincang memegangi kakinya yang terasa nyeri.
"Naik." perintah Mahesa, Iwa mengerutkan alis menatap Mahesa,
"Ke mobil lagi?" tanya Iwa menunjuk mobil Mahesa yang sudah terkunci.
"Astaga.." Mahes menggeleng gemas mendengar pertanyaan Iwa, "ke kursi roda, Iwa. Kamu kan pasiennya.." jelas Mahesa. Iwa menunjuk wajahnya sendiri, lalu menunduk melihat dengkulnya yang masih terasa pedih, Iwa baru sadar bahwa kursi roda itu untuknya. Sedikit berlebihan, luka yang bisa ia obati sendiri dengan antiseptik, di bawa ke rumah sakit sebesar ini dan diperlakukan seperti pasien dengan tingkat keparahan tinggi.
Iwa menuruti perintah Mahesa, sebelum naik ke kursi roda, ia tersenyum sambil mengangguk ke arah perawat yang mendorong kursi rodanya. Mahesa menggeleng kan kepala melihat tingkah calon asistennya itu, Mahesa mengikuti dari belakang, sementara Iwa di dorong ke ruang UGD. Iwa melihat sekeliling ruang gawat darurat itu, besar sekali, Iwa merasa sedang berada di luar negeri. Lampu terang benderang, sejuk, wangi dengan perawat dan dokter yang sangat ramah. Fia diminta tidur setengah duduk, sementara kakinya bersihkan dan diberikan obat. Fia menggigit bibirnya ketika sebuah cairan disiramkan di atas luka lecet nya,
"Aduh, pedih sekali. Aduh.." Iwa meringis kembali saat luka di tempat lain diberikan cairan yang sama,
"Tahan sedikit ya," pinta perawatnya ramah. Iwa meniup-niupkan lukanya berharap rasa perih itu dapat berkurang.
Setelah menutup luka, perawat perempuan berbaju putih itu membereskan peralatan bekas tindakan.
"Verban ini bisa dibuka saat sudah sampai rumah. Kalau bisa jangan terlalu sering di tutup agar lukanya tidak terus basah." seorang dokter muda menerangkan. Iwa mengangguk mengerti.
"Baik, Mas, hm, maksudku, Mas dokter." ucap Mahesa.
Mahesa menengadahkan tangannya. Iwa yang sedang berusaha turun dari tempat tidur tindakan berhenti melihat Mahesa menjulurkan tangan kanannya. Iwa melihat sekeliling, tidak ada siapapun, berarti Mahesa tertuju kepadanya. Iwa meraih juluran tangan Mahesa, lalu menggerakkan ke atas dan kebawah. Mahesa yang semula fokus ke ponselnya, mengarahkan pandangan matanya ke Iwa yang sedang menggoyangkan tangan Mahesa seolah sedang bersalaman.
"Aku ingin membantumu turun, bukan mengajakmu berjabat tangan Iwaa.."
Iwa membulatkan mata terkejut mendengar protes yang diajukan Mahesa, tidak lama Iwa mengembangkan senyum kakunya,
"Oh, i-iya, Pak. Maaf." Iwa melanjutkan gerakkan badannya turun. Mahesa mendorong kursi roda Iwa, menuju sebuah meja. Di meja itu terlihat Mahesa mengeluarkan dompet dan sebuah kartu. Setelah itu Mahesa menerima bungkusan. Iwa langsung beralih menundukkan kepala, mengalihkan pandangan ke bawah, ia tidak mau tertangkap sedang mengamati atasannya itu.
"Ini obatmu, diminum. Besok, kamu harus mulai bekerja." Iwa mengangguk.
"Aku, aku sudah bisa berjalan, Pak. Tidak perlu pakai alat ini." Iwa beranjak bangun dari kursi roda. Walaupun lututnya masih terasa nyeri, tapi ia tahan karena tidak mau terlihat lemah di hadapan majikan barunya itu. Mahesa mengamati Iwa,
"Ok. Kita kembali ke mobil." Mahesa berjalan mendahului Iwa yang masih jalan terpincang karena luka lecet di kakinya tepat berada di lutut.
Mahesa memasuki mobilnya terlebih dahulu, Iwa sedikit berlari agar ia cepat menyusul Mahesa. Iwa membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil Mahesa masih mengamati ponselnya, Mahesa seperti sedang mengamati sebuah peta, sesekali Mahesa menggeser peta digital itu, memperbesar, lalu kembali mengecilkannya. Ada titik merah yang berjalan, Mahesa mengamatinya.
"Kakimu masih sakit?" tanya Mahesa. Iwa melihat kakinya, lalu menggeleng.
"Kamu besok libur saja," ucap Mahesa sambil menggerakkan mobilnya mundur, Iwa menatap Mahesa heran.
"Kenapa, Pak? Aku sudah sehat. Aku tidak apa-apa, sungguh." ucap Iwa meyakinkan. Mahesa meletakkan ponselnya pada sebuah alat yang tertempel di dekat kemudi mobilnya. Mahesa tidak menjawab, dan melajukan mobil. Mahesa berhenti ke sebuah mini market, dan masuk ke jalur delivery order. Mahesa perlahan mengikuti gerak mobil di depannya, tatapannya masih terus menatap peta, kali ini titik merah di ponselnya berhenti. Mahesa terlihat tidak tenang. Iwa ingin bertanya, tapi ia mengurungkan niatnya. Terlalu lancang untuk seorang asisten rumah tangga bertanya masalah majikannya.
Mahesa memajukan mobilnya, setelah mobil di hadapan Mahesa berjalan. Mahesa berhenti di samping sebuah jendela, ia memesan beberapa jenis menu. Setelah itu Mahesa mengeluarkan sebuah kartu yang sama seperti yang ia berikan kepada petugas di rumah sakit. Iwa mengamati tingkah Mahesa, mudah saja bagi Mahesa membayar tanpa menggunakan uang. Iwa tidak terlalu mengerti kartu ajaib apa uang Mahesa gunakan. Mahesa kembali menjalankan mobil, pada pemberhentian selanjutnya, ia meraih satu bungkus pesanan yang ia pesan. Mahesa meletakkan bungkusan itu ke atas paha Iwa,
"Makan ini, lalu, minum obatmu.."
ucap Mahesa.
"Aku bisa memakannya di rumah, Pak." tolak Iwa halus,
"Kita malam ini tidak pulang. Kita akan ke puncak. Besok, kamu bisa libur." ucap Mahesa sambil terus melajukan kemudinya. Iwa menatap majikannya itu terkejut.
"Puncak? Mau apa dia?? Apa benar, Pak Mahesa ini seorang om-om gatal yang hanya ingin memanfaatkan tubuh
aku?"
Bisik Iwa dalam hati. Iwa menyilangkan kedua tangannya ke d**a, memejamkan mata, lalu menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidaaaak!" Iwa berteriak memejamkan mata sambil menggelengkan kepala kencang.
"Ada apa? Kamu membuatku terkejut!" Mahesa meminggirkan mobilnya seraya menatap Iwa heran
Iwa masih menyilangkan tangannya, seperti sedang memeluk diri sendiri.
"Kenapa?" Mahesa kembali bertanya,
"Pak, aku orang baik-baik. Perempuan baik-baik. Aku gak mau.." Ucap Iwa bergetar.
Mahesa mendesah, meletakkan keningnya ke setir.
"Aku mengajakmu ke puncak, karena ingin menyelidiki seseorang. Kita tidak menyewa hotel, atau apapun! INi tugas pertama dariku, mengerti?" jelas Mahesa gemas.
Iwa menurunkan tangannya.
"Dengar Iwa, aku juga lelaki baik-baik. Aku direktur dan pemilik sebuah perusahaan. Aku anak tunggal dari pengusaha ternama Ibu kota! Tidak mungkin aku menjebak perempuan sepertimu!" bentak Mahesa. Iwa mengedipkan matanya, lalu menyeringai sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Oh, i-iya, Pak. Maaf.." Iwa merasa bersalah. Bagaimanapun Mahesa tetap sudah sangat baik terhadap dirinya. Iwa tidak bisa menolak karena ini adalah tugas pertamanya sebagai asistem Mahesa.
"Sudah menger?" tanya Mahesa.
Iwa menjawab dengan anggukan, "bisa lanjut?" Mahesa kembali bertanya. Lagi-lagi, Iwa hanya menjawab dengan mengangguk. Iwa menggelengkan kepala, heran dengan tingkah Iwa yang terlalu lugu. Iwa membuka bungkusan dan meraih satu kotak nasi beserta lauk dan sayur.
"Makan, Pak." Iwa menawari Mahesa.
"Ya. Aku harus fokus. Nanti sasaran lepas ini." Mahesa memperhatikan peta di ponselnya.
Iwa mengangguk sambil mengunyah makanan yang ia makan.
Iwa memakan habis makanan yang Mahesa belikan, Iwa tidak pernah memakan makanan seenak ini. Baru kali ini seumur hidup.
Tidak butuh lama, Iwa sudah menghabiskan makanan, setelah itu ia tutup dengan minum air putih.
"Setelah itu, minum obatnya." perintah Mahesa.
"Nanti Pak," jawab Iwa,
"Kenapa? Nanti kamu lupa?" tanya Mahesa, menatap Iwa yang sedang mengemasi bekas makannya,
"Iwa pernah baca.. Kalau minum obat paling tidak harus menunggu 30 menit setelah makan. Karena ada beberapa obat yang bisa menghambat kerja obat. Jadi.."
"Oke. Oke." belum selesai Iwa menjelaskan Mahesa sudah memotong pembicaraan Iwa. Iwa menghentikan perkataannya, mengerti bahwa majikannya itu sedang tidak ingin di ajak bicara.
Iwa kembali diam, sepanjang perjalanan mata Iwa tidak lepas dari lampu-lampu di pinggir jalan, malam semakin larut, mata Iwa sudah nyaris tertutup. Perut yang kenyang, AC mobil yang dingin, ditambah lagi tidak ada suara dan tidak diperbolehkan bersuara. Mahesa terus melajukan mobilnya, mata Iwa begitu berat, sampai akhirnya, ia tidak tahan dan menyandarkan kepalanya, seraya menutup mata. Iwa tertidur.
***