Chapter 5 - Prestasi

1134 Words
Iwa menatap wajahnya di potongan cermin bekas spion mobil, cermin itu terselip di selah lemari kayu usang yang sudah koyak. Iwa tersenyum, bukan karena bangga dengan wajah kusamnya, tapi karena mengagumi dirinya sendiri, ia tetap cantik walaupun sedang menghadapi kehidupannya yang pahit. Sesekali Iwa menyeka rambut lurus dan tebalnya, rambut yang tidak pernah bermasalah walaupun hanya dibilas dengan shampo sachet warung, lima ratus rupiah dapat dua shampo. Iwa menepuk-nepuk bibirnya, seraya mengecap-ecapkan bibirnya setelah mengoleskan lipbalm yang pernah ia beli saat masih sekolah dulu, itu berarti sudah tiga tahun lalu. Lipbalm ini masih ada setengah, karena Iwa hanya menggunakan nya di saat spesial. Setelah itu Iwa mengusap kedua telapak tangan nya yang dipenuhi bedak ke atas wajah. Bedak bayi ini selalu ia pakai, karena Iwa tidak bisa bila tidur tidak menggunakan bedak bayi, karena biang keringat akan datang dan membuat tidurnya tidak nyenyak bila tidak dipakai. "Selamat datang masa depan!" Iwa tersenyum, bangga dengan wajah. Tok.. Tok.. Iwa mengalihkan pandangannya, lalu menggigit bibirnya. Iwa buru-buru merapihkan bedak bayi yang masih cemong , "Iwa! Cepat bayar uang kos tak seberapamu itu!" Suara perempuan berlogat Batak terdengar galak. Setelah bulan kemarin Iwa berhasil membuat perempuan pemilik kosnya itu menangis tersedu mendengar kisah pelik kehidupannya, dan berhasil mengalihkan maksud kedatangan nya untuk menagih hutang tunggakan uang kos-kosan, hari ini, Iwa belum mengatur strategi juga alasan yang tepat untuk menghadapi Kak Barbara. Iwa berlari menuju knop pintu yang sudah bergerak-gerak karena Barbara tidak sabar memanggil Iwa agar keluar dari rumah. "Iwa, alasan apa lagi yang ko mau buat?" tanya Barbara membelalakkan mata, kedua tangannya menyangga ke pinggang. Iwa menyeringai, berusaha membuat emosi Barbara stabil, Barbara sebenarnya adalah perempuan baik, ia selalu ramah terutama kepada Iwa. Karena Iwa pernah memberi pelajaran kepada ibu-ibu rusun sebelah saat menggosipkan Barbara karena ia belum menikah di usia nyaris berkepala empat. Barbara berubah menjadi aosok galak dan mengerikan setiap awal bulan, yaitu waktu jatuh tempo pembayaran kos Iwa. "Ini sudah bulan ke tiga Iwa! Satu bulan ini, ku tengok tak pernah setor harian, mana uangmu!" teriak Barbara. Iwa menelan ludah. Iwa satu bulan ini memang apes, dia jarang mendapatkan 'pasien', sehingga tidak cukup setor harian ke Barbara sebagai cicilan untuk meringankan beban bayar kos perbulannya. "Kak, masuk dulu yuk!" Iwa menarik tangan Barbara. Barbara duduk di lantai beralaskan tikar usang miliknya yang disediakan setiap menyewa kamar. Barbara menarik tas kotak yang ia jinjing ke depan, menutupi perut buncitnya yang semakin besar saat ia duduk menyilakan kaki. "Begini, Kak. Iwa ada tawaran pekerjaan baru, hm, dijamin ini bisa membuat roda perekonomian kehidupan Iwa naik!" Ucap Iwa serius. Wajah Barbara mulai mengendur, Barbara memang sebenarnya sayang dengan Iwa, ia tidak akan memberikan ampun kepada penghuni kos yang menunggak hingga berbulan-bulan. Namun Iwa berhasil membuat kondisi emosinya stabil. "Jadi apa itu?" tanya Barbara tidak sabar, "Asisten rumah tangga!" bisik Iwa oenuh semangat dengan tangan terkepal penuh kebanggaan. Barbara diam, berfikir sejenak. "Ah! Sama saja lah itu! Masih jadi kaum fakir juga nya kau!" Terlihat Barbara tidak antusias. "Dengar dulu Kak! Ini Iwa bekerja di rumah Bapak ini! Sebentar.." Iwa menghentikan omongannya dan berdiri meraih kartu nama di selipan saku celananya kemarin, tergantung di samping lemari. Iwa kembali duduk dan menyuguhkan kartu nama itu. "Lihat, dari namanya saja dia sudah terlihat seperti bos besar, bukan?" Iwa antusias. Barbara mengamati, "Iwa akan bekerja di sana kak! Gaji Iwa pasti besar!" pekik Iwa. "Tunggu!" Kak Barbara kembali dengan wajah kerasnya. Iwa menelan ludah, usaha Iwa sepertinya tidak berbuah manis, Barbara masih saja emosi. "Kalau kau bekerja di rumah orang kaya ini, berarti kamu akan pindah kos dong!" Barbara mengamati, menatap ke kartu nama yang ia pegang, dan berbalik menatap ke arah Iwa dengan tatapan tajam. "Eh, ti-tidak, Kak! Bukan begitu!" Iwa menepuk perlahan lengan besar Barbara. Iwa berdiri san membuka lemari, dari dalam lemari Iwa meraih sebuah kotak, "Ini.." Iwa menyodorkannya ke Barbara, "Apa ini?" tanya Barbara bingung, "Kakak tau kan, ini adalah kotak yang isinya semua kenangan Iwa bersama Ibu Iwa dulu. Hanya ini harta Iwa yang selalu Iwa jaga.." Ucap Iwa pelan, "Lalu?" Barbara tidak sabaran menunggu kelanjutan penjelasan Iwa. "Kalaupun *wa diam di rumah orang kaya ini, satu bulan ini Iwa titipkan kamar dan kotak ini sebagai jaminan, Iwa tidak akan pergi. Bulan depan, setelah gajian, Iwa akan datang membayar kos, dan mengambil barang-barang Iwa.." Iwa berkata serius. "Tidak!" Barbara melotot, "berharga apa kotak lusuh kau ini? Tidak bisa! Kecuali, di dalam kotak mu ini ada emas dan mutiara, lain lagi cerita!" bentak Barbara. "Kak, kakak percaya kan dengan Iwa? Iwa bukan pembohong kak. Kakak juga tau kan, kalau di dalam kotak ini ada foto-foto Ibu Iwa, ada gelang tali pemberian Ibu Iwa. Kotak ini sangat berharga! Kakak bisa buang atau bakar bila Iwa tidak datang satu bulan lagi untuk membayar sisa tunggakan uang kos." Iwa meyakinkan, di pelupuk matanya sudah berlinang air mata yang dalam satu kedipan lagi akan tumpah. Tangan kasar Iwa menyentuh lengan Barbara. "Iwa mohon kak.." Iwa mengeluarkan jurus memelas yang ia miliki. Air mata Iwa menetes. Iwa bangga dengan kemampuan aktingnya. Seharusnya Iwa tidak menjadi kuli angkut di pasar becek tapi jadi aktris profesional. Barbara menarik nafas, lalu menghembuskan nya. Kalau sudah begini berarti sebentar lagi ia akan mengambil keputusan. "Baiklah! Aku tunggu datu bulan lagi! Kalau tidak, kotak ini akan aku jadikan abu!" Barbara mengangkat dan menunjukkan kotak itu Iwa mengangguk-angguk kan kepala, "Maafkan Iwa, Bu. Hanya foto-foto Ibu yang bisa membuat Iwa melanjutkan hidup. Doakan Iwa!" bisik Iwa dalam hati lalu tersenyum memeluk Barbara. *** Iwa mengikuti langkah seorang wanita yang akan mengantarkan ia menuju ruangan Mahesa. d**a Iwa berdetak, ia terpaksa berbohong saat perempuan cantik, semampai menggunakan rok mini itu bertanya apakah Iwa sudah ada janji bertemu Mahesa. Iwa menjawab, kalau ia sudah janjian melalui telepon Iwa sering menonton di FTV saat ia bekerja di warung makan dulu, kalau orang kaya tidak janjian dulu, ia akan sulit di temui. "Mbak tunggu di sini dulu, saya akan masuk menemui Pak Mahesa untuk memastikan," pinta perempuan itu. Iwa mengangguk. "Gawat! Bisa ketahuan kalau aku berbohong!" bisik Iwa dalam hati. "Dengan mbak siapa namanya?" tanyanya lagi, "I-Iwa." Jawab Iwa terbata. "Baim mbak Iwa, sebentar." Perempuan itu berbalik badan dan terlihat masuk ke dalam ruangan. Iwa menunggu dan duduk di sebuah sofa. Iwa menatap sekeliling. Kantornya saja sudah sangat mewah, Iwa tidak bisa membayangkan bagaimana rumahnya. Iwa berdoa semoga Mahesa mau bertemu dengannya dulu. Tidak lama terlihat perempuan tadi keluar dari pintu kaca sebagai penyekat ruang tunggu dan sebuah ruangan di dalamnya. "Silahkan masuk Mbak Iwa. Pak Mahesa menunggu anda di dalam." "Yes! Iwa memang beruntung!" Iwa kembali memekik dalam hati. Mahesa sudah memberikannya kesempatan bertemu adalah prestasi tertinggi keduanya setelah lulus dengan nilai terbaik saat ujian akhir SMA kemarin. Iwa berdiri, merapihkan kausnya, tidak lupa rambut lurusnya yang berayun. Iwa sudah siap, melamar pekerjaan seperti yang ditawarkan Oma Aning kemarin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD