Iwa melambaikan tangan ke mobil berwarna hitam yang sudah melaju menjauh dari tempatnya berdiri. Mobil mewah itu biasanya hanya Iwa lihat di sinetron atau ftv yang disiarkan pagi hari, Iwa menontonnya di warung makan tempat bekerjanya dulu. Iwa bisa menyimpulkan kalau oma Aning memang benar orang kaya, terlihat dari mobil dengan supir pribadi yang ia miliki.
Iwa menggaruk punggung kaki kirinya yang gatal dengan jempol kaki kanannya. Tanah lumpur mengering membuat kakinya gatal. Iwa menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya perlahan, menggenggam erat kertas persegi panjang kecil yang bertuliskan sebuah nama,
"Dari namanya saja sudah keren. Pasti sultan banget nih orang!" ucap Iwa pelan. Iwa membalikkan badan, ia memutuskan untuk kembali pulang ke kamar kosnya, mempersiapkan diri agar siap menemui cucu oma Aning besok. Belum apa-apa d**a Iwa berdebar menghadapi besok ia akan memberanikan diri untuk melamar pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Bagi Iwa, ini adalah peningkatan dari karirnya sebelum nya, yang hanya kuli angkut di pasar.
***
Mahes mencium tengkuk Syafa, tapi tatapan Syafa masih tertuju ke monitor. Jemari lentik Syafa masih menekan keyboard, sesekali ia menghapus hasil ketikannya, Mahes belum menyerah membuat istrinya itu menghentikan aktivitas yang harusnya ia kerjakan di kantor. Syafa menggeliat geli karena sentuhan bibir Mahes.
"Mahes, aku masih sibuk. Lagipula ini masih sore," hardik Syafa risih,
"Hm," Mahes tidak perduli, ia awalnya memang hanya ingin membangun suasana berbeda di kamar, tapi lama kelamaan ia merasakan keinginan berbeda. Sudah hampir sepekan Syafa selalu tidur lebih awal membuat Mahes harus bersabar menahan keinginan duniawinya. Mahes semakin menggila, tangan kanannya sudah menyusup di balik blouse putih Syafa tanpa melepaskan kecupan basah di tengkuk Syafa.
"Mahes, sudah dong!" Syafa mendorong tubuh Mahes hingga nyaris terhempas. Mahes mengusap bibirnya, dan menatap Syafa sinis.
"Kamu memang tidak pengertian, Mahes! Aku besok akan kedatangan tamu penting dari Malaysia." gerutu Syafa sembari melipat notebook , "kamu harus tau betapa pentingnya mereka untuk perusahaan ku." Syafa memasukkan benda pipih itu ke dalam tas dan menjinjing nya menjauh dari Mahes yang masih berdiri mematung.
Syafa berjalan keluar kamar, Mahes duduk di kursi kerja yang semula digunakan Syafa untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Dada Mahes sesak, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Mahes akan sangat malu bila ia berpisah dengan Syafa, oma Aning akan meremehkan pilihan yang dirinya pilih.
Drrrt.. Ponselnya berdering beberapa kali dari atas meja. Mahes meraih ponsel itu lunglai. Di layar terdapat nama yang ia kenal, seseorang yang selalu mengerti keadaannya,
"Halo, Oma.." ucap Mahes malas,
"Mahes, kamu masih butuh asisten rumah tangga, kan?" tanya Oma. Mahes menghembuskan nafas mendengar pertanyaan oma.
"Ya, Oma. Santo tidak bisa memasak. Ia juga tidak becus membersihkan rumah.." jawab Mahes menyebutkan nama tukang kebun yang sementara ini merangkap menjadi asisten rumah tangga selama ia belum menemukan pengganti.
"Tentu saja, kalau merawat bunga, dia ahlinya," oma Aning menjawab, "tadi Oma sudah mendapatkan seseorang, seorang gadis untuk bekerja di rumahmu," sambung oma mengabarkan.
"Ya Oma, terimakasih.." Mahesa menjawab pelan.
"Kamu sakit?" tanya Oma penuh selidik. Dalam hati Mahesa membenarkan, ia memang sedang merasakan sakit. Sakit yang teramat.
"Tidak, Ma. Mahes hanya mengantuk." Kilah Mahes.
"Oh, ya sudah."
Oma langsung mematikan sambungan telepon. Mahes membawa ponselnya menuju tempat tidur, dengan malas Mahesa merebahkan kepalanya di atas bantal. Memejamkan mata berusaha melupakan kejadian memalukan yang tidak seharusnya terjadi antara dirinya dan Syafa.
Mahesa membuka matanya, lalu meraih ponsel yang terselip di bawah bantal. Mahesa menyentuh sebuah kontak yang ada di ponselnya. Nada sambung tidak lama berubah menjadi sebuah suara dsri sebrang,
"Ada waktu gak? Gue lagi pusing." tanya Mahesa.
"Istri gue lagi ada dinas malam. Gimana, gimana?" jawab Pio. Pio sudah hafal kalau suara Mahesa sudah berat seperti itu.
"Gue tunggu di basement." Begitu juga dengan Mahesa, ia sudah tau kalau istrinya sedang jaga malam Pio akan bebas pulang jam berapapun. Dokter Clarissa hanya percaya Pio berteman dengan Mahesa. Apapun yang mereka lakukan, Clarissa akan percaya kalau Pio tidak akan melakukan hal konyol bersama Mahesa.
"Ok."
***
Mahesa mengetuk-ngetuk meja marmer di hadapannya. Mahesa sudah menghabiskan nyaris tiga gelas minuman berwarna coklat itu. Minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi itu, mampu membuat pikirannya tenang.
Tidak lama pintu terbuka, Pio masuk ruangan yang sengaja Mahesa rancang untuk tempatnya melepas penat. Di dalamnya ada berbagai macam jenis minuman, dari yang murah hingga yang bisa membeli sebuah mobil hanya dengan satu botol minuman.
Pio langsung duduk di kursi bar di samping Mahesa. Mahesa menyuguhkan gelas kecil, Pio menarik botol kaca dan menuangkan isinya memenuhi gelas itu.
Pio meneguknya hingga akhir, sambil menggelengkan kepalanya menahan sensasi minuman yang masuk ke dalam perutnya. Kerongkongannya terasa panas,
"Lo gila? Ini alkoholnya tinggi, Hes." Pio menggeleng-geleng melihat isi botol itu nyaris habis sebelum ia datang.
"Ada apa lagi?" tanya Pio lagi,
"Syafa." jawab Mahesa yang kesadaran nya sudah dikuasai efek minuman yang ia teguk.
"Masalah lo sebelum nikah, lo pusing karena Oma Aning selalu mendesak lo untuk menikah, setelah menikah, lo selalu pusing karena Syafa," Pio menggelengkan kepala heran dengan sahabatnya sejak sekolah menengah pertama itu.
"Apa Clarissa pernah menolak ajakan lo?" tanya Mahesa lemas,
"Ajakan? Ajakan, un.. tuk..?" Pio bertanya, merasa kurang yakin dengan pertanyaan Mahesa. Mahesa mengangguk, Pio sepertinya akan mengerti dengan cepat.
"Gue dan Clarissa selalu melakukan nya selama dia tidak ada waktu dinas." jawab Pio ringan, "Clarissa akan tetap melayani gue walaupun dia lelah."
Jawaban Pio semakin membuat Mahesa merasa tidak berharga.
"Hahaha!" Tawa Pio pecah, ketika melihat ekspresi Mahesa, ditambah dengan pertanyaan mengenai hal sensitif untuk pasangan suami istri yang masih terbilang baru itu.
"Sori, sori!" Piyo berusaha menghentikan tawanya, melihat Mahesa menganggap itu hal yang serius.
"Tapi, gue juga liat-liat waktu, Bro. Gue harus tau dulu kapan bini gue mau, atau gak. Kalau gue ngajak dia saat dia habis dinas dua puluh empat jam, ya gue harus terima kalau dia bakal nolak gue."
Pio menjelaskan. Mahesa menatap kosong minuman di hadapannya. Mungkin Mahesa. memang salah memilih waktu. Mahesa terlalu cemburu dengan waktu bekerja Syafa lebih banyak dibandingkan bersamanya.
"Bro, perempuan juga butuh waktu. Menurut buku yang gue baca, wanita karir lebih kaku di ranjang. Mereka akan sulit untuk b*******h karena lelah yang mereka rasakan saat bekerja." Pio memberikan komentar.
Mahesa terdiam. Pio ada benarnya, Mahesa memang merasa egois. Ia bahkan tidak bertanya sebelumnya, apakah Syafa sedang senggang, atau tidak. Lagi-lagi Mahesa tidak mendapat pembelaan, Mahesa kembali merasa bersalah.
"Clarissa dan Syafa nyaris sama. Mereka wanita yang mandiri. Lo harus memahami karir mereka, dan menempatkan semua keadaan sesuai pekerjaan mereka."
Mahesa mengangguk-angguk, sambil kemudian meneguk sisa air di gelas ketiga.
Mahesa sudah memutuskan untuk meminta maaf kepada Syafa.
***