bab 12

1244 Words
"Kamu tidak apa-apa?" Jonathan mengulang pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Dan Maira masih tetap menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Memar seperti ini kamu bilang nggak apa-apa." Jonathan kesal. "Ayo! Kita ke rumah sakit sekarang." Jonathan menarik satu tangan Maira. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit memar, diobati salep saja pasti sembuh." Maira menahan langkah dan tangannya dari genggaman tangan Jonathan. "Aku baik-baik saja." Maira kembali meyakinkan. Jonathan menatap Maira lantas menghela lemah. "Kamu selalu saja bilang begitu." Maira meringis pelan dan akhirnya mereka tidak jadi ke rumah sakit. Jonathan merapikan beberapa kantong belanjaan dan membawanya ke dalam Mobil. Jonathan tidak membiarkan Maira melakukan apapun, selain mengikutinya menuju mobil. Bahkan untuk mengangkat barang belanjaan yang sangat ringan pun, Jonathan tidak mengizinkan. Selama perjalanan tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Bahkan suara musik pun dibiarkan mati oleh Jonathan. Maira melirik ke arah Jonathan dimana lelaki itu tengah fokus memegang kemudi. Mungkin Jonathan masih kesal karena Maira menolak ajakannya pergi ke rumah sakit. Maira pun berinisiatif mencairkan suasana. "Mau? Katanya enak dan bisa bikin mood seseorang membaik." Maira menawarkan sebungkus permen yang sempat dibelinya tadi. Jonathan hanya menoleh sekilas, lalu menggumam pelan. Maira tidak bisa mendengar dengan jelas, tapi diyakini sebagai penolakan. "Coba dulu," Maira membuka satu bungkus permen dan menyodorkannya pada Jonathan. Awalnya Jonathan menolak, tapi Maira tetap memaksa hingga lelaki itu pun akhirnya membuka mulut. "Rasanya unik. Manis dan," "Asem banget!" Keluh Jonathan, bahkan lelaki itu sampai mringis akibat rasa asam dari permen. "Naikin mood apanya!" Keluh Jonathan. "Karena permennya udah asem, wajah kamu jadi makin asem." Balas Maira. Jonathan menoleh dengan tatapan kesal, tapi tidak berlangsung lama karena lelaki itu segera tersenyum. "Terima kasih untuk permen super asemnya. Setidaknya suasana hatiku sedikit membaik." "Syukurlah." Perlahan suasana mulai mencair, bahkan Jonathan sempat menanyakan kembali kondisi kaki Maira. "Tunggu di dalam rumah, jangan membantah. Oke!" Perintah Jonathan saat mereka sampai di depan pintu gerbang rumah. ,"Oke. Aku akan diam dan menunggu saja." Maira tidak mau berdebat, ia pun berjalan dengan tertatih dan benar-benar menunggu Jonathan di depan pintu masuk. Sementara lelaki itu memasukan beberapa barang, Maira sempat melihat Desi melambaikan tangannya dari arah seberang. Sepertinya wanita itu baru saja pulang dari suatu tempat bersama seorang lainnya. Maira tidak tau Desi tinggal dengan siapa, sebab beberapa hari lalu Maira sempat melihat Desi keluar bersama seorang lelaki. Mungkin saja itu suaminya, tapi Desi tidak pernah cerita bahwa ia sudah memiliki keluarga. "Kalian saling kenal?" Tanya Jonathan yang juga ikut menoleh ke arah Desi. "Iya. Aku pernah cerita padamu tentangnya, da Desi." Jelas Maira. "Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya." "Mungkin baru pindah." "Mungkin." Jonathan selesai mengangkut satu persatu barang belanjaan dan menaruhnya di dapur. Maira mengikuti dari belakang. "Jangan terlalu dekat dengannya. Bagaimanapun juga dia orang asing untuk kita." Maira tidak langsung menjawab, sebab ia justru berharap Jonathan memberinya kebebasan berteman dengan siapapun. "Maira." Panggil Jonathan, "Iya. Aku tidak akan terlalu dekat dengan siapapun." Maira memang tidak memiliki punya banyak teman. Waktu yang dimiliki Maira selama ini dihabiskannya untuk mengurus banyak hal. Selain pekerjaan tentu saja. Maira memiliki banyak tugas, salah satunya memastikan Maya baik-baik saja. Sebab jika terjadi sesuatu hal buruk pada Maya, orang pertama yang akan disalahkan Tara adalah dirinya. Oleh sebab itu Maira mulai merasa curiga akan kumpulan komunitas yang selama ini memenuhi pikirannya. Kecurigaan itu muncul setelah Maira mulai merasa aneh dengan sikap Tara. Apalagi setelah kecelakaan yang dialami Maya, Tara tidak pernah lagi menyudutkannya. Aneh. "Duduk saja. Aku akan memasak untukmu." Jonathan mendorong pundak Maira dengan perlahan hingga wanita itu duduk di atas kursinya. "Aku akan membuatkan menu spesial untukmu." Jonathan meraih apron dan memakainya. Sepertinya Jonathan terbiasa dengan dunia perdapuran. Lelaki itu tidak terlihat kaku saat memotong bawang dan mengurusnya tipis-tipis. Maira menopang dagu dan memperhatikan Jonathan dengan seksama. Sesekali Maira tersenyum melihat lelaki itu yang masih saja terkejut saat minyak panas bertemu dengan bahan makanan yang mengandung sedikit air. "Makanan sudah jadi." Jonathan membawa dua piring hidangan yang sudah dibuatnya. Dari bentuknya memang tidak begitu meyakinkan, tapi Maira tetap menyambutnya dengan gembira. "Jangan dilihat dari bentuknya, rasakan bagaimana sensasinya." "Baiklah." Maira lantas memotong daging steak yang lumayan sulit dipotong. Padahal tadi, ia memilih jenis daging dengan kualitas terbaik. Tapi jika proses memasaknya tidak terlalu baik, maka daging sebagus apapun akan terlihat kurang mengubah selera. "Enak?" Tanya Jonathan. "Lumayan. Masih bisa dimakan." Maira tidak mungkin memuji masakan Jonathan yang pastinya bisa dipastikan tidak enak. Tapi bagi Maira asal tidak mengandung racun, artinya masih bisa dimakan. "Maya pasti akan langsung memesan makanan baru, dan tanpa hentinya mengumpat." Jonathan tersenyum saat membayangkan dirinya beberapa waktu lalu, saat Maya memaksanya membuat makanan. Alhasil sama seperti yang terjadi hari ini. Gagal dan tidak enak. "Asal tidak beracun, aku masih bisa memakannya. Sayang juga harga daginya mahal, mubazir kalau dibuang begitu saja." Jonathan kembali tersenyum. "Aku pikir kalian sama, karena selama ini kalian memiliki banyak kesamaan." "Sebenarnya aku dan Kak Maya berbeda. Kami bagaikan dua kutub yang berbeda. Dia siang dan aku malam." Untuk pertama kalinya Maira berani membicarakan perbedaan yang ada pada dirinya dan Maya. "Kak Maya penuh dengan warna, sementara aku hanya hitam dan gelap." "Tapi aku suka malam, dimana aku bisa istirahat dari berbagai hal yang melelahkan yang terjadi di siang hari." Maira menatap ke arah Jonathan, kemudian tersenyum samar. Selanjutnya mereka berdua makan bersama, menikmati steak yang terlalu kematangan bahkan mendekati gosong. "Tunggu, aku akan ambilkan salep agar memarnya bisa cepat hilang." Jonathan segera beranjak dari tempat duduknya. Hanya selang beberapa menit saja lelaki itu sudah kembali dengan membawa kotak obat. Jonathan berlutut di depan Maira dan memeriksa luka di bagian paha yang sudah terlihat menghitam akibat benturan keras. "Rasanya sedikit sakit, tahan sebentar karena setelah obatnya meresap memarnya dan sakitnya akan segera hilang." Jonathan mengoleskan obat tersebut tepat di atas lebam. Maira sempat meringis sakit, tapi tidak lama karena setelah itu Jonathan meniup lebam dengan perlahan. Mungkin hanya perasaannya saja, saat hembusan nafas Jonathan menyentuh kulitnya, Maira merasa begitu dingin dan menenangkan. "Kamu tidak perlu lagi melakukan pekerjaan rumah. Utamakan saja kesembuhanmu, karena mulai besok ada asisten rumah tangga yang mulai bekerja di sini." Jonathan kembali berdiri setelah mengobati lebam di kaki Maira. "Asisten baru? Secepat itu mendapatkannya?" Maira cukup terkejut, karena tadi pagi mereka baru membicarakannya dan malam harinya Jonathan mengatakan sudah mendapatkan asisten rumah tangga. "Iya. Kenapa?" "Cepat sekali. Apa tidak terlalu terburu-buru?" Jonathan mengulum senyum. "Tidak. Aku memang sengaja mempercepat, apalagi setelah melihat kondisimu seperti saat ini." "Aku baik-baik saja. Lihat, hanya memar biasa." Jonathan tetap menggelengkan kepalanya. "Aku tetap tidak akan membebankan semua pekerjaan rumah kepadamu. Kamu istriku, sudah sewajarnya kamu menikmati semua yang ada di rumah ini." Sejujurnya Maira merasa kurang setuju dengan keputusan Jonathan mempekerjakan seseorang di rumah ini. Maira justru berpikir dengan tidak adanya seorang asisten bisa dijadikan kesempatan untuk mereka bersama. "Aku tidak mempekerjakan orang asing tanpa jaminan dan kepercayaan. Semuanya sudah disiapkan dengan baik, kamu tidak perlu khawatir." Padahal bukan masalah kepercayaan saja, tapi Maira merasa belum membutuhkan seorang asisten untuk saat ini. Tapi sepertinya Jonathan tetap bersikeras. Tanpa terasa waktu terus berjalan, membuat Maira menguap beberapa kali. Jujur saja ia merasa sangat lelah dan ingin segera istirahat. "Sepertinya kamu sudah sangat lelah. Tidurlah," "Iya. Aku sangat lelah. Mungkin karena efek obat anti nyeri yang kuminum tadi." "Tidurlah, aku masih memiliki beberapa pekerjaan lain." Jonathan menghampiri Maira yang tengah duduk di tepian tempat tidur. "Aku ingin seperti ini sebentar." Jonathan menarik Maira kedalam pelukannya. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Tanpa sadar Maira memejamkan mata, menghirup aroma harus tubuh Jonathan yang begitu memabukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD