Esok paginya Maira terbangun seorang diri. Jonathan tidak ada disampingnya, padahal waktu masih menunjukan pukul enam pagi. Biasanya Jonathan bangun pukul tujuh. Kemana lelaki itu pergi?
Maira memeriksa setiap sudut rumah untuk mencari keberadaan Jonathan, tapi lelaki itu tidak ada dimanapun.
Maira melihat satu koper berukuran kecil hilang dari atas lemari. Mungkinkah Jonathan pergi?
Tapi mengapa lelaki itu tidak memberitahunya?
Karena insiden kemarin, hari ini Maira tidak bisa masuk kantor seperti biasanya. Ternyata luka lebam itu selain meninggalkan lebam, juga meninggalkan rasa sakit.
Maira melakukan aktivitas dengan tertatih.
"Selamat pagi, Bu." Suara seseorang membuat Maira terkejut, bahkan dengan gerakan cepat Maira segera menoleh tanpa memperdulikan keseimbangan tubuhnya. Alhasil Maira terpeleset dan hampir terjatuh lagi, untung seseorang bisa menahannya hingga Maira tidak lantas tersungkur ke lantai.
"Kamu? Siapa?" Tanya Maira dengan tatapan bingung, sebab sepagi ini ada orang asing di rumahnya.
"Maaf saya tidak memperkenalkan diri dengan baik. Saya Asti, asisten rumah yang akan bekerja disini."
Jelasnya sambil memperkenalkan diri.
"Asisten rumah?" Maira benar-benar terkejut dengan kehadiran Asti, apalagi disaat Jonathan tidak ada di rumah.
"Benar. Kalau Ibu tidak percaya, bisa hubungi Pak Jonathan terlebih dulu untuk memastikan."
Tentu saja Maira harus memastikan keaslian Asti sebagai asisten rumah tangga yang akan membantunya. Maira tidak mau asal percaya begitu saja, karena di jaman sekarang banyak penipu berwajah malaikat.
Maira mempersilahkan Asti duduk terlebih dulu, sebelum ia mencari ponsel untuk menghubungi Jonathan. Entah sejak kapan Asti datang, sebab rumah terlihat rapi dari sebelumnya.
"Ada seseorang di rumah," panggilan terhubung dan Maira langsung mengutarakan maksudnya.
"Siapa dia?"
"Dia Asti, asisten rumah tangga yang akan membantumu." Jelas Jonathan di seberang sana.
"Dia bisa dipercaya, kamu tidak perlu khawatir. Selama kondisimu masih belum stabil, kamu tidak boleh masuk kantor atau melakukan pekerjaan berat lainnya. Biarkan Asti yang melakukannya."
"Mm, baiklah. Tapi," Maira menjeda ucapannya.
"Kamu dimana?" Maira menanyakan keberadaan Jonathan. Sejujurnya Maira tidak terlalu ikut campur urusan pribadi lelaki itu, hanya saja setelah pagi tadi ia tidak menemukan Jonathan ada disampingnya, Maira merasa sedikit aneh.
"Maaf, aku tidak sempat memberitahumu. Ada pekerjaan mendadak, mungkin besok pagi aku baru sampai di rumah. Kamu tidak perlu takut, ada Asti yang akan menemanimu."
"Ah,, iya. Baiklah. Hati-hati."
Jonathan menggumam pelan, sebelum akhirnya panggilan terputus.
Keberadaan Asti memang membantu Maira dalam melakukan banyak hal, meski begitu Maira belum bisa menaruh kepercayaan banyak pada wanita itu. Sedikit curiga masih saja ada dalam hatinya.
Sementara itu di tempat lain, Jonathan tengah berada di Bandara untuk bertolak ke luar negri. Lebih tepatnya Singapura. Jonathan akan menemui Maya, kekasihnya.
Jonathan tidak lantas menuju rumah sakit untuk menemui Maya, sebab wanita itu sudah dipindahkan ke tempat lain.
Seharusnya Jonathan merasa senang karena Maya sudah mengalami banyak perubahan, tapi ia justru merasa hal lain yang sedikit mengganggu pikirannya. Jonathan mengkhawatirkan Maira.
"Kondisinya sudah membaik." Tara menyambut hangat kehadiran Jonathan. Sementara Maya masih terbaring di atas tempat tidurnya. Dari penjelasan Tara, Maya sudah siuman tapi saat ini ia kembali dalam pengaruh obat tidur kareba selama masa penyembuhan wanita itu harus banyak istirahat.
"Kenapa Mamah lebih memilih membawa Maya ke tempat ini? Bukannya dia masih harus mendapatkan perawatan." Jonathan sedikit merasa aneh, saat mengetahui tempat tinggal Maya saat ini. Wanita itu tidak lagi berada di rumah sakit, tapi ia justru tinggal di salah satu villa terpencil yang cukup jauh dari keramaian.
"Maya butuh banyak istirahat. Tempat ini sangat cocok untuknya."
Jonathan menganggukan kepalanya. Jika Maya membutuhkan ketenangan untuk proses penyembuhan, kenapa Tara memilih Singapura sebagai tempat dimana Maya berobat. Bukankah di Jakarta pun banyak tempat seperti ini?
Semenjak Tara memutuskan untuk membawa Maya ke Singapura, sebenarnya Jonathan kurang setuju. Apalagi karena ia tidak bisa leluasa mengunjungi Maya karena terkendala jarak dan waktu.
"Kapan Maya bisa pulang ke Jakarta?"
Tanya Jonathan.
"Mamah belum bisa memastikan, tapi sepertinya Maya butuh waktu lebih lama lagi untuk pulih."
Jawaban yang membuat Jonathan merasa sedikit kecewa.
"Kenapa? Apa kamu mulai terganggu tinggal satu rumah bersama Maira?" Selidik Tara.
"Tidak. Bukan itu." Jonathan menggelengkan kepalanya.
"Kamu harus lebih hati-hati lagi sebab Maira selalu memiliki banyak cara untuk mendapatkan perhatianmu. Ingat, kalian hanya menikah sementara."
Jonathan hanya menggumam pelan. Karena selain berhati-hati ia pun harus lebih waspada akan perasaannya sendiri. Maira tidak melakukan hal-hal yang mengundang bahaya, tapi hatinya justru mulai merasakan adanya tanda bahaya. Yaitu rasa nyaman karena mulai terbiasa.
"Tapi, sebagai bentuk terima kasih tidak ada salahnya kamu memberikan sedikit perhatian pada Maira, sebelum semuanya benar-benar berakhir."
"Maira hanya pengganti, Maya adalah tokoh utama dalam kisah cinta kalian. Mengerti?" Tara selalu mengingatkan, padahal wanita itu adalah orang pertama yang mencetuskan ide untuk menikah Maira.
"Dia sudah pergi?"
Tara menoleh saat mendengar suara dan langkah kaki mendekat.
"Sudah. Dia harus segera kembali ke Jakarta karena ada banyak urusan yang harus segera diselesaikan." Tara menoleh ke arah Maya yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
"Sampai kapan aku harus berpura-pura seperti ini? Aku sangat merindukannya."
Maya menatap lurus kedepan, sementara Tara menoleh ke arahnya.
"Sebentar lagi, tunggu sampai permainan ini berakhir dan posismu aman."
Maya menghela lemah.
"Lalu, bagaimana dengan Maira?"
"Dia akan tetap menjalani takdirnya sendiri."
Maya menelan ludah dengan susah payah.
"Jangan libatkan rasa kasihan, dahulukan keselamatan dirimu. Ingat, kamu hampir mati." Tegas Tara.
"Tapi, kenapa Maira? Aku menyayanginya, Mah." Kedua mata Maya mulai berkaca-kaca, mengingat hubungan mereka berdua selama ini sangat baik. Maya tidak berbohong, ia begitu menyayangi Maira.
"Karena kita tidak punya pilihan lain. Kamu pikir Mamah mau mengorbankanmu?! Mamah akan melakukan apapun agar kamu tetap hidup, sekalipun harus mengorbankan orang lain."
Maya menatap ke arah Tara dengan tatapan kecewa.
"Maira akan baik-baik saja, dia sudah menemukan kebahagiaan dengan menikah bersama Jonathan. Bukankah satu-satunya kebahagiaan yang diinginkannya adalah menikah bersama Jonathan? Mamah sudah mengabulkannya."
Maya pernah membawa Maira ke salah satu kelab, hingga membuat wanita itu mabuk dan tidak sadarkan diri. Saat Maira sedang dalam pengaruh alkohol, Maya tidak sengaja mendengar Maira terus menyebut nama Jonathan. Sejak saat itulah Maya tau bahwa Maira menyukai Jonathan.
Maya tidak bisa menjawab, ia lebih memilih diam dan membiarkan Tara terus menyudutkan Maira.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Maya tidak tega menjadikan Maira sebagai tumbal untuk menggantikan dirinya.