Sering ponsel membuat Maira menoleh saat ia tengah fokus ke layar komputer yang ada di hadapannya.
Maira melihat nama Jonathan muncul. Jika ada keperluan kantor, lelaki itu sering menghubunginya melalui sambungan telepon yang sudah terhubung secara langsung. Tapi kali ini Jonathan menghubungi Maira melalui panggilan lain yang artinya bukan urusan kantor.
"Iya," jawab Maira, saat ia menerima panggilan Jonathan.
"Lima menit lagi kita makan siang bersama." Ucap Jonathan. Maira menoleh ke arah jendela kecil, dimana Jonathan terlihat dan tengah duduk di kursi, di ruang kerjanya.
"Baik."
"Ketemu di parkiran."
"Iya."
Panggilan kembali terputus. Jam makan siang hanya tinggal hitungan menit, Maira pun sudah mempersiapkan diri dengan merapikan rambut melalui layar ponselnya. Maira tidak ingin wajah dan penampilannya terlihat berantakan di hadapan Jonathan.
Maira berjalan perlahan menuju lift dimana ia akan bertemu Jonathan di basement, di area parkir. Jam makan siang memang suasana kantor sedikit ramai, sama halnya dengan jam masuk dan pulang. Maira melihat lift mulai dipenuhi beberapa orang, sebagian dari mereka saling bergegas menuju kotak besi yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan masing-masing. Maira pun harus ikut bergegas, karena Jonathan sudah menunggunya. Beberapa menit lalu lelaki itu mengirim pesan, memberitahukan keberadaannya.
Saat Maira hendak masuk, tiba-tiba saja dua orang lainnya mendahului.
"Kami duluan, Maira." Ucapnya sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Sayangnya senyum yang mereka tunjukkan bukan senyum persahabatan, tapi lebih mirip seperti senyum mencemooh.
Lift pun tertutup, saat langkah Maira sampai tepat di depannya.
Tidak ada satu orang pun yang berniat memberikan ruang untuknya. Bahkan mereka justru terkesan enggan satu lift dengan Maira. Berbanding terbalik saat Maya datang ke kantor, semua orang begitu menghargainya bahkan saat itu status Maya masih sebagai kekasih Jonathan. Tapi saat ini, saat Maira sudah menyandang status sebagai istri Jonathan, perlakuan mereka tidak berubah. Justru mereka terkesan semakin menjauh dan menganggap Maira layaknya manusia yang harus dijauhi.
Kejadian Lift hanya satu dari kejadian yang membuat hati Maira kembali berdarah. Tapi Maira tetap mencoba untuk mengabaikannya juga. Maira pun memutar tubuhnya menuju tempat lain, yaitu tangga darurat.
Dari lantai dua puluh, Maira harus berjalan menuruni setiap anak tangga menuju lantai dasar, dimana area parkir berada.
"Kamu dimana?" Jonathan kembali menghubunginya, karena sudah lewat sepuluh menit Maira tidak kunjung sampai.
"Sebentar lagi sampai." Balas Maira.
"Kamu di,," Jonathan mendengarkan suara Maira dengan seksama. "Tangga darurat?!" Ucapnya lagi.
"Sebentar lagi sampai, aku sudah melihatmu." Maira yang sudah berhasil melewati banyaknya tangga darurat akhirnya sampai. Ia melambaikan satu tangannya ke arah Jonathan dan segera menghampiri.
"Naik tangga darurat? Kamu bisa pakai lift," Jonathan melihat bulir keringat di wajah Maira.
"Ayo, kita berangkat sekarang. Aku lapar." Maira langsung masuk ke dalam mobil terlebih dulu, di ikuti oleh Jonathan tidak lama kemudian.
Mobil Jonathan perlahan keluar dari area parkir menuju salah satu restoran Jepang.
"Kamu dan Maya memiliki banyak kesamaan, aku yakin selera makan kalian pun akan sama."
"Iya." Balas Maira.
"Pakai ini, wajahmu keringatan." Jonathan memberikan sapu tangan miliknya pada Maira.
"Terima kasih."
Tidak berselang lama pesanan pun datang. Maira cukup terkejut dengan menu makanan yang dipesan Jonathan.
"Maya sangat suka makanan di restoran ini. Aku akan mengajaknya lagi, setelah dia siuman."
Maira hanya menggumam pelan sebagai jawaban.
"Coba ini, enak dan Maya sangat suka." Jonathan memberikan udah goreng tepung dan menaruhnya di atas nasi Maira.
"Kamu suka juga, kan?"
Maira menoleh ke arah Jonathan, selang beberapa detik ia pun menganggukan kepalanya.
"Iya. Aku suka." Jawabnya. Maira pun mengambil udah tersebut menggunakan sumpit, lalu menyiapkannya kedalam mulut.
"Enak, pantas saja Kak Maya suka."
"Aku hampir hafal semua makanan yang disukainya. Kamu pasti tau juga, kan?"
Maira menganggukan kepalanya.
Tentu saja Maira tau, karena selama ini Maira lah yang mengurus segala keperluan Maya, termasuk makanan. Maya termasuk wanita yang mementingkan penampilan. Apa yang dikonsumsinya tidak sembarangan, ia menghitung setiap jumlah kalori yang masuk kedalam tubuhnya. Dan semua itu tugas Maira. Jika Jonathan mengklaim dirinya begitu mengenal Maya, tentu saja lelaki itu harusnya tau berapa jumlah kalori dari makanan yang dipesannya saat ini. Yang tidak mungkin dihabiskan Maya dalam satu jamuan makan siang.
Usai makan siang, keduanya kembali ke kantor bersama.
"Sepulang kantor, aku akan mengunjungi Maya. Dia pasti menungguku, tidak apa-apa kalau kamu pulang sendiri?" Ucap Jonathan, sebelum Maira keluar dari dalam mobil.
"Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri." Maira tersenyum.
"Kamu bisa pakai taksi atau aku akan meminta supir kantor mengantarmu pulang."
"Aku bisa pulang sendiri, tidak perlu khawatir." Tegas Maira. Padahal mungkin saja Jonathan tidak pernah mengkhawatirkannya dan lebih mengkhawatirkan Maya yang sedang ada dalam perawatan intensif.
Maira menatap mobil Jonathan sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan perjalannya menggunakan tangga darurat. Kali ini lift kosong, tapi Maira lebih memilih menggunakan tangga kembali.
Berbeda dengan tadi, kali ini Maira lebih memilih tangga darurat karena ia ingin merasakan dirinya lelah hingga ia tidak tau lagi bagaimana membedakan lelah di hati dan tubuhnya.
"Aku tidak menyangka akhirnya kalian benar-benar menikah."
Maira menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Leni tengah berdiri tak jauh dari meja kerjanya. Kapan wanita itu datang, Maira tidak tau.
"Takdir." Balas Maira singkat.
"Kamu terlalu jauh melangkah, Ra."
"Aku tau."
"Lalu? Kenapa kamu tetap melakukannya."
"Aku hanya perlu menikmatinya saja. Karena waktuku tidak banyak. Hanya sampai Kak Maya siuman." Jelas Maira.
"Kamu akan terluka,"
"Aku tau. Terima kasih sudah peduli. Aku tau, kamu tulus mengatakannya." Maira tersenyum ke arah Leni. Satu-satunya orang yang peduli padanya. Hubungan mereka dekat, tapi tidak cukup dekat untuk Maira mengatakan apa saja yang dialaminya. Leni mungkin tau Maira menyukai Jonathan, meski Maira tidak pernah mengatakannya. Tapi Leni tidak pernah tau seberapa besar Maira menyukai lelaki itu.
Maira memilih pulang terakhir. Tiga puluh menit setelah karyawan lainnya pulang. Hal tersebut dilakukan Maira karena ia tidak ingin tragedi rebutan Lift kembali terjadi. Maira cukup tau diri dan tidak ingin membuat dirinya semakin menyedihkan.
"Belum pulang?" Saat Maira berdiri di depan pintu Lift, tiba-tiba saja Jonathan datang. Rupanya bukan hanya dirinya, tapi Jonathan pun belum pulang.
"Baru mau pulang." Balasnya, sambil menunjuk ke arah Lift.
Mereka berdua beriringan masuk ke dalam lift. Beberapa saat keheningan terjadi, sebelum akhirnya Jonathan menoleh dan memperhatikan Maira dengan seksama.
"Wajahmu bintik-bintik merah. Kenapa?" Jonathan menyadari di wajah Maira terdapat bintik merah berukuran sangat kecil.
Maira mengusap dengan lembut. Sejujurnya dia merasa gatal dan perih di area wajah, di mana bintik tersebut berada. Tapi Maira hanya mengusapnya dengan lembut saja.
"Mungkin kepanasan, aku mudah sekali berkeringat." Balasnya.
"Tadi nggak ada."
"Ada. Kamu tidak menyadarinya saja."
"Coba kulihat," Jonathan mendekat dan mengulurkan satu tangannya untuk menyentuh wajah Maira.
"Bintik kecil-kecil, seperti alergi."
"Nggak apa-apa, paling salah pakai pelembab aja." Maira segera menepis tangan Jonathan yang begitu lembut menyentuh wajahnya. Maira tidak ingin terlena, meski sejujurnya ia begitu menyukai sentuhan Jonathan.
"Pakai salep untuk mengurangi iritasinya."
Maira menganggukan kepalanya, tidak berselang lama pintu lift pun terbuka.
"Aku duluan pulang, sampaikan salam ku untuk Mamah Tara dan Kak Maya." Ucapnya sebelum berpisah.
"Iya." Balas Jonathan.
"Maira tunggu!" Jonathan kembali berteriak, setelah Maira pergi beberapa langkah.
Lelaki itu pun berlari menuju Maira.
"Pakaian salep, jangan lupa." Ucapnya lagi.
"Iya. Nanti aku pakai di rumah."
"Aku tidak akan lama. Sebelum jam sepuluh, aku pastikan sudah pulang."
Maira mengangguk, "Temani Kak Maya, dia pasti ingin kamu selalu di dekatnya."
Padahal sebenarnya bukan hanya Maya yang menginginkan kehadiran Jonathan, Maira juga.