bab 4

1101 Words
Saat Jonathan datang ke rumah sakit, Tara sudah terlebih dulu ada di sana tengah membersihkan tubuh Maya dengan air hangat. "Sudah datang?" Tanya Tara. Ia menoleh sekilas dan tersenyum ke arah Jonathan, lalu kembali mencelupkan kain putih ke dalam baskom berisi air hangat, lalu memerasnya. Dengan perlahan Tara mengusapkan handuk tersebut ke punggung tangan Maya. "Iya. Mamah sejak kapan datang?" Jonathan membuka jas yang membalut sempurna tubuhnya, dan menggulung lengan kemeja dari kedua tangannya. "Biar saya yang membersihkannya," Jonathan mengulurkan tangannya, meminta kain yang ada di tangan Tara. "Sudah hampir selesai, hanya tinggal bagian tangan dan wajah saja." Tara lantas memberikan kain tersebut pada Jonathan dan membiarkan lelaki itu melanjutkan pekerjaannya, membersihkan tubuh Maya. "Masih belum ada perubahan." Ucap Tara dengan nada lirih. "Dokter mengatakan Maya mengalami cedera cukup parah dibagian kepala dan kemungkinan karena hal tersebutlah yang membuat Maya koma sampai hari ini." Jonathan menghela lemah, sambil menatap wajah wanita yang sangat dicintainya itu dan mengusap wajah Maya dengan sangat lembut. "Sayang, cepat bangun. Aku sangat merindukanmu." Bisik Jonathan. Tidak dipungkiri, ia begitu merindukan sosok Maya yang selama satu tahun ini menghiasi hidupnya. Maya sosok wanita periang, yang begitu penyayang dan perhatian. Jonathan sangat menyayangkan kecelakaan itu terjadi hanya selang beberapa hari saja, sebelum mereka menikah. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, tapi Jonathan masih enggan meninggalkan Maya. "Sudah malam, sebaiknya kamu pulang." Ucap Tara. "Kita pulang bersama." Ajak Jonathan. Tara menganggukan kepalanya, menyetujui ajakan Jonathan. Malam hari, Maya selalu dipercayakan pada salah satu perawat yang ditugaskan khusus untuknya. Esok paginya Tara akan kembali datang untuk menamai sampai sore atau malam. "Bagaimana keadaanmu? Maksud Mamah, kamu dan Maira?" Tara membuka pembicaraan, setelah beberapa saat keduanya terdiam. "Baik. Keadaan kami baik-baik saja." Balas Jonathan. "Mamah harap Maira bisa menjaga diri dan tidak berusaha menggoda atau menyalahgunakan statusnya." Jonathan menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan dimana ia mengemudi. "Maira bukan wanita pendiam seperti yang kamu lihat. Hanya casing luar nya saja pendiam, aslinya tidak begitu. Meski kalian sudah resmi menjadi suami istri, tapi Mamah sangat berharap kalian berdua tidak melewati batas. Ingat, ada Maya yang sedang berjuang." "Iya, Mah." Balas Jonathan singkat. Kabar pilih kasih yang dilakukan Tara pada kedua putrinya itu memang bukan sekedar isapan jempol semata. Jonathan mendengar dan melihatnya sendiri. Seperti yang baru saja diucapkan Tara, wanita itu tidak pernah segan membicarakan keburukan yang ada dalam diri Maira. Meski begitu, tidak sepenuhnya Jonathan percaya dengan apa yang diucapkan Tara. Karena selama mengena Maira, Jonathan tidak pernah melihat sisi buruk dari diri Maira yang selalu diceritakan Tara padanya. "Hati-hati di jalan," Tara melambaikan tangannya, saat ia keluar dari mobil Jonathan. Jonathan pun kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Jarak antara rumah sakit, kediaman Tara dan rumahnya memakan waktu cukup lama. Meski arus lalu lintas tidak begitu padat, tapi tetap saja memakan waktu hampir satu jam lebih. Saat melewati area dimana Maya mengalami kecelakaan, Jonathan memelankan laju mobil dan mengamati setiap sudutnya. Di lokasi tersebut memang tidak terdapat CCTV seperti biasanya. Bahkan lokasi tersebut sangat jarang terjadi kecelakaan karena termasuk arus lalu lintas lancar dengan jalanan lurus tanpa ada hal yang bisa membuat terjadinya kecelakaan. Tapi entah mengapa, Maya justru mengalami kecelakaan tunggal yang sangat hebat, hingga membuatnya terbaring koma hingga saat ini. Proses penyelidikan kasus kecelakaan yang menimpa Maya pun tidak bisa diusut tuntas, sebab minim bukti dan tidak adanya saksi di lokasi kejadian. Pihak polisi menganggap itu hanya kecelakaan tunggal yang disebabkan oleh si pengemudi saja. Tapi Jonathan justru merasa ada yang aneh dengan kecelakaan yang menimpa Maya. "Sudah pulang?" Maira segera menghampiri Jonathan saat menyadari kehadirannya. "Sudah. Kenapa kamu belum tidur, sudah jam segini." Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam dan Maira masih menunggu kepulangan Jonathan. "Aku menunggumu pulang." "Jangan menungguku pulang, kamu bisa istirahat terlebih dulu." Jonathan melangkah hendak menuju kamar, tapi langkahnya terhenti saat melihat masih banyak makanan di atas meja. "Kamu belum makan?" Tanya Jonathan. "Belum." "Kenapa?" "Aku menunggumu pulang." Jawab Maira tetap sama. Ia menunggu Jonathan pulang. "Lain kali kalau aku terlambat pulang, kamu bisa makan duluan. Jangan menungguku." Akhirnya Jonathan menarik Maira duduk di salah satu kursi, untuk menemaninya makan. "Makanlah, setelah itu kita tidur." Ucap Jonathan lagi. "Kamu nggak makan?" Tanya Maira. "Nggak. Aku sudah makan di rumah sakit." Balasnya. Maira pun menganggukan kepalanya. "Masukan saja semua sisa makanan, besok pagi tinggal di panaskan lagi untuk sarapan." Maira kembali menganggukan kepalanya. Jonathan membantu Maira merapikan meja dan beberapa kotak makanan ke dalam lemari pendingin. Setelah itu mereka berdua pun masuk kedalam kamar. "Mulai besok aku akan kembali masuk kantor." Ucap Maira. Sebenarnya ia masih memiliki jatah libur sampai satu Minggu kedepan. Tapi Maira mulai merasa bosan, apalagi Jonathan dipastikan pergi pagi dan pulang larut malam seperti malam ini. "Kamu masih punya banyak waktu libur, pergunakan untuk istirahat." "Sangat bosan jika hanya menghabiskan waktu di rumah saja." Balas Maira. "Apalagi hanya sendirian." Lanjutnya sambil tersenyum. "Aku akan kembali kerja dan beraktivitas seperti semula." "Maira, aku." "Selamat malam. Aku ngantuk sekali." Maira memotong ucapan Jonathan dan memilih untuk menutupi tubuhnya dengan selimut. Jonathan menatap punggung Maira yang terbaring membelakanginya. Terbesit dalam hati kecilnya, apakah keputusannya menikahi Maira adalah sebuah kesalahan yang akan disesalinya suatu hari nanti? Atau justru kehadiran Maira akan membuat hatinya berpaling dari Maya. Mereka sangat berbeda. Bukan hanya dari segi fisik dan wajah saja, tapi sifat dan segala perilaku keduanya tidak ada sedikitpun kesamaan. Tapi saat berada di dekat Maira, Jonathan merasa begitu tenang. Jonathan dan Maira bekerja di satu perusahaan yang sama. Lebih tepatnya perusahaan milik kedua orang tua Jonathan. Maira memiliki jabatan sebagai sekretaris Jonathan, mereka sudah mengenal terlebih dulu, sebelum akhirnya Maya dan Jonathan saling jatuh cinta. Awalnya Jonathan dan Maya hanya dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing. Bahkan mereka sempat tidak yakin dengan hubungan perjodohan itu, karena biasanya akan berakhir dengan perpisahan. Tapi ternyata hubungan mereka justru berjalan baik dan benih-benih cinta mulai tumbuh di dalam hati keduanya. Sementara Maira, ia justru sudah menyukai Jonathan jauh sebelum Maya hadir. Tapi Maira tidak berani dan tidak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. "Abaikan orang yang menggiring opini dan menyudutkanmu. Mereka tidak tau apa-apa." Ucap Jonathan, sesaat sebelum mereka sampai ke kantor. "Aku sudah terbiasa dengan perkataan mereka. Tenang saja." Balas Maira. Maira sadar betul reaksi seperti apa yang akan diterimanya saat kembali masuk kantor. Tidak sedikit teman-temannya mengatai dirinya sebagai pelakor, pagar makan tanaman, dan tidak tau diri. Tapi Maira sudah mempersiapkan segala gunjingan yang akan tertuju padanya. Maira tidak peduli bagaimana orang lain menilai dirinya, karena Maira sudah merasakan bagaimana hancurnya hidup sejak usia masih kecil. Sejak kecil ia dituntut untuk dewasa sebelum waktunya, oleh karena itu menghadapi kejamnya dunia sudah menjadi makanan Maira setiap hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD