Setelah perbincangannya tempo hari bersama Desi, Maira penasaran dan mencari tau tentang kebenaran dari pesugihan moderen yang dimaksud. Tidak banyak informasi yang didapat Maira, hanya beberapa artikel saja yang pernah membahasnya, baik online maupun offline.
Tapi minimnya informasi tidak lantas membuat rasa penasaran Maira hilang, ia justru merasa kian terpancing. Biasanya semakin sedikit informasi yang di didapat, bisa jadi kebenaran akan berita tersebut memang benar adanya.
"Belum tidur?" Jonathan yang baru saja keluar dari kamar mandi, masih melihat Maira menatap layar ponselnya. Bahkan sejak lelaki itu masuk kedalam kamar mandi hingga selesai, Maira masih berada di posisi yang sama.
"Belum." Maira menggeser ponsel dari wajahnya. Jujur saja mencari informasi mengenai berita tersebut cukup sulit, Maira harus mengecek satu-persatu artikel yang terkadang hanya judulnya saja sama. Tapi tidak ada informasi yang bisa mengurangi sedikit saja rasa penasarannya.
"Serius banget kelihatannya." Jonathan ikut bergabung bersama Maira, naik ke atas tempat tidur.
"Hanya mencari informasi dari beberapa artikel dan video."
"Informasi apa?" Perlahan Jonathan menggeser duduknya, semakin mendekati.
Hubungan mereka berdua memang belum mengalami banyak perubahan. Tapi semakin hari sikap Jonathan semakin baik saja.
"Bukan apa-apa. Hanya artikel berita biasa." Maira menaruh ponselnya di atas balas, tepat disampingnya.
"Sudah malam, kamu pasti sangat lelah. Selamat tidur." Maira merebahkan tubuh dan menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya hingga sebatas pundak.
"Matikan lampu, aku suka tidur dalam keadaan gelap." Jonathan meraih lampu yang berada di samping Maira. Tangan lelaki itu terulur melewati tubuh Maira, bahkan ia bisa merasakan bagian tubuh Jonathan menyentuh tubuhnya.
"Aku bisa matikan, kalau kamu," Maira tidak melanjutkan ucapannya, saat Jonathan sudah menekan saklar lampu hingga keadaan kamar gelap. Hanya ada lampu kecil yang letaknya dekat pintu masuk. Lampu yang memberi sinar temaram dan tidak bisa menerangi seluruh ruangan.
"Selama tidur, Maira." Ucap Jonathan, setelah ia kembali ke posisi semula.
Maira wanita normal, berada dalam satu ranjang yang sama terkadang membangkitkan khayalan yang selama ini bersembunyi di dalam pikirannya.
Wajar saja jika Maira menjadikan Jonathan sebagai fantasi dunia khayalannya. Namun untuk saat ini Maira hanya bisa membayangkannya saja, karena untuk praktek rasanya tidak mungkin.
Menjalani kehidupan rumah tangga yang sudah direncanakan, bahkan sudah tau kemana akhirnya, membuat Maira selalu memikirkan bagaimana dirinya nanti setelah bercerai. Apakah kesempatan memiliki Jonathan hanya sebentar, sampai Mata sadar saja?
Entahlah. Maira tidak tau.
"Keluargaku ada acara makan malam, kamu mau ikut?" Tanya Jonathan saat keduanya tengah sarapan bersama.
"Kamu tidak perlu datang kalau tidak mau. Aku bisa mencari alasan,"
"Kapan?"
"Nanti pukul tujuh malam."
"Baiklah. Aku akan datang."
Maira melihat senyum di wajah Jonathan,
"Bukankah kita sedang menjalani pernikahan sungguhan? Aku harus menyempurnakannya dengan menjalin hubungan baik dengan ibu mertua." Lanjut Maira.
. Jonathan kembali tersenyum, lalu menganggukan kepalanya.
Maira tidak tau bagaimana reaksi keluarga besar Jonathan saat pernikahan tetap dilangsungkan, meski tanpa Maya. Saat itu keluarga Jonathan tidak banyak protes, juga tidak terlihat setuju. Mereka bersikap biasa saja. Bahkan sangat biasa.
Saat ini Maira dan Jonathan sampai di pelataran sebuah rumah besar bergaya Eropa. Jonathan memang berasal dari keluarga kaya raya, semua orang tau itu.
Mamah Tara tidak akan mau menikahkan anaknya, jika Jonathan berasal dari keluarga biasa saja.
"Ayo." Jonathan menarik satu tangan Maira dan menggenggamnya erat. Jonathan bisa merasakan tangan Maira mulai dingin akibat gugup yang melandanya. Rasanya lebih mendebarkan bertemu setelah resmi menikah, dibandingkan saat akan menikah beberapa waktu lalu.
Kedatangan Maira sudah ditunggu oleh keluarga Jonathan. Maira mengenal semua wajah orang itu, yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Kakak Jonathan.
Tidak perlu mengadakan perkenalan lagi, karena mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
"Silahkan duduk." Ucap seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik. Dia adalah Liah, Ibu Jonathan.
Senyum tipis terbit di bibir wanita itu, membuat kekhawatiran Maura sedikit berkurang.
"Kami sudah menunggu kalian." Balas Dev, Ayah Jonathan.
Sementara Jihan, sang Kakak masih menatap tajam ke arah Maira. Wanita itu seperti sedang meneliti Maira seolah matanya adalah sebuah alat scan yang menyoroti setiap inci tubuhnya. Sepertinya dia tidak begitu ramah. Maira harus hati-hati.
Acara makan malam berlangsung sangat lancar. Sesekali Liah melibatkan Maira dalam obrolan. Hal tersebut membuat Maira merasa keberadaannya dihargai.
"Apa kamu benar-benar menggantikan Maya, hanya sampai dia siuman?"
Maira yang saat itu sedang berada di toilet, langsung menoleh ke arah suara dimana Jihan berada. Sepertinya Jihan memang sengaja mengikutinya.
"Benar." Jawab Maira.
"Aku hanya pengantin pengganti," kedua belah pihak keluarga tau, bahwa Maira hanya menggantikan Maya untuk sementara saja.
"Kenapa kamu mau menggantikan Maya? Dia yang seharusnya bertanggung jawab, bukan dirimu."
Maira menoleh ke arah Jihan, "Kak Maya akan bertanggung jawab, setelah dia pilih."
"Dia memang harus bertanggung jawab penuh atas apa yang dimulainya. Jangan hanya melarikan diri, lalu mencari pengganti. Pengecut sekali."
Dahi Maira mengerti, ia benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan Jihan.
"Maksud Kak Jihan, apa?"
"Tidak ada. Aku hanya mengingatkan agar dia bertanggung jawab. Hanya itu."
Jihan tidak menjelaskan apapun, yang justru meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak Maira.
Apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalian ngobrol apa?" Jonathan menyadari kedua wanita itu berbicara di toilet, ia pun segera menghampiri Maira untuk memastikan.
"Hanya obrolan biasa. Obrolan wanita." Balas Maira.
"Hanya itu?"
Jonathan tampaknya masih tidak percaya.
"Iya. Hanya itu." Maira menganggukan kepalanya.
Acara makan malam berakhir tepat pukul sepuluh. Maira dan Jonathan pun memutuskan untuk pulang.
"Kenapa?" Tanya Jonathan, saat mereka dalam perjalanan pulang.
"Kenapa?" Maira balik bertanya.
"Kamu kelihatan banyak pikiran."
"Tidak apa-apa. Hanya kekenyangan." Maira mengusap perutnya.
"Masakan Mom, memang paling enak." Jonathan memuji masakan ibunya yang memang sangat enak.
"Benar. Masakannya sangat enak."
"Maya bisa lupa diet kalau makan masakan Mom."
Sudah cukup lama Jonathan tidak menyebut nama Maya di sela obrolan keduanya dan untuk pertama kalinya lelaki itu kembali melibatkan Maya.
"Pasti. Kak Maya sangat pemilih, tapi aku yakin semua masakan Mom sangat disukainya."
"Benar. Terkadang dia membawa pulang masakan Mom dan akan memakannya lagi besok."
Maira hanya tersenyum. Jadi masakan yang sering dibawa pulang Maya adalah hasil pemberian keluarga Jonathan. Maya cukup handal dalam berpura-pura, karena wanita itu berhasil mengelabui Jonathan dan keluarnya.
"Apa kamu percaya sebuah komunitas dimana terdapat sekumpulan orang yang menginginkan harta berlimpah?" Maira merubah topik. Membahas Maya memang tidak ada habisnya. Oleh karena itu mencari sedikit informasi dari Jonathan mungkin bisa mengobati sedikit saja rasa penasarannya. Apalagi Jonathan berada di sebuah komunitas pengusaha kalangan atas. Informasi sangat mudah didapat, termasuk berita mengenai pesugihan moderen.
"Sejenis permainan?"
"Mungkin. Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail, tapi bisa dikategorikan sebagai sebuah permainan." Jelas Maira.
"Memangnya kenapa?" Jonathan balik bertanya.
"Aku ingin mencari tau dan mencobanya."
Tiba-tiba saja Jonathan menginjak pedal rem secara tiba-tiba. Bahkan tubuh Maura terpental cukup keras, hingga membuat pundaknya sakit.
"Kamu kenapa?" Tanya Maira Panik.
"Tidak apa-apa. Kami baik-baik saja, kan? Aku minta maaf." Jonathan tidak kalah terkejutnya. Entah karena rem dadakan atau karena hal lain. Tapi selang beberapa menit mereka kembali melanjutkan perjalanan. Beruntung keadaan lalu lintas tidak terlalu ramai, sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun akibat kelalaian Jonathan.
"Maira." Panggil Jonathan saat mereka sampai di rumah. Mair menoleh ke arah Jonathan saat lelaki itu menghampirinya.
"Itu hanya gosip, kamu tidak boleh mempercayainya." Ucapnya. Raut wajah Jonathan mulai serius.
"Aku tidak mempercayai sepenuhnya, karena aku tidak tau secara langsung. Aku hanya penasaran saja."
"Jangan memikirkan hal lain. Pikirkan saja bagaimana kita saat ini."
Maira mengerut kening, "Baiklah. Aku tidak akan mencari taunya lagi."
"Jangan pikirkan hal lain. Pikirkan saja kita." Jonathan mendekat, semakin dekat. Ibu jarinya mengusap lembut bibir Maira bahkan dengan gerakan cepat lelaki itu pun melabuhkan satu kecupan hangat pada bibir Maira.