BAB 6

1091 Words
Sore itu, langit Jakarta tampak murung, seolah turut menyerap segala keresahan hati Evana. Seminggu belakangan hidupnya penuh tekanan, seakan-akan dunia sedang bersekongkol menjatuhkan dirinya ke titik paling lemah. Semua berawal dari acara pertunangan sepupunya minggu lalu. Di pesta itu, dirinya menjadi bulan-bulanan keluarga. Mulut-mulut cerewet tanpa henti melontarkan pertanyaan pedas: "Kapan kamu menyusul, Van?" "Jangan terlalu pilih-pilih, umurmu sudah lewat masa emas, loh." "Lihat adik sepupumu saja sudah lebih dulu menikah." Kalimat-kalimat itu menghujam telinga Evana bagai panah beracun. Ia hanya bisa tersenyum kaku, menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Namun rasa sakit sebenarnya bukan berasal dari omongan orang lain, melainkan dari ibunya sendiri. Sang ibu tanpa rasa bersalah memperkenalkan Evana pada seorang pria bernama Hendra—duda dengan tiga anak yang merupakan pemilik jaringan minimarket. Evana menolak mentah-mentah, tentu saja. Bagaimana mungkin ia menikah dengan pria yang bahkan usianya jauh lebih tua darinya, dan sudah memiliki tiga anak. Namun penolakannya seolah tak berarti ketika ibunya malah meminta pada Hendra untuk melamarnya. Sejak saat itulah, Evana merasa napasnya sesak setiap hari. Tekanan itu terus menghantui pikirannya hingga ia berubah. Gadis yang biasanya riang, cerewet, penuh tawa, kini lebih sering diam. Rekan-rekannya di kantor pun menyadari perubahan itu, meski tak berani bertanya lebih jauh. Hari demi hari dilalui Evana dengan muram. Ia masih mencoba tersenyum di hadapan orang lain, tapi di balik pintu kamarnya, ia hanya bisa menangis. Jumat sore. Kantor mulai lengang. Beberapa karyawan sudah pulang lebih awal, sementara sebagian lagi masih sibuk membereskan laporan mingguan. Evana sendiri merasa dadanya semakin penuh. Ada yang harus ia lepaskan, atau dirinya bisa benar-benar gila setelah membaca pesan ibunya yang mengatakan jika sepulang kerja dia harus membeli baju baru untuk acara lamaran besok sabtu malam. Evana butuh ketenangan saat ini. Dan juga memantapkan hati bahwa jika memang tak ada lagi lelaki yang mau menikahinya maka dengan terpaksa dia akan menerima pinangan seorang duda. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol lift dan naik ke rooftop gedung. Angin sore menyambutnya ketika pintu besi terbuka. Ia melangkah cepat ke arah pagar pembatas, menatap hamparan langit kota Jakarta yang mulai berwarna jingga keemasan. Air mata mengalir tanpa bisa ia bendung. "Bagaimana aku bisa menolak lamaran itu tanpa membuat ibu kecewa? Bagaimana aku bisa hidup dengan lelaki yang bahkan tidak aku cintai? Apa aku hanya boneka yang bisa diperjualbelikan dengan alasan status menikah?" Suara jeritan keluar begitu saja. "Aaaaarghhhhhh! Kenapa harus aku? Kenapa hidupku selalu jadi bahan gosip?!" Ia menendang tiang besi, menghentakkan kaki, lalu menangis lagi. "Aku tidak mau menikah dengan duda itu! Aku tidak mau jadi istri pengganti hanya untuk mengurus tiga anak yang bahkan bukan darah dagingku! Aku ingin hidupku sendiri! Aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai!" Tangannya mengepal, suaranya tercekat, tapi ia tetap berteriak. "Tuhan, kalau memang Kau ada, tunjukkan jalan untukku! Jangan biarkan aku terjebak pernikahan tanpa cinta!" Ia menunduk, bahunya berguncang menahan tangis. Tak ada yang tahu betapa hancurnya ia selama ini. Sementara itu, di lantai bawah, Elvano sedang melangkah cepat ke arah lift dengan ponsel menempel di telinganya. “Ya. Progres penyamaran berjalan sesuai rencana. Mereka masih menganggap saya hanya staf IT biasa. Tapi ada hal penting yang perlu saya laporkan—” Langkahnya terhenti ketika melihat beberapa karyawan lalu lalang. Ia menatap sekeliling, menyadari kalau terlalu riskan membicarakan hal sepenting itu di ruang publik. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan menuju rooftop. Tempat itu cukup sepi dan aman untuk berbicara dengan tangan kanan ayahnya. Lift berbunyi ting dan pintu terbuka. Elvano melangkah keluar sambil tetap berbicara. “Besok saya akan kirimkan laporan detail lewat jalur aman. Untuk sementara, saya—” Langkahnya tiba-tiba berhenti. Matanya menangkap sosok seorang perempuan berdiri di dekat pagar rooftop. Rambutnya terurai berantakan ditiup angin, bahunya berguncang, wajahnya menunduk. Dari jarak itu, Elvano jelas mengenalinya. Evana. Refleks, ia menghentikan panggilan telepon. Jantungnya berdegup lebih kencang. Untuk sepersekian detik, ia mengira gadis itu ingin mengakhiri hidupnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari menghampiri lalu menarik lengan Evana dengan cukup kasar. “Kalau mau bunuh diri jangan di sini,” suaranya tegas, dingin, tapi bergetar samar. “Kasihan para karyawan yang harus dihantui arwah gentayangan.” Evana sontak menoleh, matanya membelalak karena kaget. Ia langsung mendelik tajam. “Siapa juga yang mau bunuh diri, El! Jangan asal ngomong!” Elvano mengangkat alis, wajahnya datar. “Lalu apa yang kau lakukan di sini? Menjerit-jerit seperti orang gila, menangis sekeras itu? Kau pikir orang lain tidak bisa mendengar?” Evana terdiam. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata keluar. Ia memalingkan wajah, mengusap kasar air matanya. “Aku... aku hanya ingin melampiaskan kekesalan,” gumamnya lirih. Elvano menatapnya lekat-lekat. Ia bisa membaca kesedihan mendalam dari sorot mata wanita itu. Sebagai pria yang selalu rasional, biasanya ia akan memilih diam, tak mau ikut campur. Tapi entah mengapa, kali ini ia tidak bisa mengabaikan. Keheningan menggantung. Angin sore semakin kencang, membawa aroma hujan yang mulai turun di kejauhan. Tiba-tiba, Evana menoleh padanya dengan wajah penuh tekad. “El,” suaranya bergetar namun jelas, “ayo kita menikah.” Darah Elvano seakan berhenti mengalir. Ia membeku di tempat, memandang wanita itu dengan tatapan tak percaya. “Kau sudah benar-benar gila rupanya,” ujarnya setelah hening beberapa detik. “Apa kau sedang melamarku?” Kepala Evana mengangguk cepat. Ia sendiri terkejut dengan keberanian kata-katanya, tapi ia sudah tak peduli. Tekanan terlalu besar, dan satu-satunya jalan keluar yang ia lihat adalah itu. “Oke.” Satu kata sederhana meluncur dari bibir Elvano. Evana terpaku. Tubuhnya menegang seketika. Ia bahkan sempat berpikir kalau ia salah dengar. “A-apaaa? Kamu... kamu setuju?” Elvano menyilangkan tangan di d**a, tatapannya tetap dingin tapi sarat makna. “Ya. Bukankah itu yang barusan kau minta? Kau melamarku, aku menerima. Sesederhana itu.” Evana mundur selangkah, jantungnya berpacu tak karuan. “Tapi... aku tidak benar-benar... aku hanya...” “Evana,” potong Elvano cepat. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang kau alami? Kau tertekan karena dijodohkan, kan?” Gadis itu tertegun. Bagaimana Elvano bisa tahu? Melihat wajahnya yang panik, Elvano melanjutkan, “Aku bukan orang bodoh. Seminggu ini sikapmu berubah drastis. Dari cerewet menyebalkan menjadi pendiam dan murung. Kau tidak pandai menyembunyikan sesuatu.” Evana menggigit bibir, merasa telanjang di depan pria itu. Elvano menghela napas, lalu melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. Suaranya merendah, namun mengandung kekuatan yang sulit diabaikan. “Kalau kau ingin keluar dari masalah itu, mungkin... menikah denganku memang jalan keluarnya.” Dunia seolah berhenti berputar bagi Evana. Kata-kata Elvano berputar di kepalanya, membuat dadanya bergetar hebat. Ia tak tahu harus senang atau takut. Yang jelas, sore itu di rooftop kantor, kehidupannya berubah selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD