BAB 5

938 Words
Hari Minggu itu, langit Jakarta terlihat cerah. Matahari memancarkan sinarnya dengan hangat, membuat suasana terasa lebih riang. Namun bagi Evana, hari itu bukanlah hari yang menyenangkan. Ia bahkan merasa dadanya sesak sejak pagi ketika sang ibu meminta dengan nada tegas agar ia ikut menghadiri acara pertunangan sepupunya, Nadya. "Evana, jangan lupa. Jam dua siang kita berangkat, ya. Kau harus tampil rapi. Jangan bikin malu keluarga besar," ucap ibunya sambil menyisir rambut di depan cermin. Nada suaranya lebih terdengar sebagai perintah daripada ajakan. Evana hanya mengangguk malas. Sejujurnya ia enggan datang. Ia tahu betul bagaimana acara keluarga besar selalu berakhir— dirinya menjadi bulan-bulanan komentar karena status lajangnya yang tak kunjung berubah. Umurnya yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun membuat banyak kerabat tak henti-hentinya menyindir. "Iya, Bu," jawabnya pendek. Dan siang itu, Evana akhirnya mengikuti ibunya dengan gaun biru pastel sederhana. Rambut panjangnya digerai begitu saja, tanpa dandanan berlebihan. Baginya, yang terpenting hanyalah menemani ibunya agar tidak terus-menerus dipaksa. Begitu mereka tiba di tempat acara pertunangan digelar, tatapan orang-orang segera mengarah padanya. Beberapa sepupu yang seumuran dengannya langsung memberi senyum sinis. Bahkan ada yang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Eh, itu si Evana, ya?" bisik salah satu tante dari jauh. "Cantik sih, tapi kok ya belum laku-laku juga?" "Lagian terlalu pilih-pilih mungkin," timpal yang lain. Evana pura-pura tak mendengar, meski hatinya perih. Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri. Saat acara inti dimulai, keluarga Nadya tampak begitu bahagia. Musik lembut mengiringi prosesi tukar cincin. Semua orang bertepuk tangan riang, sementara Evana hanya duduk kaku di kursinya. Namun penderitaannya baru benar-benar dimulai ketika acara ramah tamah selesai. Seorang kisaran umur empat puluhan dengan baju batik yang rapi, tiba-tiba menghampiri meja mereka. "Ini Evana, kan?" sapa pria itu ramah. Ibunya langsung tersenyum lebar. "Iya, betul. Ini Evana, anak saya. Lama nggak ketemu. Apa kabarmu, Hendra?" Evana menoleh, berusaha tersenyum sopan. Tapi begitu mendengar perkenalan lebih lanjut, jantungnya seakan berhenti berdetak. "Alhamdulillah saya baik, Tante." "Ngomong-ngomong gimana bisnismu?" "Lancar, Tante." "Kamu ini memang hebat, Hendra. Masih muda sudah sukses. Tapi ngomong-ngomong kenapa masih betah menduda hingga sekarang. Anak-anakmu juga sudah besar." Hendra tersenyum. "Belum nemu wanita yang cocok saja, Tan." Perempuan itu tersenyum lebar. "Ya udah sih. Kenapa nggak sama Evana saja. Tante masih ingat betul loh dulu Evana kecil pernah naksir sama kamu." Mata Evana mendelik mendengar ocehan ibunya. Namun, pria bernama Hendra malah tertawa. "Iya, Tante. Kalau Tante tidak keberatan ... boleh kah saya mengenal Evana lebih dalam lagi? Siapa tahu ada jodoh, kan?" "Sudah nggak perlu mengenal toh kalian juga sudah kenal sejak kecil. Gimana jika langsung dilamar saja Evana-nya?" Evana sungguh menyayangkan dengan sikap ibunya yang sembarangan. Bahkan Evana saja lupa siapa pria itu. Yang ia tahu, Hendra adalah saudara jauhnya. Tapi sudah lama sekali tidak bertemu. "Jika Tante maunya begitu ... saya sih tidak keberatan. Tapi nggak tau dengan Evana." Evana hanya bisa menelan ludah. Bisa-bisanya sang ibu malah menjodohkannya dengan seorang duda dengan tiga anak yang sudah beranjak remaja. "Evana sih gampang. Dia pasti mau secara Hendra ini juga sudah mapan dan Evana juga belum ada pacar hingga sekarang." Tanpa basa-basi, Hendra menatap Evana dengan senyum penuh arti. Wajah Evana langsung memucat. Ia ingin segera berdiri dan pergi dari meja itu, tapi kakinya seolah terkunci. Yang bisa Evana lakukan adalah memprotes ibunya. "Bu, apaan sih!" "Sudah, Van. Terima saja daripada kamu sibuk cari jodoh tapi nggak ketemu-ketemu. Lah ini jodohnya malah datang sendiri." "Bu!" Ibunya malah mendelik judes pada Evana. Lalu menolehkan kepala pada Hendra. "Hendra, kamu serius kan sama Evana?" "Saya berniat serius, Bu." "Kalau begitu mau kan kamu melamar Evana?" "Bagaimana kalau minggu depan saya melamar Evana. Kalau Ibu berkenan, kita bisa langsung bicarakan lebih jauh soal hari baik." Evana hampir tersedak minumannya. Ia buru-buru meletakkan gelas, matanya melebar menatap pria itu. "Apa! Minggu depan?" Hendra tersenyum tenang. "Iya, kenapa? Saya pikir tidak ada salahnya mempercepat hal baik." "Maaf, tapi saya tidak—" Belum sempat Evana menyelesaikan kalimatnya, ibunya sudah menepuk tangan penuh suka cita. "Wah, tentu saja saya berkenan, Hendra. Senang sekali kalau ada orang seperti kamu yang serius dengan anak saya." "Bu!" Evana menoleh dengan nada protes. Namun ibunya tak menggubris. "Sudah, Van. Ini kesempatan bagus Hendra ini orang terhormat, usahanya maju, anak-anaknya juga sudah besar. Kau tidak perlu khawatir." Evana ingin berteriak, ingin menolak sekeras-kerasnya. Tapi tatapan orang-orang di sekitar membuatnya terkunci. Ia hanya bisa menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. ••• Sejak hari itu, Evana merasa dunianya runtuh. Setiap kali ia menatap cermin, ia merasa asing dengan bayangan dirinya sendiri. Biasanya ia dikenal sebagai perempuan ceria, luwes, selalu penuh semangat. Tapi kini wajahnya pucat, matanya sembab karena sering menangis diam-diam di kamar. Di kantor, ia lebih banyak diam. Teman-temannya mulai menyadari perubahan itu. Bahkan Sinta, sahabat terdekatnya, berkali-kali mencoba bertanya. "Van, kamu kenapa sih? Biasanya cerewet banget, sekarang kok kayak kehilangan jiwa?" Evana hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Sin. Lagi banyak pikiran aja." Padahal dalam hati, ia merasa nyaris gila. Bagaimana mungkin ibunya bisa menerima tawaran lamaran tanpa persetujuannya? Bagaimana mungkin ia dijodohkan dengan duda beranak tiga yang sama sekali tidak ia cintai? Setiap malam, ia hanya bisa menangis sambil memeluk bantal. Yang tidak Evana sadari adalah ada seseorang yang memperhatikan perubahan dirinya. Elvano. Pria itu sebenarnya tidak pernah benar-benar peduli dengan tingkah Evana yang sering genit dan berusaha mendekatinya. Baginya, Evana hanya rekan kerja yang agak cerewet. Tapi beberapa hari terakhir, ia menyadari sesuatu yang berbeda. Evana yang biasanya heboh, kini lebih sering menyendiri. Ia tak lagi menggodanya dengan secangkir kopi di meja. Tak ada lagi komentar konyol atau senyum-senyum iseng yang sering membuatnya jengah. Dan Elvano diam-diam merasa kehilangan akan itu semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD