Ruang tamu itu masih menyisakan hening setelah kepergian Elvano beberapa saat yang lalu. Kotak perhiasan yang dibawa Elvano tergeletak di atas meja, memantulkan cahaya lampu yang terang. Tapi bukannya menghadirkan kebahagiaan, benda-benda mewah itu justru menjadi bara api dalam rumah keluarga kecil itu.
Pak Hadi duduk dengan wajah penuh pikir. Di kursi sebelahnya, Bu Ratna menyilangkan tangan di d**a, tatapan matanya menusuk ke arah Evana yang duduk menunduk di sofa seberang.
“Va,” suara Bu Ratna pecah, dingin namun penuh tekanan, “sekarang Ibu ingin dengar secara jujur dari mulutmu. Siapa sebenarnya Elvano itu?”
Evana menggenggam erat ujung bajunya. Hatinya berdegup keras, seakan jantungnya melompat sampai ke tenggorokan. “Aku sudah bilang, Bu. Elvano itu… rekan kerjaku. Dia bagian IT di kantorku.”
Suara tawa kecil, getir, lolos dari bibir Bu Ratna. “Bagian IT? Hanya staf IT biasa? Kau pikir Ibu akan percaya omongan seperti itu?” Matanya melirik sinis pada kotak perhiasan yang masih terbuka. “Lihat berlian ini, Va. Kau kira Ibu tidak tahu? Berlian semacam ini harganya ratusan juta. Bahkan rumah kita ini tak sebanding dengan harga satu cincin yang ia berikan. Bagaimana mungkin seorang karyawan biasa bisa membeli itu?”
Evana menelan ludah. Ia memang tidak punya jawaban. Hanya Elvano sendiri yang bisa menjelaskan.
“Ibu curiga…” lanjut Bu Ratna, kali ini suaranya meninggi, “jangan-jangan kau menyewa pria itu untuk berpura-pura jadi pacarmu. Supaya terbebas dari lamaran Hendra.”
“Tidak, Bu! Aku tidak berbohong!” Evana langsung mengangkat wajahnya, suaranya meninggi karena terdesak. “Aku tidak pernah menyewa siapa pun. Elvano benar-benar nyata. Dia… dia melamarku.”
“Melamar?” Bu Ratna berdecak, lalu berkata dengan lantang. “Pernikahan bukan permainan, Evana! Bukan main-main! Selama ini kau tidak pernah memperkenalkan siapa pun pada Ibu. Tiba-tiba, malam ini, datang seorang pria asing, mengaku rekan kerja, langsung melamarmu. Itu konyol! Ibu tidak bisa menerima alasan semacam itu.”
Pak Hadi yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bersuara. Suaranya berat dan tenang, tapi menyayat telinga Evana. “Apa yang Ibumu katakan benar, Va. Ayah pun tidak bisa percaya begitu saja. Apalagi, pria itu jelas-jelas bule. Kau yakin dia seiman dengan kita?”
“Ayah…” suara Evana mulai bergetar, “tapi tadi Ayah sudah menerima lamaran Elvano. Ayah bahkan menyambutnya dengan baik.”
“Ayah hanya menjaga etika sebagai tuan rumah,” sahut Pak Hadi cepat. “Tapi setelah dipikirkan lagi, Ayah ragu. Bagaimana mungkin kita menikahkan putri kita dengan orang yang kita tak tahu asal-usulnya?”
Evana menggigit bibirnya. Air mata mulai berkaca-kaca. “Tapi Ayah tidak bisa mempermainkan Elvano begitu saja. Ia datang dengan niat baik. Ia membawa cincin, membawa hantaran. Itu bukti keseriusannya.”
Pak Hadi menghela napas panjang. “Kalau begitu, buktikan. Minta dia bawa keluarganya kemari. Ayah ingin bertemu langsung dengan orang tuanya. Kalau dia sungguh-sungguh, itu bukan masalah.”
Tubuh Evana menegang. Ia tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana bisa ia meminta hal itu, sementara nomor telepon Elvano saja tidak ia miliki?
“Sudah jelas,” Bu Ratna menepuk tangannya di udara. “Lamaran Hendra akan tetap Ibu terima. Hendra jelas asal-usulnya, mapan, dewasa. Kau hanya menolak karena statusnya duda. Itu bodoh, Va! Hendra bisa menjamin hidupmu!”
“Bu, aku tidak mau menikah dengan Hendra!” teriak Evana akhirnya, air matanya pecah. “Aku tidak mencintainya. Aku tidak bisa, Bu!”
“Cinta?” Bu Ratna mendengus. “Cinta bisa tumbuh setelah menikah. Jangan jadi gadis keras kepala. Kau sudah dua puluh tujuh tahun, Va! Ibumu dulu menikah di usia dua puluh. Lihat kakakmu, sudah bahagia dengan suami dan anaknya. Kau? Setiap hari hanya berangkat kerja, pulang, tanpa masa depan yang jelas.”
“Bu, tolong…” suara Evana pecah. Ia tak sanggup lagi menahan beban.
Pak Hadi bangkit dari kursi. “Cukup, Ratna. Biarkan Evana masuk kamar. Kita akan bicarakan lagi setelah dia bisa tenang.”
Dengan wajah penuh air mata, Evana berlari ke kamar. Ia menutup pintu keras-keras, lalu menjatuhkan diri di ranjang.
Di kamar, tangisnya tak terbendung. Dadanya terasa sesak. Ia menatap kotak perhiasan yang tadi sempat ia bawa masuk, kini tergeletak di meja rias. Cincin berlian itu berkilau seolah mengejeknya.
“Ya Tuhan… apa yang harus kulakukan?” gumamnya.
Tangannya meraih ponsel. Hanya ada satu nama yang terpikirkan: Sinta. Ia mengetik cepat, lalu menekan panggilan.
“Hallo, Va?” suara Sinta riang seperti biasa. “Kok malam-malam nelepon? Ada apa?”
Evana tak bisa menahan isak tangisnya. “Sin… aku butuh bantuanmu. Kau punya nomor Elvano, kan?”
Sinta terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Hah? Nomor Elvano? Kenapa kau tiba-tiba nanyain itu?”
“Sin, tolong jangan bercanda. Ini penting,” suara Evana bergetar. “Kalau kau punya, kasih tau aku."
“Va…” suara Sinta terdengar ragu, “aku enggak punya, sumpah. Aku enggak pernah simpan nomornya. Elvano itu kan orangnya dingin banget. Mana pernah mau dekat sama siapa-siapa.”
Hati Evana semakin menciut. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis.
“Eh, tapi serius, Va,” Sinta tiba-tiba terkekeh, “kau naksir dia, ya? Pantas saja jadi cegil di depan Elvano?”
“Sin! Aku serius!” bentak Evana di tengah tangis. “Aku… aku benar-benar butuh nomornya. Aku… aku tidak bisa menjelaskan, tapi ini soal hidupku!”
Sinta terdiam, kali ini benar-benar serius. “Astaga, Va… kau kenapa sih? Kau bikin aku khawatir.”
Evana mengusap wajahnya, mencoba mengendalikan emosi. “Aku… aku tidak bisa cerita sekarang. Tolong, kalau kau punya nomornya, berikan padaku. Atau tanyakan pada teman lain di kantor. Aku mohon.”
“Va, sumpah aku enggak punya. Dan aku yakin anak-anak IT juga enggak ada yang punya. Dia selalu jaga jarak. Kau tahu sendiri kan?”
Evana terdiam. Jantungnya berdegup semakin kencang. Jadi benar, ia benar-benar tak punya jalan untuk menghubungi Elvano.
•••
Malam itu, Evana gelisah luar biasa. Ia bolak-balik di kamar, menggenggam ponsel yang tak berguna. Ia ingin menelpon Elvano, tapi nomornya tak ada. Ia ingin mendatangi rumahnya, tapi bahkan alamatnya pun ia tak tahu.
“Kenapa aku begitu bodoh…” isaknya. “Kenapa aku tidak pernah menanyakan hal-hal kecil seperti itu?”
Jam dinding berdetak, menambah tekanan di d**a. Esok malam, Hendra akan datang membawa keluarganya. Ibunya sudah menerima lamaran itu. Jika Elvano tidak muncul dengan keluarganya, maka segalanya akan berakhir.
Evana menutup wajah dengan kedua tangan. Rasa panik, takut, dan bingung bercampur jadi satu.
Hanya satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa menikah dengan Hendra.
Dan ia hanya punya satu harapan—Elvano.
Tapi bagaimana bisa ia menggantungkan harapan pada seseorang yang bahkan tak bisa ia hubungi?
•••
Pagi menjelang. Matahari bersinar cerah, kontras dengan suasana hati Evana yang gelap gulita. Ia duduk di meja makan, menunduk tanpa selera, sementara Bu Ratna sibuk menelpon keluarga besar, mengabarkan tentang acara lamaran Hendra malam nanti.
Pak Hadi sesekali melirik putrinya, tapi tak berkata apa-apa.
Evana merasa seperti seorang tahanan yang sudah divonis mati, hanya menunggu waktu eksekusi.
Dalam hati, ia berdoa lirih. Tolong, Elvano… datanglah sebelum terlambat.