BAB 3

1086 Words
Suasana ruang kerja Elvano sore itu dipenuhi aroma kopi hitam yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir. Di balik kaca besar yang menghadap ke arah kota Jakarta, lampu-lampu mulai menyala perlahan, menandai datangnya senja. Elvano duduk di kursi kulit berwarna hitam pekat, salah satu tangannya memegang cangkir, sementara tangannya yang lain menelusuri berkas-berkas di meja. Wajahnya tegas, dingin, dan misterius seperti biasa. Di sampingnya, berdiri seorang pria berkemeja gelap dengan tatapan penuh hormat—dialah Dario, tangan kanan yang selama ini setia menemaninya. “Kita sudah menekan tiga perusahaan minggu ini,” ujar Dario pelan, suaranya dalam namun penuh kewaspadaan. “Besok giliran mereka menanggapi. Kalau masih berani menolak, mereka harus tahu konsekuensinya.” Elvano meneguk kopinya, lalu menaruh cangkir dengan hati-hati. “Aku tidak suka ancaman berlarut-larut. Selesaikan cepat, jangan beri mereka ruang untuk bernapas. Dunia ini tidak pernah memberi belas kasihan pada orang yang ragu.” Dario mengangguk. “Baik, Tuan.” Suasana kembali hening. Hanya suara jam dinding dan deru mobil dari jalanan jauh di bawah sana. Hingga tiba-tiba, ponsel Elvano yang tergeletak di meja berdering. Nada dering itu khas—hanya digunakan untuk orang-orang tertentu dari rumah keluarganya. Elvano menatap layar. Nama yang tertera: Lucia – Kepala Pelayan. Dahi Elvano berkerut. Jarang sekali Lucia menelpon langsung, apalagi di jam-jam seperti ini. Ia segera menggeser layar, menempelkan ponsel ke telinga. “Luci?” suaranya datar, meski ada ketegangan tersirat. Suara di seberang terdengar agak terburu-buru. “Tuan, mohon maaf sudah mengganggu. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa Ibu Anda sedang sakit. Kondisinya mendadak menurun sore ini.” Elvano seketika menegang. Matanya yang tajam langsung berubah penuh kekhawatiran. “Apa maksudmu sakit? Apa yang terjadi?” “Suhu tubuh beliau tinggi, terlihat sangat lemah. Dokter keluarga sudah dipanggil, tapi beliau terus menanyakan Anda... beliau ingin sekali melihat Anda.” Suara Lucia terdengar bergetar, menunjukkan betapa serius situasinya. Tanpa sadar, Elvano berdiri dari kursinya. “Aku akan segera ke sana.” Telepon ia tutup. Tangannya mengepal, sementara Dario memperhatikan perubahan drastis di wajah tuannya. “Ada apa, Tuan?” tanya Dario hati-hati. Elvano menatap lurus ke depan, nadanya dingin namun sarat emosi. “Ibuku sakit. Aku harus pergi sekarang.” Dario menunduk. “Mengerti. Saya akan menyiapkan mobil.” *** Perjalanan menuju rumah besar keluarga Elvano terasa panjang. Di dalam mobil hitam yang melaju kencang, Elvano bersandar dengan rahang mengeras. Ingatannya berloncatan ke masa kecil—wajah lembut ibunya, suara penuh kasih yang selalu menjadi satu-satunya cahaya di tengah kerasnya kehidupan bersama sang ayah. “Mom...” gumamnya lirih, sesuatu yang jarang sekali keluar dari bibirnya. Dario melirik melalui spion, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu, di balik sosok keras dan dingin Elvano, ada satu titik rapuh yaitu ibunya, Amara. Setibanya di rumah besar itu, para pelayan segera menyambut. Lucia sendiri sudah menunggu di depan pintu, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. “Tuan muda, syukurlah Anda datang.” “Di mana Mom?” suara Elvano terdengar tegas, meski hatinya bergolak. “Beliau di kamar, Tuan.” Tanpa membuang waktu, Elvano segera menaiki tangga besar dengan langkah lebar. Pintu kamar berwarna putih gading ia dorong perlahan. Di sana, terbaring seorang wanita anggun meski usianya sudah tidak muda lagi. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, namun senyum hangat langsung merekah ketika melihat siapa yang baru masuk. “El,” suara Amara lirih tapi penuh kasih. Nama panggilan khusus dari sang mama yang membuat Elvano tidak suka ketika ada orang lain yang menyebutnya dengan El saja. Karena bagi Elvano, panggilan itu hanya boleh ibunya yang menyebutnya. “Mom.” Elvano berjalan cepat ke sisi ranjang, lalu duduk di kursi kayu yang ada di sana. Matanya menatap ibunya lekat-lekat. “Kenapa tidak bilang kalau sakit?” Amara mengangkat tangannya pelan, menyentuh wajah putranya. “Kau di Jakarta rupanya. Mom pikir kau masih di London.” Elvano menggenggam tangan itu erat-erat. “Kalau aku tahu lebih cepat, aku pasti datang segera.” Wanita itu tersenyum tipis. “Mom baik-baik saja. Hanya sedikit lemah. Tapi melihatmu di sini... itu sudah cukup membuatku lebih baik.” Elvano menunduk, mencium punggung tangan ibunya. “Mom, jangan pernah buat aku khawatir seperti ini.” Keheningan sejenak. Hanya suara napas Amara yang berat terdengar. Hingga akhirnya, ia berkata dengan nada serius namun penuh kelembutan. “ ... ada satu hal yang Mom ingin kau lakukan untukku.” Elvano mengangkat wajah, tatapannya penuh perhatian. “Apa pun, Mom. Katakan.” Amara menarik napas dalam-dalam. “Menikahlah.” Mata Elvano membesar, jelas tidak menyangka permintaan itu keluar di tengah kondisi seperti ini. “Mom...” “Mom ingin melihatmu bahagia, Elvano. Kau terlalu lama sendirian, terlalu lama tenggelam dalam dunia gelap bersama ayahmu. Mom tidak ingin kau terus seperti itu. Kau butuh seseorang yang bisa menarikmu keluar... memberi cahaya dalam hidupmu.” Elvano terdiam. Kata-kata itu menusuknya. Dunia gelap—itulah warisan sang ayah, bisnis kotor, permainan kuasa yang penuh darah dan pengkhianatan. Selama ini ia bertahan di dalamnya, membangun reputasi dingin tak tersentuh. Namun bagi Amara, semua itu adalah belenggu yang harus dilepaskan. “Mom tahu kau kuat,” lanjut Amara pelan. “Tapi kekuatan tanpa cinta... hanya akan membuat hatimu hampa.” Elvano menunduk, menggenggam lebih erat tangan ibunya. “Aku tidak bisa meninggalkan dunia itu begitu saja, Mom. Semua orang melihatku sebagai penerus Ayah. Jika aku pergi, mereka tidak akan diam.” “Biarlah orang lain mengurusinya,” Amara menyahut dengan lembut tapi tegas. “Hidupmu bukan hanya tentang melanjutkan bayang-bayang ayahmu. Hidupmu juga tentang kebahagiaanmu sendiri.” Mata Elvano memerah, sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Mom...” Amara mengusap pipinya dengan jemari yang lemah. “Tolong, Nak. Berjanjilah pada Mom. Carilah seseorang yang benar-benar bisa mencintaimu. Menikahlah... dan tinggalkan dunia yang gelap itu. Mom tidak minta banyak. Hanya ingin melihatmu hidup tenang sebelum Mom menutup mata.” Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Elvano tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, merasakan beban yang selama ini ia simpan semakin menekan d**a. Akhirnya, ia berkata dengan suara bergetar halus, “Aku berjanji akan memikirkannya, Mom. Untukmu... aku akan mencoba.” Amara tersenyum lega, meski matanya terlihat berkaca-kaca. “Itu sudah cukup. Mom percaya padamu.” Elvano membungkuk, memeluk ibunya dengan hati-hati. Hanya di pelukan wanita inilah ia bisa merasa kecil, rapuh, dan manusiawi. Di luar kamar, Luciano dan Dario berdiri bersebelahan. Luciano menghela napas lega melihat pertemuan itu, sementara Dario menatap pintu dengan ekspresi sulit dibaca. Ia tahu, jika Elvano benar-benar mengikuti permintaan ibunya, maka dunia yang selama ini mereka bangun bisa saja runtuh. Namun bagi Dario, satu hal tak terbantahkan: cinta seorang ibu mampu mengguncang tembok setegar apa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD