BAB 2

1301 Words
"Anak perawan jam segini baru bangun," sindiran yang hampir setiap hari Evana dengarkan dari mulut ibunya. Iya, ibu kandungnya yang julid dan suka mengata-ngatainya. Evana tak merespon saking seringnya ia mendengar hingga kupingnya sudah kebal dengan caci maki yang sering ibunya lontarkan. Wanita yang tahun ini menginjak usia dua puluh delapan tahun itu justru mencomot tempe sampai akhirnya sang ibu menepis tangannya. "Dasar jorok. Mandi sana. Baru bangun sudah mau makan saja." "Apa sih, Bu. Cuma ambil tempe doang. Sebiji, Bu." "Mandi Evana. sudah jam berapa ini. Memangnya kamu nggak kerja?” Kepala Evana mendongak demi bisa melihat pada jam yang menempel di salah satu sisi ruang tamu. Matanya terbelalak. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh. Astaga! Dia harus segera mandi jika tidak mau terlambat pergi kerja pagi ini. Dengan gerakan cepat, perempuan itu menyambar handuk di gantungan lalu melenggang masuk ke dalam kamar mandi di dekat dapur. Mencoba menulikan telinga dari gerutuan ibunya yang tak habis-habis. “Evana … Evana! Apa kamu tidak malu jadi perempuan tapi bangun siang terus! Mau sampai umur berapa seperti itu?” Evana mendengus dari balik pintu kamar mandi. “Lihat tuh kakakmu, umur dua puluh sudah nikah, umur dua puluh dua sudah punya anak. Sekarang hidupnya tenang, suaminya sayang, anak-anaknya sehat. Kamu? Umur dua puluh delapan masih tidur kayak babi, pacar saja nggak punya!” Evana menarik napas panjang. Kata-kata itu sudah sering ia dengar sampai kupingnya kebal. Hingga pada akhirnya wanita itu menyalakan kran air, meredam ocehan ibunya yang tak kunjung berhenti. Tiga puluh menit kemudian, Evana sudah berada di ruang makan dengan pakaian kerja yang rapi. Namun, lagi-lagi ibunya bersuara. “Hari minggu ada acara keluarga. Sepupumu mau bertunangan. Kamu jangan ke mana-mana dan temani ibu datang ke acara itu.” Evana memutar bola matanya malas. “Duh, Bu. Aku nggak bisa janji.” “Apalagi alasanmu kali ini, Van. Kamu itu selalu saja malas jika bertemu dengan keluarga besar kita. Padahal acara seperti ini dapat menyambung tali silaturahmi. Jika kelak yang tua-tua sudah tidak ada, yang muda-muda seperti kamu ini biar tau siapa saja saudara kita.” Jujur, Evana sangat malas menghadiri acara-acara seperti itu karena yang akan dibahas juga tak jauh-jauh dari soalan jodoh dan akhirnya dia lagi yang kena buli. “Aku malas, Bu. Pasti nanti yang ditanyakan sama mereka mana calonmu?” “Ya kamu sih kenapa nggak nikah-nikah.” “Dipikir ibu nikah itu gampang?” “Makanya kamu itu jangan nutup diri. Kerja mulu yang diutamakan. Cari jodoh, Va. Cari suami. Masak iya kamu kerja di perusahaan besar yang kantornya ada di Gedung tinggi banyak tingkatnya, nggak satu pun laki-laki yang nyantol sama kamu. Heran,” ucap ibunya sarkas. “Bu, jangan ribut dulu pagi-pagi. Biarkan anaknya siap-siap kerja,” terdengar suara ayahnya dari ruang tamu. Suara itu berat, pelan, penuh ketenangan khas seorang pria pensiunan yang sudah kenyang pengalaman hidup. Ayahnya, Pak Hadi Santoso, memang selalu menjadi penyeimbang. Kalau ibunya seperti api yang tak pernah padam, ayahnya justru ibarat air yang selalu berusaha meredam. “Tapi, Yah,” suara ibunya masih keras, “sampai kapan kamu mau diam saja? Anak kita ini umur dua puluh delapan tahun, jangankan suami, pacar saja tidak punya! Aku malu sama tetangga, malu sama keluarga besar. Dikiranya anak kita nggak laku!” Evana menudengus keras. Ia tak tahan lagi mendengar ocehan itu. Tak jadi sarapan, Evana memutuskan untuk pamit dan segera berangkat. “Aku berangkat dulu,” ucap Evana lalu beranjak berdiri dan menyampirkan tas di bahunya. Ayahnya yang kini duduk di kursi makan bertanya, “Loh, nggak sarapan dulu, Va?” “Nggak, Yah. Takut terlambat. Aku berangkat.” *** Begitu motor ojek online berhenti di depan gedung kantor yang menjulang tinggi dengan dinding kaca berkilau, Evana langsung melompat turun. Tanpa pikir panjang, ia lalu berlari kecil melewati pintu putar lobi. Suara hak sepatunya berdetak cepat di lantai marmer. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai sedikit berantakan, membuatnya tampak seperti pemeran drama Korea yang baru saja kabur dari kejaran bos mafia. Matanya langsung tertuju pada lift di ujung lobi. Ivana semakin panik. Kalau sampai tertinggal, ia bisa terlambat beberapa menit lagi. “Ya Allah, tungguin dong!” serunya refleks sambil mempercepat langkah. “Tunggu!” teriaknya pada siapa pun itu yang baru saja masuk ke dalam lift. Pintu lift sudah mulai bergerak menutup ketika sebuah tangan terulur dari dalam, menahan sensor. Pintu pun kembali terbuka. Evana nyaris terengah-engah ketika akhirnya berhasil masuk. Begitu matanya menatap ke arah sang penolong, jantungnya berdetak tak karuan. Elvano. Lelaki yang terkenal dingin, selalu berpakaian rapi dengan kemeja polos, celana bahan gelap, dan sepatu kulit tanpa cela. Sosok yang selalu duduk di sudut ruangan IT dengan wajah serius, jarang bicara, tapi entah mengapa pesonanya justru semakin terpancar. Tinggi, rahang tegas, hidung mancung khas keturunan blasteran, dan sorot mata abu-abu yang menawan tapi juga sedikit mengintimidasi. “Terima kasih, El. Nanti aku traktir kamu kopi,” ucap Evana spontan. Senyumnya merekah, bahkan ia dengan nekat mengedipkan sebelah mata. Evana sungguh berani melakukan itu semua pada karyawan baru yang bahkan belum genap satu bulan bekerja di kantornya. Elvano hanya diam. Ia kembali menekan tombol lantai tujuh tanpa menoleh. Wajahnya tetap datar, seolah tak ada yang baru saja terjadi. Lift mulai bergerak naik. Suasana mendadak hening, hanya terdengar dengung mesin dan derit halus kabel. Evana mencoba mengatur napasnya yang masih berantakan akibat berlari. Untuk mengusir rasa kikuk, ia mulai berbicara lagi. “El, kamu tuh kayak pahlawan loh. Kalau nggak ditahan tadi, aku pasti ketinggalan lift, terus kena marah sama Bu Rani. Kamu tau kan, kalau telat satu menit aja dia udah kayak sirine kebakaran.” Elvano melirik sekilas, tapi tidak menanggapi. Kedua tangannya tetap santai berada di saku celana. Evana menelan ludah. Oke, minimal dia dengerin. “Eh, ngomong-ngomong, kamu suka kopi hitam apa cappuccino?” tanyanya lagi, mencoba menggali percakapan. “Elvano.” Suara itu terdengar pelan namun tegas. Evana mengerjap. “Hah?” “Nama saya bukan El. Tapi Elvano.” Ia menoleh sepersekian detik, sorot matanya dingin tapi tenang. Sungguh, Elvano tidak suka ada orang lain yang menyebut namanya hanya dengan panggilan pendek seperti itu karena yang boleh memanggilnya El, hanya ibunya. Satu-satunya wanita yang ia cintai untuk saat ini. Evana terdiam. Pipinya merona merah. Oke, itu tadi teguran atau klarifikasi? Senyumnya kaku, tapi ia buru-buru menutupi rasa malu. “Yaelah, El. Mau El atau Elvano sama saja. Kelamaan kalau harus nyebut nama lengkap. Yah, meski kedengeran lebih keren sih kalau panggil nama lengkap.” Tak ada balasan lagi. Elvano kembali menatap angka digital yang menunjukkan lantai lima. Suasana kembali hening. Evana berusaha mati-matian menahan diri agar tidak mengoceh lebih banyak. Tapi lidahnya terasa gatal. Duh, kalau diem gini malah makin awkward. Akhirnya, ia kembali buka suara. “Kamu nggak capek ya kerja melulu? Aku sering lihat kamu pulang paling terakhir. Jangan-jangan kamu tinggal di kantor?” Elvano menarik napas pendek. “Fokus kerja, bukan urusan orang lain.” Kalimat itu sederhana, tapi cukup membuat Ivana tercekat. Namun alih-alih tersinggung, ia justru semakin penasaran. Wow, dingin banget. Tapi kenapa makin bikin aku pengen deketin dia ya? Ting. Pintu lift terbuka di lantai tujuh. Evana buru-buru keluar bersama Elvano. Ia menoleh sambil tetap tersenyum, mencoba menutupi rasa gugup. “Oke, catet ya. Nanti aku beliin kamu kopi. Anggep aja hadiah karena udah jadi malaikat penyelamatku pagi ini.” Elvano hanya berjalan lurus tanpa menanggapi, menuju ruang kerjanya yang mana perusahaan tersebut memang hanya menggunakan dua lantai dari sekian puluh lantai yang ada di dalam gedung ini. Dan baik Elvano dan Evana, bekerja di dalam satu lantai yang sama, hanya terhalang oleh partisi-partisi di antara kubikel satu dengan yang lainnya. Bukannya kesal karena diabaikan, Evana justru cekikikan merasa lucu saja bisa menggoda karyawan baru yang gantengnya kebangetan. Bahkan saat berbelok menuju meja kerjanya berada, Evana tak menghiraukan kebingungan Sinta yang tengah memperhatikannya cengar cengir sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD