“Maut hanya sedang menunggu waktu, jeda singkat bisa saja siksaan perlahan.” Noi mengucapkan kalimat tersebut dengan jelas ketika Adrian membawanya pada Anggriawan Saputra, Komisaris Jenderal Polisi yang tampaknya masih merupakan teman sang ayah.
Wanita itu mengutip salah satu kalimat seorang pembunuh berantai yang membantai sekitar lima ratus nyawa tak berdosa, baru tertangkap setelah dua puluh tahun berlalu. Mengungkap kalimat tersebut untuk menjelaskan situasi sesungguhnya, Tato bukan sedang bermain-main. Aksinya bisa menjadi satu kejahatan tak terpecahkan jika polisi lambat bergerak.
“Kasus ini berada di bawahku sebelumnya, tapi atasan menyerahkan pada Handoko dan timmu. Apa kalian menemukan hal janggal?” Pertanyaan dari Anggriawan membuat satu anggukan cepat berasal dari Adrian, tak ada yang perlu disembunyikan lagi. Percaya pada Bell menjadi satu-satunya pilihan saat ini, sementara ada rasa aneh dalam hati. Namun, ia tetap melakukan perintah identitas lain dari Noi.
“Istrimu sudah mengatakannya padaku, tapi aku mengabaikan. Ternyata dia memang ditakdirkan terlibat pada kasus ini sampai akhir. Beruntung memiliki wanita bernalar kritis sepertinya, kalian partner terbaik.” Anggriawan mengatakan satu hal yang sangat mengejutkan, ini cukup menarik untuk terus disimak oleh keduanya.
Baik Adrian maupun Eunoia hanya bisa saling pandang, ini pertemuan pertama mereka. Jika Anggriawan mengatakan pernah melihat dan berkomunikasi dengan sang wanita, artinya sosok lain telah lebih dulu terlibat dengan sang Komisaris Jenderal. Jangan-jangan Bell!
“Saya sangat tersanjung, Bapak masih mengingat celoteh tak penting dari warga sipil.” Noi bersikap natural, menyiasati situasi menjebak tersebut. Tampak sudah terbiasa berada pada situasi kacau yang ditimbulkan kepribadian lainnya. Improvisasi keren.
“Nona Joan Radiansyah bahkan menyebut nama lain dari putra Jenderal Oktavano Sena, padahal kita semua tahu jika beliau hanya memiliki satu anak laki-laki yang sekarang menjadi asisten pribadi pelukis terkenal.” Lagi-lagi penjelasan yang sangat tidak masuk akal, kenapa kembali menyebutkan nama baru?
Wajah Noi membeku, melirik Adrian yang hanya tersenyum tak mengerti. Siapa yang datang? Putra Jenderal Polisi dan asisten pelukis terkenal, mungkinkah Anggara yang dimaksud? Bell pasti mengetahui sesuatu, identitas lain dari dirinya tentu menyadari satu rahasia besar.
“Maksud Bapak, Anggara?” tanya Adrian dengan nada cukup kaget karena memang dia hanya mengetahui tentang sosok tersebut, sementara informasi pribadinya tidak menyebutkan apa pun selain nama wali.
“Benar Anggara Oktavano, putra Jenderal Okta.” Jawaban yang sangat tidak masuk akal, bagaimana dia melewatkan informasi penting tersebut?
Keduanya kembali saling pandang, mulai menemukan titik terang. Jawaban dari setiap keanehan yang terjadi, di mana kecurigaan perlu diletakkan. Jika memang demikian, semua jelas. Kenapa kasus pembunuhan ini sangat rumit? Jadi, sang penguasa mengambil peran penting demi melindungi sang buah hati.
“Lucu sekali ketika Anda mengatakan Gara kembar karena setahu saya, tidak ada anak lain selain dia di keluarga Pak Okta. Mungkin memang sedikit aneh, putra jenderal polisi justru menginginkan profesi seniman. Namun, kita tak pernah tahu bakat seseorang. Apa kalian masih saling berkomunikasi? Ternyata jodoh tidak bisa dianalisis, Nona Eunoia justru menikah dengan putra Jaya Angsama.” Celoteh Anggriawan disertai tawa senang sembari memerhatikan wajah Noi dan Adrian bergiliran, “selamat untuk pernikahan kalian, bagaimana pun jodoh adalah hak mutlak Tuhan. Tak dapat anak jenderal, berhasil dipersunting putra sulung anggota dewan. Nasib Anda memang bagus.”
Lagi-lagi seloroh tersebut membuka rahasia lain, terkait Anggara yang tidak diprioritaskan dalam penyelidikan. Noi pun merasa aneh, dia tak merasa dekat dengan laki-laki itu. Seharusnya Afriz, kenapa berubah menjadi Anggara?
“Tampaknya kalian begitu akrab di masa lalu?” Adrian ikut tertawa, bersikap mengikuti arus demi mengetahui hal lain yang tampaknya akan membuka jalan pada kebenaran lain. Semoga bukan kenyataan menyakitkan, ia enggan mendapat beban lebih berat lagi.
“Tiga kali bertemu di rumah pribadi Pak Okta, istrimu bersahabat baik dengan putra jenderal. Jadi, kamu bisa memintanya untuk dapat promosi lewat jalur orang dalam.” Tanggapan blak-blakan yang menjengkelkan, Adrian mulai paham alasan sang komisaris tak dihormati bawahan. Sikap macam apa yang kini ditunjukkan? Benar-benar tidak layak.
Namun, satu hal yang sangat membuat dirinya penasaran, siapa yang terlibat hubungan dengan Anggara? Dia mulai melirik sosok yang terlihat gelisah, apa Noi mulai memiliki kepanikan karena menyadari hal salah dalam dirinya? Jadi, perempuan itu memang terlibat dalam kejahatan paling tak manusiawi?
***
Noi mengetuk-ngetukkan ujung pulpen pada kedua bibir. Berpikir keras atas apa yang dikatakan Anggriawan, siapa yang memiliki hubungan dekat dengan Anggara? Bell tak mungkin, dia sudah begitu terikat pada Afriz. Daisy pun mustahil, gadis lugu itu hanya memiliki satu nama terbaik, Jev Indra. Apa kemungkinan terakhir? Nirmala.
Nirmala dan Anggara, sosok yang tidak begitu ia kenal justru memiliki hubungan terbaik dengan salah satu kepribadiannya. Dia memang mencurigai ketika posisi pemuda itu menjadi begitu dekat dengan Afriz, padahal sebelumnya tidak begitu. Sang bos begitu kasar. Jadi, seniman gila itu menjelma Malaikat ketika tahu latar belakang bawahannya? Dasar penjilat!
Anggriawan mengatakan tentang putra lain dalam keluarga Oktavano, Noi lebih tertarik pada penjelasan tersebut. Jika benar Nirmala dekat dengan Anggara, memang sudah menjadi satu hal wajar jika mengetahui kebenaran tersembunyi di kediaman keluarga tak tersentuh tersebut. Namun, apa yang mereka rahasiakan?
Setiap gerakan tim Adrian selalu mengalami kendala, bahkan Dirga diculik. Pasti sang Jenderal tahu betul dalang di balik pembunuhan berantai, hal tersebut memicu berbagai keanehan selama penyelidikan berlangsung. Sangat wajar, kaitan yang sempurna.
Kemungkinan kecurigaan tentang sosok lain di balik Anggara benar, ia sempat curiga jika laki-laki muda tersebut memiliki gangguan kepribadian seperti dirinya. Namun, kemungkinan lain lebih tepat, kembaran. Pasti ada saudara lainnya.
Noi melompat dari kursi, ia harus menemui Adrian. Pasti ada hal terlewatkan, memberitahukan kemungkinan yang sudah diyakini. Menuruni anak tangga tergesa-gesa, melompati tiga anak tangga, dan terpeleset. Hampir terjatuh, tetapi beruntung ada yang menangkap tubuhnya. Masih bisa bernapas lega, tak jadi terjatuh.
“Halo, Sweet Devil.” Sapaan asing yang justru mendebarkan, Noi mengangkat wajah hingga beberapa helai rambut menyentuh wajah si penyapa. Kedua netra wanita itu membola, menolak untuk menyadari kenyataan di depan mata. Namun, dia benar-benar merasa bergejolak ketika tatap bertemu di udara.
Sosok yang ingin dilaporkan pada Adrian justru telah menangkap tubuhnya, seolah keluar dari benak. Anggara muncul begitu saja, di dalam rumah sang polisi. Tersenyum lebar penuh keakraban, cukup mengganggu.
Anehnya, tubuh Noi mengenali perlakuan dari sosok asing tersebut, tampak akrab, dan tak masalah. Ada keinginan menolak, tetapi sisi lain merasa begitu nyaman. Betah berlama-lama berada dalam dekapan Gara.
Ada tatap senang, sorot penuh kerinduan begitu jelas dilaserkan. Ekspresi macam apa ini? Mereka hanya sebatas kenal, tidak mungkin dirinya begitu dalam memahami Anggara. Namun, perasaan nyaman membingkai begitu kuat. Mendadak ada gejolak hebat, sesak yang tak biasa menyeruak. Tersentak kuat dalam dekapan, kesadarannya terganggu.
Di ambang kesadaran yang terkikis, ia melihat seringai tipis di wajah Anggara. Penuh kemenangan, satu belaian lembut menyingkap rambut-rambut yang hampir menutupi sebagian wajah. Noi semakin mencoba tetap sebagai dirinya, berharap Adrian muncul. Namun, kelopak mata begitu sulit diangkat.
“Noi!” teriakan ini disertai satu gerakan merebut paksa tubuh, perpindahan cepat yang sukses. Namun, berhasil melenyapkan kesadaran sang wanita yang sempat menangkap huruf-huruf kecil di punggung jari Gara. Lima abjad di masing-masing jemari, D-E-M-O-N.
***