Luka Membawamu Padaku

1025 Words
Tiga tahun yang lalu. "Argh!" Jade mengerang sembari berlari dengan tenaga yang masih tersisa. Gadis bertubuh mungil itu terus berlari menyusuri atap sebuah gedung guna menghindari kejaran dari sekelompok orang. Sesekali kepalanya menengok ke arah belakangan untuk melihat situasi. Peluh hampir membanjiri seluruh outfit hitam ketat yang dikenakan Jade akibat berlari sembari menahan luka segar di perutnya. Bagus! Sepertinya mereka tertinggal, Jade bergumam lega dalam batin saat memastikan segerombolan yang mengejarnya telah tertinggal jauh di belakang. "Jade, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?" Suara khas Bee sang partner terdengar mengudara di earphone yang tersemat di telinga Jade. "Aku hanya ... tertembak di bagian perut. Tetapi misi berhasil dan klien sudah mentransfer bayaran." Jade merespon dengan napas terengah. "Persetan dengan bayaran! Sekarang ikuti instruksiku karena kau masih belum aman, Jade. Anak buah Variga masih membuntutimu." Bee memberi instruksi dari seberang sana. Sedari tadi, Bee yang merupakan seorang hacker memantau Jade melalui CCTV gedung dan sekitarnya yang telah ia retas. Bee kemudian memberikan arahan kepada Jade untuk segera terjun perlahan sembari menghitung sampai tujuh lantai ke bawah. Setelah sampai tepat di balkon lantai yang dimaksud, Bee memerintahkan jade untuk menepi di sana sementara. "Kenapa harus di sana?" tanya Jade penasaran seraya berkutat memasang tali pengaman untuk persiapan terjun, merayap turun gedung. "Uhm ... penghuni di sana hanya seorang tua renta. Kau tunggu sebentar saja. Aku sedang dalam perjalanan. Mengerti?" Bee terdengar ragu-ragu menjawab. Namun, Jade tak terlalu menghiraukannya. Seperti biasa, ia percaya pada partner in crime-nya itu. "Ok." Jade lantas mengambil ancang-ancang untuk segera melakukan aksi turun gedung sesuai instruksi Bee. Dengan cekatan, gadis itu mulai menuruni bangunan berlapis, melesat dengan perlahan dan pasti bak tokoh agen mata-mata di film action. Tak berselang lama, Jade akhirnya mendarat di sebuah balkon yang di maksud Bee. Hebatnya, Jade melakukan pendaratan sempurna walaupun dalam keadaan perut terluka tembak. Sesampainya di balkon, Jade segera membenahi tali pengaman badan sembari sesekali meringis kesakitan. Napasnya mulai terengah lemah, membuat tubuh mungil itu tersungkur dalam posisi duduk di atas permukaan lantai. "Argh!" Jade kembali mengerang. Tubuhnya benar-benar kesakitan kali ini imbas darah yang terlalu banyak keluar. "Siapa di sana?" tegur suara pria dari dalam ruangan. Sial! Kenapa ada orang di ruangan ini? Bukankah Bee bilang pemiliknya seorang tua renta yang sedang tertidur lelap? Menyadari presensi seseorang, gadis berambut hitam bergelombang itu berusaha mati-matian agar tak menimbulkan suara. Bahkan, napas terengah akibat kesakitan terpaksa ditahan sembari berharap dalam hati agar pria tersebut segera berlalu. Namun, terlambat. Sesosok pria tampan berpostur tegap telah membuka pintu dan berdiri di ambangnya. "Siapa kau? Kenapa kau bisa di sini?" tanya sosok yang baru saja muncul dari dalam. Jade tak menjawab melainkan memasang sorot tajam dan sikap waspada. Sang puan sungguh berharap jika pria itu bukan bagian kelompok yang sedang mengejarnya. Di sisi lain, si pria mulai memperhatikan Jade dengan saksama hingga netranya terpaku pada tangan Jade yang berlumuran cairan kental akibat menutupi luka di perut. "Kau terluka, Nona!" seru sang pria dengan mata terperangah. Tanpa berpikir panjang, ia lalu mendekati Jade dan menggendongnya ala bride style. "A-apa yang kau lakukan? Turunkan aku!" Aksi di luar dugaan sang pria sungguh membuat Jade bergumam kesal. "Dia pikir siapa dirinya?" "Kau tak perlu takut. Aku seorang perawat. Aku akan mencoba mengobatimu," ucap lembut si pria sembari tetap pada pendirian menggendong Jade walaupun gadis itu menggeliat keras kepala minta diturunkan. Jade mulai dibaringkan di sebuah tempat tidur single bed dan sosok berperawakan tegap itu segera memeriksa luka perut. "Astaga! Kau tertembak dengan peluru yang masih bersarang." Sang pria tersentak seraya mengigit bibir bawah. Semburat panik terlihat jelas di wajahnya. "Kau mau ke mana?" Tangan Jade yang penuh lumuran darah melesat cepat mencengkram kuat lengan sang pria yang hendak pergi itu. Ia khawatir jika sosok di hadapannya hanya membuat alasan dan malah melapor polisi. "Aku akan mengambil peralatan untuk mengeluarkan peluru di perutmu. Tunggulah." Setelah melihat tatapan teduh si pria, entah mengapa Jade melepaskan perlahan cengkramannya. Gadis itu bisa saja membunuh orang asing yang baru saja ditemuinya dengan kekuatan yang masih tersisa.Namun, entah mengapa ia lebih memilih percaya padanya. Tak lama kemudian, pria itu kembali dengan peralatan untuk mengobati luka Jade. Selama proses berlangsung, secara diam-diam sang assasin memperhatikan pria asing yang sedang mengobatinya dengan sangat cekatan. Tak dapat di pungkiri, hati Jade terpesona oleh perangai pria yang berprofesi sebagai perawat itu. Vibe positif sangat melekat pada pria yang mengaku sebagai perawat di hadapannya. "Hetikan, Jade! Pikiranmu tidak boleh terpengaruh oleh apapun," batin Jade membuang jauh angan. Waktu pun berlalu sampai akhirnya Jade selesai diobati. Kini dirinya berbaring tenang di atas ranjang setelah luka di selimuti perban. "Terima kasih," ucap Jade membuka obrolan. "Itu sudah tugasku sebagai seorang petugas medis." "Ch! Kau sangat naif atau bodoh, huh? Bagaimana kalau aku seorang penjahat? Atau bahkan pembunuh?" Bukannya bersikap ramah, Jade menguji kesabaran sang perawat. "Kau mungkin benar. Tapi aku akan tetap menjunjung tinggi prinsip dan kode etik. Sekali pun kau seorang pembunuh, aku akan tetap menyelamatkanmu," timpal sang perawat pria seraya mengukir senyum tipis. Hati Jade seketika mencelos. Entah sudah berapa lama puan itu tak pernah mendengar ungkapan yang seakan memanusiakan dirinya. Bahkan mungkin, perawat itu adalah orang pertama yang membuatnya merasa pantas disebut seorang manusia tanpa melihat label profesi pembunuh bayaran. "Omong-omong, namaku Fin. Kau?" Melihat sendu bersarang di wajah Jade, Fin segera mengalihkan topik. "Jade." "Ah, nama yang cantik. Secantik rupa pemiliknya." Fin kembali mengukir senyum manisnya. Senyuman yang tanpa pria itu tahu telah berhasil menghangatkan hati dingin seorang Jade. "Boleh aku meminta sesuatu?" tanya Jade datar sedangkan Fin hanya membalas dengan anggukan seraya menatap netra Jade. "Tolong, jangan katakan kejadian ini kepada siapapun." Fin tak langsung merespon melainkan keningnya mengkerut seolah menimbang-nimbang permohonan Jade. "Kau tak perlu khawatir karena aku akan membayarmu mahal," tambah Jade mencoba bernegosiasi. "Tidak." "Apa? Tidak?" Mimik Jade sontak mulai gusar. "Uhm, maksudku aku tidak akan memberitahu siapapun tapi ... dengan satu syarat." Telunjuk Fin terangkat satu. "Syarat apa?" "Kau harus memeriksakan kondisimu ke dokter denganku besok." Bukan tanpa alasan Fin meminta syarat tersebut kepada Jade. Fin benar-benar khawatir hal buruk akan terjadi imbas peluru yang bersarang cukup lama. Menurut observasinya, organ vital Jade menjadi taruhannya jika gadis itu tak segera memeriksakan bekas luka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD