Cinta atau Bodoh?

1144 Words
"Hey, kau terdengar seperti sedang mengajak berkencan? Aku tau tipe pria sepertimu. Tapi maaf, kau salah memilih sasaran, Tuan," sindir Jade menebak Fin sedang mengeluarkan modus rayuan. "Apa? Tidak! Aku bukan pria serendah itu. Ini tentang kondisimu belum sepenuhnya pulih, Nona." Kedua tangan Fin membentuk tanda silang bermaksud menolak pernyataan Jade. Setelah lumayan bersitegang, Jade akhirnya mengerti dan menyetujui kesepakatan dengan Fin untuk bertemu lagi besok. Tak lama, Bee pun datang menjemput Jade. Gadis berciri khas rambut ungu itu sudah menyiapkan segala sesuatunya termasuk penyamaran jika suatu saat ada warga sipil yang terlibat. Kali ini Bee mengaku bahwa dirinya dan Jade adalah detektif yang sedang menjalankan tugas. Beruntungnya, Fin percaya akan perkataan Bee serta berjanji merahasiakan perihal kejadian hari ini. Beberapa saat kemudian, kedua gadis itu pamit dan segera bergegas menuju parkiran mobil. "Kau bilang seorang tua renta, huh? Kenapa malah pria berbadan tegap dan—" "Dan juga tampan. Hahaha." Bee menyela kalimat jade dengan maksud menggodanya untuk mengalihkan perhatian agar sang partner tak marah. Sejujurnya, Bee sengaja mengarahkan Jade ke balkon Fin karena tahu latar belakang pekerjaan sang pria dari data yang telah diretas sebelumnya. Bee berharap profesi Fin dapat membantu Jade yang sedang dalam keadaan darurat tadi. Beruntungnya, perhitungan Bee akurat. "Ayolah! Setidaknya kau bisa cuci mata dengan melihat si perawat tampan," ledek Bee lagi. "Ergh! lupakan." Jade tak ingin membahasnya lagi karena ia tahu Bee akan mengarahkannya kepada pembahasan romansa yang Jade tak suka. Keesokan harinya, berbekal nomor ponsel Fin yang Jade dapat dari penelusuran Bee, gadis itu menepati janji bertemu lagi dengan sang pria di depan sebuah rumah sakit untuk memeriksakan kondisi lukanya semalam. Jade ingat sekali saat mereka bertemu untuk kedua kalinya. Baik Fin dan dirinya sama-sama terlihat gugup serupa pasangan yang hendak pertama kali berkencan. Namun, mereka segera membenahi perasaan masing-masing dan bersikap normal. Keduanya bergegas masuk ke dalam rumah sakit. Selang tak berapa lama, setelah menjalani beberapa pemeriksaan termasuk CT scan di bagian perut, Dokter memanggil Jade kembali untuk memberitahukan hasilnya. "Maaf sebelumnya. Apa kau wali Jade Siera?" tanya dokter yang dialamatkan untuk Fin di sebelah Jade. "Uhm ... aku—" "Dia waliku, Dok," kata Jade menyela kalimat Fin. Bukan tanpa alasan Jade memberi tittle Fin sebagai walinya. Ia hanya ingin situasi ini cepat selesai tanpa pertanyaan lagi dari dokter maupun Fin. "Dok, aku tidak punya banyak waktu. Cepat beritahu hasilnya," desak Jade tidak sabaran. "Ekhem, baiklah." Sang dokter mulai menjelaskan kondisi Jade berdasarkan hasil pemeriksaan yang ternyata mengindikasikan kesehatan yang kurang baik pada tubuhnya. "Dari hasil pemeriksaan secara menyeluruh, kami menemukan bahwa peluru mengenai bagian rahim dan itu cukup fatal. Kami pun menemukan indikasi infertilitas yang disebabkan gangguan siklus ovulasimu, Nona. Dengan kata lain, dalam kondisimu saat ini kemungkinan untuk memiliki keturunan sangat sulit dan bahkan ... mustahil." Bagai petir di siang bolong, penjelasan dokter sukses menyambar serta meluluhlantahkan hati si gadis tangguh bernama Jade. Untuk sesaat tubuh Jade membeku. Tak hanya itu, malu yang teramat sangat juga menderanya karena Fin mendengar telah menjadi saksi takdir kelam sang puan. Tanpa menghiraukan Fin, Jade beranjak meninggalkan ruangan Dokter. Gadis itu melangkah cepat di antara banyaknya lalu lalang manusia di lorong rumah sakit. "Jade ...." Dadanya sesak mengetahui bahwa sebagai wanita, ia telah kehilangan kesempatan menjadi wanita seutuhnya. Meskipun berprofesi sebagai assasin yang terkenal berhati dingin dan kejam, Jade tetaplah seorang puan yang juga mendamba suatu hari dapat memiliki sebuah keluarga normal. Kini, pupus sudah harapan Jade. Jangankan memikirkan pernikahan dan keluarga, pria manapun tak akan ada yang mau padanya karena tak akan pernah bisa memberikan keturunan. Sesampainya di luar rumah sakit, Jade menepikan diri-menyandarkan tubuh di sebuah pohon besar seraya terengah sesak akibat kepedihan yang mendalam. Tidak. Kau tidak boleh menangis. Ini pasti karma untukmu, Jade. Kau telah banyak menumpahkan darah manusia dengan tangan kotormu. Terimalah! Jade tertegun tanpa mengeluarkan air mata walaupun hatinya sakit dan meronta. Tanpa ia sadari, sebuah tangan tiba-tiba menyambangi pundaknya dengan lembut. "Hey." "Lepas atau kupatahkan tanganmu!" ancam Jade dipenuhi kesumat. "Lakukanlah jika itu membuatmu merasa lebih baik, Jade." Tantangan Fin sukses mengambil atensi Jade. Netranya kini beralih pada pria bernetra teduh itu. "Aku tau kau marah. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Dokter hanyalah manusia, Jade. Dia bukan penentu akhir hidup kita." "Ch! Jangan coba-coba menghiburku, Fin. Aku tidak suka dengan kata-kata manis," timpal Jade sinis. Ia sungguh tak ingin terbawa suasana kebaikan hati Fin. "Aku tak mencoba berkata manis padamu. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal." Fin menghela napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku tidak peduli dengan vonis dokter tentangmu. Aku menyukaimu sejak pertama bertemu, Jade. Maukah kau berkencan denganku?" Tembok pertahanan yang telah Jade bangun seketika runtuh berserakan. Fin berhasil menyentuh bagian hati terdalamnya sehingga Jade menyerah perlahan. Selanjutnya, setelah menjalani beberapa kali kencan, mereka lantas meresmikan hubungan sepasang kekasih yang saling menyanyangi satu sama lain dengan menerima kekurangan masing-masing. Meski begitu, Jade tetap menyembunyikan perangai asli sebagai Assasin. *** Angin malam yang menerpa pohon besar kala itu sukses menyadarkan Jade yang sedang melamun di salah satu tangkai besarnya.Jade masih berharap sosok hangat Fin tiga tahun lalu masih ada di suatu tempat di dalam hatinya. "Kau sudah siap, Jade? Kau yakin tak akan mundur?" tanya suara Bee mengkonfirmasi dari earphone yang tersemat di telinga Jade. "I'm ready as always, Bee." "Ergh! Aku benci mengatakan ini. Aku masih berharap kau mundur, Jade. Karena pada akhirnya, kau bisa terlepas dari hutangmu pada Fin." Bee mencoba meyakinkan Jade sekali lagi. Ia tak ingin sahabatnya menderita akibat ulah Fin. "Bee, tolong! Kita sudah membicarakan ini, bukan? Aku akan tetap menyelamatkan Fin apa pun yang terjadi." Bee tak punya pilihan lain selain mengalah. "Ok. Sekarang dengarkan baik-baik. Mansion S bukan mansion biasa melainkan markas sekaligus kediaman utama kelompok Mafia Blackskull. Aku hanya bisa meretas sistem keamanan paling lama 15 menit karena sistem mereka sangat luar biasa." Bee menjabarkan dengan lugas susunan rencana penyelinapan ke markas Mafia terkuat di negara itu. "Aku mengerti, Bee. Sepuluh menit, hanya itu waktu yang kubutuhkan untuk menyelinap menemui pimpinan mereka dan memintanya membebaskan Fin," tegas Jade yang kali ini sedang memantau Mansion S dengan teropong. Namun, tetap saja Bee tidak tenang. Entah mengapa gadis itu mempunyai firasat buruk terhadap Jade dan aksinya malam ini. Beberapa saat setelahnya, Bee memberi aba-aba kepada Jade untuk segera bergerak mendekati area timur Mansion S karena dalam hitungan menit sang hacker akan mulai menyabotase dan mematikan sistem keamanan Mansion untuk 15 menit ke depan. Tubuh ramping Jade mulai menuruni batangbpohon besar dengan lincah bak seekor tupai yang pandai memanjat. Outfit hitam pekat yang membalut tubuh behasil menyamarkan presensi Jade seolah menyatu dengan malam. Sesuai arahan Bee, sang assasin segera berlari mendekati area timur Mansion S. "Dalam hitungan mundur, sistem mereka akan mati dan kau bisa mulai menyelinap, Jade," tutur Bee sembari masih berkutat dengan komputernya. "Got it." "On three, two, one ... go!" Bak kilatan bayangan hitam, Jade bergerak melesat melompati pagar tinggi pembatas Mansion S dengan mudah. Good luck Jade!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD