Bab 20

1012 Words
Suasana di pendopo masih menyisakan ketegangan yang perlahan mencair. Aisyah sudah kabur entah ke mana, meninggalkan aroma dusta yang kini jadi beban bagi sang ayah. Kyai Basowi berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk. Dia menatap Rasya, lalu Naila, kemudian Ali dan Amira yang berdiri di samping putra dan menantunya. Napasnya terdengar berat. Suaranya serak ketika mulai bicara. “Rasya … Naila … dan juga Sampeyan berdua, Abi Ali, Ummi Amira … Saya … saya mohon maaf sedalam-dalamnya. Saya benar-benar tidak tahu kalau Aisyah akan berbuat senekat itu. Saya buta … dibutakan oleh rasa malu karena putri saya yang tak kunjung mendapatkan jodoh.” Naila menunduk. Rasya menggenggam tangannya erat, memberi isyarat agar istrinya tetap tegar. Ali menepuk bahu sahabat lamanya itu. “Sudahlah, Basowi. Kita ini manusia. Tempatnya salah dan khilaf. Kalau tidak salah, bukan manusia namanya.” Kyai Basowi memejamkan mata, menahan rasa malu yang membakar dadanya. "Maafkan aku ... maafkan Aisyah ..." Matanya beralih ke warga yang masih berdiri di pekarangan pendopo, yang sedang berbisik-bisik pelan. “Bapak, Ibu sekalian …” katanya, suaranya bergetar. “Saya … Kyai Basowi … memohon maaf karena sudah menuduh anak Pak Kyai Ali ini, Gus Rasya, melakukan perbuatan zina. Padahal sebenarnya tidak. Saya malu … saya bersalah. Mohon maafkan saya dan keluarga saya.” Pak RT mendekat, menepuk punggung Kyai Basowi perlahan. “Sudahlah, Kyai. Kami warga di sini paham kok. Yang salah bukan Kyai, tapi Aisyah. Kami doakan semoga Aisyah sadar.” Kyai Basowi menarik napas dalam, kemudian menatap Rasya. “Rasya … kalau saya boleh minta … tolong jaga nama baik pesantren ini. Kamu anak baik, orang-orang di sini butuh kamu.” Rasya mengangguk mantap. “InsyaAllah, Kyai. Saya akan jaga pesantren ini sekuat tenaga. Dan Naila … dia akan selalu bersama saya.” Kyai Basowi menatap Naila dengan mata memerah. “Naila, Nak … maafkan saya. Saya telah menuduhmu dengan hal keji. Padahal saya tahu, kamu sudah banyak berbuat baik di sini. Kamu tetaplah wanita mulia di mata saya, Nak.” Naila tersenyum kecil, menahan air mata. “Naila maafkan, Kyai. Tidak ada dendam di hati saya.” Ali menepuk punggung sahabatnya, suaranya lebih hangat. “Basowi, ingat … kita ini sahabat sejak mondok bareng dulu. Persahabatan kita tidak akan putus hanya karena masalah ini. Kalau kamu butuh bantuan, datang ke rumahku. Kita tetap saudara. Jangan sungkan.” Kyai Basowi hanya mampu mengangguk pelan. Bibirnya bergetar, tapi tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya. Ia pun membungkuk hormat di hadapan warga, lalu membalikkan badan, melangkah pelan meninggalkan pekarangan pendopo. Langkahnya lunglai, tapi ia tahu satu hal, lebih baik menanggung malu, daripada terus menumpuk dosa. Pak RT menoleh pada warga, menepuk tangannya. “Sudah, sudah. Mari kita pulang. Masalah sudah selesai. Kita doakan Gus Rasya dan Bu Naila selalu bahagia, ya!” Satu per satu warga membubarkan diri. Ali memeluk Rasya sebentar, menepuk pipi menantunya dengan sayang. “Kamu anak keras kepala, tapi Abi bangga. Jaga Naila baik-baik.” Rasya mengangguk pelan, menatap Naila di sampingnya. Tangannya meraih jemari sang istri, menggenggamnya erat seolah tak mau terlepas lagi. Beberapa hari berlalu sejak masalah yang dibuat oleh Aisyah kemarin, suasana pesantren perlahan pulih. Berita tentang kebohongan Aisyah cepat tersebar, membuat warga yang dulu menatap Naila dengan sinis kini berbalik simpati. Meski dia kini telah tinggal di pesantren, tetpai, dia masih tetap datang ke kontrakan untuk memberikan kursus make up dan senam pada ibu-ibu sekitar. Naila merapikan peralatan make up dan senamnya. Beberapa ibu-ibu datang menghampiri, membawa jajanan pasar dan senyum hangat. “Bu Naila, ini ada ayam kecap sama onde-onde. Biar Bu Naila nggak repot masak sore ini,” kata Bu Sarti sambil menyerahkan bungkusan berisi penganan tradisional. Naila tertegun, lalu menatap wajah Bu Sarti dan para ibu lainnya. “Lho, kok repot-repot, Bu? Saya masih punya lauk kok.” Bu Sri, yang berdiri di samping Bu Sarti, langsung menimpali, “Ah, nggak apa-apa, Bu Naila. Ini bentuk terima kasih kami. Gara-gara senam sama kursus make up dari Ibu, suami saya sekarang pulang cepat tiap sore. Katanya saya makin cantik!” Mereka tergelak bersama. Naila hanya bisa menahan haru, merasa kebaikannya sedikit demi sedikit mulai diterima. Tak lama, Rasya muncul dari dalam rumah. Lelaki itu membawa termos teh panas. “Wah, ramai sekali di sini. Mari, Ibu-ibu, minum teh dulu, ya.” “Wah, Gus Rasya baik banget, sampai bikinin teh segala,” seru Bu Sarti sambil terkekeh. Rasya hanya tersenyum lebar, menatap Naila yang wajahnya memerah menahan malu. Setelah para ibu-ibu pulang, Pak RT datang sendirian. Dia berdiri di gerbang kecil rumah kontrakan itu sambil berdehem pelan. “Assalamualaikum, Gus Rasya, Bu Naila.” “Waalaikumsalam, Pak RT. Ayo masuk, Pak,” sahut Rasya cepat. Pak RT duduk di bangku bambu di serambi, lalu menatap Naila dan Rasya bergantian. “Begini, Gus, Bu Naila. Saya mewakili warga mau bilang … kalau Ibu mau, silakan teruskan kegiatan kursus make up sama senamnya. Warga banyak yang merasa terbantu. Kami juga mohon maaf, dulu sempat ikut-ikutan ngomong yang tidak-tidak.” Naila menatap Rasya, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih banyak, Pak RT. Saya cuma mau berbagi apa yang saya bisa. Kalau warga merasa terbantu, saya senang sekali.” Pak RT tersenyum lega. “Alhamdulillah. Dan satu lagi, Gus Rasya, Bu Naila … kalau mau tinggal di rumah yang lebih dekat ke masjid, kebetulan rumah Pak Ismail kosong. Kalau berkenan, bisa dipakai. Biar lebih dekat ke pondok dan warga juga tenang.” Rasya menatap Naila, seolah bertanya dengan sorot matanya. Naila hanya menjawab dengan senyum kecil. “Kalau memang itu lebih baik, kami mau, Pak.” Pak RT pun berdiri sambil merapikan pecinya. “Baiklah. Saya permisi dulu, ya. Sekali lagi, selamat Gus Rasya, Bu Naila. Semoga betah di kampung ini.” Setelah Pak RT pergi, Rasya menggenggam tangan Naila erat. “Lihat, Sayang … pelan-pelan Allah tunjukkan jalan. Kamu kuat, kamu sabar, dan sekarang … warga mulai lihat siapa kamu sebenarnya.” Naila menatap Rasya, menahan haru. “Terima kasih, Mas. Karena kamu … aku masih punya tempat pulang.” Rasya mengecup kening istrinya pelan, membisikkan doa di hati — semoga badai benar-benar berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD