Bab 21

1025 Words
"Aku harus bisa meluluhkan hati Ummi dan Abi!" Siang itu, Naila berdiri di dapur kecilnya, sibuk membungkus beberapa kotak makanan. Di dalamnya ada pepes bandeng, sambal goreng ati, dan sayur lodeh — semua masakan kesukaan Ummi Amira yang dulu pernah diceritakan Rasya. Di keranjang lain, Naila menyiapkan dua botol kecil berisi jamu tradisional racikan sendiri, campuran kunyit, madu, dan rempah, khusus untuk Abi Ali. Menjelang sore, Naila pun berjalan menuju pendopo. Jantungnya berdegup. Rasya sempat menawari untuk menemaninya, tapi Naila menolak. Ini langkahnya sendiri, pikirnya. Sesampainya di pendopo, Naila mengetuk pintu pelan. Seorang santri putri membukakan pintu. “Assalamualaikum, Nyai ada?” Santri itu tersenyum sopan. “Waalaikumsalam, Bu Naila. Ada, di ruang tengah.” Dengan hati-hati, Naila melangkah masuk, menundukkan kepala hormat pada Ummi Amira yang sedang duduk menekuni majalah resep masakan. “Assalamualaikum, Ummi…” sapanya pelan. Amira mendongak. Tatapan matanya semula datar, tapi begitu melihat keranjang di tangan Naila, wajahnya sedikit melunak. “Waalaikumsalam. Ada apa kamu datang kemari?” tanyanya singkat. Naila menaruh keranjang di meja, membuka satu per satu kotak makanan. “Naila bawakan makanan kesukaan Ummi. Pepes bandeng, sambal goreng ati, sama sayur lodeh. Tadi pagi Naila masak, sengaja buat Ummi.” Amira memandangi hidangan itu, mendesah pelan. “Kamu repot-repot sekali. Buat apa?” tanyanya ketus, tapi tangannya tak kuasa mencomot sepotong pepes. Naila menahan senyum kecil. “Nggak repot, Ummi. Naila cuma pengin Ummi mau nerima Naila sedikit demi sedikit. Naila juga bawakan jamu untuk Abi. Katanya Abi suka minum jamu kuat.” Amira mendelik. “Jamu kuat? Kamu mau bikin Ummi pingsan digempur Abi?” Belum sempat Naila menjawab, terdengar suara tertawa di belakangnya. Abi Ali muncul dari pintu samping pendopo, meraih botol jamu di keranjang. “Nah, ini baru mantu idaman!” katanya sambil tertawa renyah. Naila sedikit tersipu. “Itu jamu racikan sendiri, Bi. Buat jaga stamina. Kalau Abi segar, Ummi juga bahagia, kan?” Ali mengangguk-angguk puas sambil membuka tutup botolnya. “Bagus, bagus! Rasanya pahit tapi segar! Ini baru mantu pintar.” Amira menatap suaminya kesal, lalu memandang Naila lagi. Nada bicaranya masih dingin, tapi sorot matanya sedikit berubah. “Kalau kamu sudah repot-repot bawa ini semua, ya sudah. Duduklah dulu. Kamu makan di sini juga.” Naila tersenyum lega. Dia duduk pelan di hadapan Amira. “Terima kasih Ummi…” Abi Ali menepuk pundak istrinya. “Sudahlah, Ami. Dia baik. Lihat, Rasya juga makin bahagia. Kamu juga bisa lihat sendiri, warga sekarang juga kembali mendukung dia. Jangan keras terus sama menantu sendiri.” Amira pura-pura berdehem, menahan malu. “Aku keras bukan benci. Aku cuma ingin Rasya dapat yang terbaik.” Naila menunduk. “InsyaAllah, Naila akan terus belajar jadi yang terbaik buat Gus Rasya … juga Ummi dan Abi.” Sore beranjak gelap ketika Rasya melangkah pulang ke pendopo. Sejak siang dia sibuk mengurus santri baru dan membereskan beberapa laporan keuangan masjid yang sempat membuat warga resah. Begitu melewati teras pendopo, Rasya menghentikan langkahnya. Matanya menangkap sosok Naila yang duduk bersebelahan dengan Ummi Amira di ruang tengah. "Naila, kenapa dia ada disini? Jadi, dia benar-benar pergi ke rumah Ummi? Saat Rasya masuk ke dalam, di meja, terlihat sisa-sisa pepes bandeng, sambal goreng ati, dan mangkuk sayur lodeh yang hampir kosong. Rasya mengerutkan kening. Bibirnya terangkat pelan, membentuk senyum kecil. Dia lalu menuju ke ruang tengah. “Assalamualaikum…” sapanya lembut. Naila menoleh, wajahnya langsung berseri-seri. “Waalaikumsalam, Mas!” jawabnya sambil beringsut sedikit, memberi ruang di sampingnya. Abi Ali yang sedang sibuk menghabiskan sisa jamu mendelik puas. “Nah! Gus Rasya sudah pulang. Sini duduk. Kamu belum makan, kan? Makan sama kami.” Rasya melirik Naila, lalu Amira, seolah memastikan suasana benar-benar damai. “Ini … beneran nggak apa-apa?” tanyanya ragu. Amira berdehem kecil. “Sudah duduk saja. Lauknya memang sisa, tapi cukup lah buat kamu.” Meski nadanya kaku, Rasya bisa menangkap kilatan teduh di sorot mata ibunya. Dengan senyum lebar, Rasya duduk di samping Naila. “Naila yang masak ini semua?” tanyanya pelan. Naila mengangguk pelan, berbisik, “Biar Ummi mau makan bareng, Mas …” Rasya meraih tangan istrinya di bawah meja, menggenggamnya singkat sebelum melepas lagi. “Makasih, Sayang …” Ali terkekeh melihat interaksi keduanya. “Sudah, sudah. Makan dulu. Rasya, itu pepes masih ada. Ambil, Naila sudah repot masak, habiskan!” Naila cepat-cepat berdiri, mengambil sendok nasi dan menyiapkan piring untuk Rasya. “Mas mau sambal banyak?” tanyanya. “Banyakin aja, Sayang. Asal kamu yang ambilin, semuanya enak,” jawab Rasya, membuat Amira hanya bisa mendelik pelan. Saat makan malam dimulai, suasana memang sempat kaku. Tak ada yang bicara panjang, hanya suara sendok bertemu piring. Namun, perlahan, Naila mulai mencairkan suasana dengan bercerita ringan. “Tadi di dapur belakang, Naila sempat lihat pohon mangga Abi sudah berbuah banyak. Rasanya pengin metik satu, tapi takut dimarahi,” katanya sambil tersenyum malu. Ali langsung tertawa. “Lho, kenapa harus takut? Nggak ada yang marah, kok. Pohon mangga itu justru sengaja Abi tanam buat cucu-cucu Abi nanti. Rasanya, Abi ingin manjat, tapi takut encok. Makanya, Abi pengen lihat cucu Abi manjat. Kalau kamu mau, petik aja, bikin rujak sama Bu Nyai.” Naila terkikik pelan. Rasya pun menimpali, “Betul itu, daripada mangga Abi habis dimakan sama kelelawar, kan mending dihabisin kita. Iya kan, Bi?” Amira hanya geleng-geleng kepala mendengar dua lelaki di hadapannya mulai menghidupkan suasana. Perlahan, Amira juga tergerak menimpali obrolan ringan mereka. “Kapan-kapan, kamu ajak Ilham kemari, Naila. Biar dia metik sendiri mangga itu. Anak kecil kan suka manjat pohon,” ucap Amira sambil merapikan kerudungnya. Naila langsung mengangguk, matanya berbinar. “InsyaAllah, Ummi. Ilham pasti senang sekali. Dulu, pernah dipukuli tetangga karena ketahuan mencuri mangga. Padahal, dia melakukan itu karena saya butuh mangga muda buat bikin pepes ikan." Rasya menatap ibunya, lalu istrinya. Dadanya terasa hangat. Ia tahu betul, di balik sikap keras ibunya, ada kasih sayang yang perlahan mulai menembus gengsi. “Terima kasih, Ummi … Abi …” ucap Rasya pelan, namun tulus. Ali hanya tersenyum lebar. “Makan dulu, Gus. Nanti habis makan, kamu sama Naila bawa pulang mangga sekresek!” Naila dan Rasya pun tersenyum simpul bersama. "Wah bisa buat rujakan sama ibu-ibu nih!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD