Bab 22

1063 Words
"Mas, kita jalan-jalan ke kota, yuk?" ajak Naila pada sang suami saat mereka baru saja sampai di rumahnya. Rasya menoleh, lalu mengusap lembut kepala sang istri yang tertutup jijab itu. "Memangnya, kamu mau kemana?" Naila tersenyum. "Pengen nongki di kafe kayak anak-anak jaman now." Rasya pun mengangguk. dia lalu mengambil jaket untuk sang istri kemudian memakaikannya. "Ayo, kita berangkat!" Mereka pun berangkat menuju ke alun-alun di pusat kota. Udara malam perlahan menghangat, di sela gemerlap lampu jalanan dan alunan musik akustik dari sebuah kafe sederhana di pinggir taman kota. Rasya dan Naila duduk berdampingan di bangku kayu luar ruangan. Di depan mereka, dua cangkir wedang jahe mengepul pelan, mengusir dingin yang merangkak di sela angin. Naila menggulung syal di lehernya, sementara Rasya meraih tangannya, menghangatkan jemari istrinya di genggaman. “Hangat?” tanya Rasya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh deru kendaraan yang lewat. Naila tersenyum tipis, menatap suaminya yang sejak tadi menatapnya penuh rasa bersalah. “Hangat sekali, Mas …” jawabnya pelan. Rasya menarik napas dalam. Matanya menatap ke langit malam, seolah mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya dia menoleh, menatap wajah cantik Naila di bawah lampu temaram. “Sayang … Abi mau tanya sesuatu, boleh?” ucapnya lirih. Naila hanya mengangguk pelan. Ia meraih cangkir wedang jahe, meniup uapnya, lalu menyeruput sedikit. “Kenapa dulu … waktu itu … kenapa kamu nggak bilang sama Abi kalau kamu hamil, saat Abi mau pergi?” tanyanya hati-hati. Pertanyaan itu membuat bahu Naila menegang seketika. Jemarinya yang memegang cangkir sedikit bergetar. Dia menunduk, menatap pantulan lampu di permukaan minumannya. “Nai juga nggak tahu, Mas …” jawabnya pelan. “Waktu itu, Nai pikir cuma sakit biasa. Nai sibuk kerja, cari uang. Setelah Abi pergi, Nai sempat sakit-sakitan, nggak makan. Baru empat bulan kemudian, Nai sadar …” Suara Naila bergetar. Matanya berkaca, tapi senyum tipis tetap dipaksakan di bibirnya. “Kenapa nggak cari Abi?” Rasya membalas cepat, suara lelaki itu terdengar penuh penyesalan. “Beneran, Nai … Abi nggak akan pergi kalau tahu kamu hamil …” Naila menghela napas panjang. Ia menoleh, menatap wajah Rasya. “Mas … waktu itu Nai nggak mau jadi beban. Nai pikir, biarlah … ini balasan Allah untuk dosa-dosa Nai. Nai cuma mau tanggung sendiri semua. Ilham … dia hadiah dari Allah yang bikin Nai bisa bangkit lagi.” Rasya meraih bahu istrinya, menarik Naila ke dadanya. Hidungnya membenam di rambut Naila yang wangi rempah dan bedak bayi. “Maafin Abi … bodoh banget Abi waktu itu. Kalau aja Abi nggak egois, nggak takut sama Abi Ali, mungkin kita nggak akan begini …” bisiknya lirih di telinga Naila. Naila menepuk pelan d**a suaminya. “Sudahlah, Mas … jangan salahkan diri sendiri terus. Kita sudah dipertemukan lagi. Itu artinya Allah masih sayang sama kita. Nai bahagia sekarang …” Rasya melepas pelukan, menatap istrinya. Ia tersenyum kecil, tangannya merapikan anak rambut Naila yang menempel di pipi. “Kamu bahagia?” tanyanya lagi, seolah ingin mendengar jawaban itu berkali-kali. Naila tersenyum manis. “Bahagia banget. Asal Mas di samping Nai terus.” Rasya tertawa kecil, lalu meraih cangkir wedang jahenya. “Kalau gitu, habiskan ini dulu. Biar sehat, nggak gampang flu. Besok kita bawa Ilham jalan lagi, ya?” Naila mengangguk pelan. “Mau ke kebun binatang, ya Mas? Ilham pasti senang!” Rasya menatap Naila penuh syukur. “Apa pun yang bikin kamu senang, Sayang. Selama Abi bisa, Abi lakuin.” Selesai minum wedang jahe, Naila dan Rasya berjalan berdampingan menuju tempat parkir. Tanpa mereka tahu, di belakang mereka, dua pasang mata asing mengintai, bersembunyi di balik tembok ruko yang sudah tutup. “Itu benar Naila, kan?” bisik lelaki berkacamata dengan suara serak, matanya menyipit, memperhatikan punggung Naila. Lelaki plontos di sampingnya hanya mengangguk pelan sambil merapatkan jaket kulitnya ke tubuh. “Benar, Jek. Gimana kita nggak kenal sama barang mahal Mami. Dulu, pelanggan rebutan pengen sama dia.” Jek mendecih, mengeluarkan rokok dari saku celananya. Dia menyalakan ujungnya sambil menatap Naila yang berjalan semakin jauh. “Sayang banget dia kabur dulu. Mami sampe murka waktu tau dia hamil. Padahal pelanggan udah pada antri. Sekarang, liat dia. Jalan sama lelaki alim. Gimana nggak bikin Mami naik pitam coba?” Plontos mendesis, matanya tajam mengawasi gerak langkah Rasya dan Naila. “Kita ikutin dia pelan-pelan, jangan sampe ketahuan. Biar Mami yang putuskan apa yang mau dia lakuin sama Naila. Kali aja, Mami bisa paksa dia kembali.” Sementara itu, Naila menoleh ke belakang, entah kenapa bulu kuduknya meremang. Tangannya refleks meremas lengan Rasya. “Mas, rasanya Nai kayak diikutin orang,” bisiknya pelan, menatap sekitar. Rasya memeluk bahu istrinya, menuntun langkahnya lebih cepat. “Tenang, Sayang. Abi di sini. Mereka nggak akan berani macam-macam. Udah, yuk cepat ke mobil.” Dari kejauhan, Jek membuang puntung rokoknya ke selokan. Dia tertawa kecil. “Nggak ada gunanya kabur, Nai. Dulu kamu lari, sekarang kamu ketemu sendiri sama kita. Tunggu aja, Mami bakal seneng banget dengar kabar ini.” Plontos merogoh ponsel dari kantong jaketnya. “Gue telpon Mami sekarang?” “Jangan bego!” bentak Jek pelan. “Nanti aja, kita pastiin dulu dia tinggal di mana. Dulu dia kabur, nggak tau hilang kemana. Kali ini nggak bakal bisa lari lagi. Duitnya pasti gede kalau kita bisa dapetin dia untuk Mami.” Naila dan Rasya sudah masuk ke mobil. Rasya menoleh pada istrinya, melihat raut wajah Naila yang pucat. “Kenapa, Sayang?” Rasya bertanya sambil menghidupkan mesin mobil. “Ada yang aneh, Mas. Tadi Nai lihat dua orang berdiri di ujung jalan. Kayak orang asing … matanya tajam banget.” Rasya menatap ke arah spion, namun jalan sudah tampak lengang. Ia menghela napas dalam, menggenggam tangan istrinya. “Jangan takut. Abi nggak akan biarin siapa pun ganggu kamu. Mulai besok, kamu jangan keluar dulu, ya? Biar lebih aman.” Naila menggigit bibirnya, mengangguk pelan. “Nai takut, Mas … kalau orang-orang masa lalu Nai datang lagi…” Rasya meraih pipi istrinya, menatap mata bening Naila yang mulai berkaca. “Dengar, Sayang … selama Abi di sampingmu, nggak akan ada yang bisa menyentuhmu. Kita lawan sama-sama, ya?” Mobil pun melaju membelah jalan kota yang berkelip lampu. Sementara di sudut jalan, Jek dan Plontos menatap punggung mobil Rasya yang menjauh. “Besok kita cari tahu, dia tinggal di mana,” gumam Plontos dengan senyum licik. Jek mengangguk. “Besok, Mami harus tahu … barang berharganya udah ketemu lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD