3. Bertemu kembali

1176 Words
Di lokasi yang sama, di sebuah bar, tiga orang lelaki melangkah beriringan menuju sebuah tempat yang sudah merasa booking sebelumnya. Rencananya hari ini salah satu dari mereka bertiga akan melepas masa lajang, dalam waktu kurang dari dua bulan lagi akan melangsungkan pernikahan. Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi, sebab lelaki yang hendak melepas lajang itu adalah sosok yang menganut hidup bebas dan anti komitmen. Dia adalah Dimas Arkan Wijaya. “Nggak nyangka banget, akhirnya lo sampai di titik sekarang.” Arik, salah satu temannya menatap takjub ke arah Dimas. “Patut dirayakan lebih dari ini sih,” lanjutnya dengan senyum jahil. “Keluar dari penjara, langsung dapat jodoh wanita cantik kaya raya. Lo harus bersyukur.” Balas Albi. “Anggap aja investasi jangka panjang, dapat warisannya, dapat juga anaknya yang cantik.” Albi dan Arik sama-sama tertawa, sementara Dimas hanya menatap malas ke arah dua temannya itu. Hubungan persahabatan yang sempat merenggang akibat Dimas pernah melakukan kesalahan fatal hingga ia harus merasakan dinginnya jeruji besi, perlahan kembali membaik. Waktu hukuman yang diterimanya tidak kurang dari lima belas tahun, tapi berkat bantuan dari beberapa orang yang masih peduli padanya, termasuk wanita yang akan dinikahinya saat ini, akhirnya Dimas pun bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Tiga tahun terlama dalam hidupnya, yang membuat Dimaa akhirnya berubah. Lelaki itu tidak lagi menjadi si tukang celup, julukan yang tersemat untuknya karena sering bercinta dengan wanita manapun, yang dianggap menarik olehnya. Tapi, setelah keluar dari hotel prodeo, Dimas pun tidak lagi sembarangan mencari pasangan. Ia tidak pernah tidur dengan sembarang wanita, kecuali Donna, kekasihnya. “Lo beneran nggak pernah tidur sama cewek lain, kecuali si Donna?” Albi penasaran, sekaligus tidak percaya selama ini Dimas bisa menahan hasratnya untuk tidak bermain perempuan. “Nggak.” Balas Dimas, ia menyesap minuman di gelas kecil hingga habis. “Dia udah sadar, Bi. Main perempuan nggak akan ada habisnya.” Balas Arik, hubungannya dan Dimas jauh lebih dekat, ia pun tahu bagaimana Dimas sekarang. Tidak lagi main perempuan dan fokus mengembangkan usaha yang sebelumnya pernah hancur akibat keserakahannya sendiri. “Gue udah berubah, percaya atau tidak terserah.” Jawab Dimas dengan santai. “Lagipula gue mau menikah, mengikuti jejak kalian.” Tunjuk Dimas pada Albi dan Arik “Tapi gue nggak akan jadi suami bucin macam kalian berdua. Nggak ada harga dirinya banget.” Cibir Dimas. Albi maupun Arik tidak tersinggung sedikitpun, karena faktanya memang mereka berdua bucin akut. “Awas aja kalau akhirnya lo pun bucin akut.” Balas Albi tidak mau kalah. “Nggak lah!” Dimas tetap menyangkal. “Dan nggak akan terjadi sama gue,” Memang tidak akan terjadi, Dimas memastikan itu. Hubungan yang terjalin atas dasar balas budi dan belum juga menemukan rasa yang bisa dijadikan pondasi kuat untuk membangun sebuah rumah tangga. Dimas tahu bagaimana perasaannya untuk Donna, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Donna adalah penyelamatan hidupnya, setidaknya setelah semua hilang, termasuk harta dan seseorang yang sampai hari ini masih dicarinya secara diam-diam. “Besok gue mau balik ke Jakarta, kalian kapan?” Tanya Arik. “Lusa.” Jawab Albi. “Isyana masih ingin disini satu hari lagi.” “Lo kapan, Dim?” Tanya Arik pada Dimas, yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. “Nggak tahu, gue masih betah disini. Minggu depan, mungkin.” Jawabnya tidak pasti. “Gue sih masih betah disini, tapi Nadia ada acara reuni sama teman kantornya dulu.” “Ngomong-ngomong, lo pernah deket sama temannya Nadia bukan? Siapa namanya, gue lupa.” Albi mengingatkan Dimas, pada sosok wanita yang masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupnya selama ini. Kemana perginya wanita itu? Apakah wanita itu masih ada di negri ini? Atau mungkin sudah menikah dan memiliki keluarga? Memang sudah terlalu lama, enam tahun. Sangat memungkinkan untuknya menikah dan memiliki keluarga. “Mila.” Balas Arik. “Cewek yang tergila-gila sama playboy cap kadal kayak Dimas.” “Untung nggak hamil, kalau hamil berabe. Punya anak tanpa suami.” Dimas tiba-tiba tersedak, sampai dadanya terasa sakit. “Lo kenapa?” Albi menepuk pundak Dimas. “Kayak orang kaget,” “Nggak apa-apa. Gue mau ke toilet dulu.” Dimas beranjak dari tempat duduknya, menuju toilet. Mendengar nama Mila dan hamil adalah dua hal yang masih menjadi sesal dalam hatinya. Diam-diam ia merasa sangat menyesal karena telah mengusir wanita itu, saat ia menunjukkan benda putih kecil dengan dua garis biru. Dimas mencuci wajahnya, mencoba menghilang pikiran tentang Mila yang semakin hari, makin terus menghantuinya. Apalagi menjelang hari pernikahannya, bayangan Mila justru semakin sering muncul tidak hanya dalam benaknya tapi juga dalam mimpi. “Dia pasti baik-baik saja. Bahkan mungkin hidup dengan baik, tanpa mikirin gue!” Dimas berdecak, lantas mengusap wajahnya dengan menggunakan saputangan. “Ngapain terus mikirin cewek sialan itu!” Umpatnya. Dimas hendak keluar, tapi saat tangannya memegang gagang pintu, ia mendengar seseorang memanggil nama yang begitu familiar bahkan baru saja dipikirkannya. “Mbak Mila, mau langsung pulang?” “Iya. Kerjaan udah selesai, lebih baik kita langsung pulang saja.” Wajah dan suaranya benar-benar sama. Bahkan bentuk tubuh dan senyuman pun masih sama, hanya saja ia terlihat sedikit lebih kurus dari terakhir kali bertemu . Dari balik pintu, Dimas masih memperhatikan Mila yang mungkin tidak menyadari kehadirannya. “Ya sudah, kita minta Rian jemput aja, langsung pulang.” Hanya sekilas, sebab kedua wanita itu segera pergi meninggalkan area toilet. Jiwa ingin tahu dan penasaran yang kini ada dalam diri Dimas bergejolak, ia bergegas mengikuti kedu wanita itu secara diam-diam.. Rupanya mereka masuk ke dalam salah satu ruangan khusus yang ada di Bar, sebuah ruangan VIP. Dimas ingin masuk untuk memastikan apa yang dilakukan Mila di dalam sana, tapi niat tersebut diurungkan Dimas, saat kembali melihat kedua wanita itu keluar dari dalam sana. Dimas segera bersembunyi, agar keberadaannya tidak diketahui Mila. “Kita langsung pulang ke Jakarta saja.” Ucap Mila. “Iya.” Balas dua rekan lainnya. Akhirnya Dimas pun tahu, wanita itu masih tinggal di Jakarta. Dimas menghampiri seorang pegawai yang tengah membawa minuman, yang juga keluar dari ruangan sama seperti Mila. “Tunggu!” Cegat Dimas. “Kamu kenal tiga wanita yang keluar tadi? Yang memakai coat hitam?” Pegawai itu terdiam sejenak, mencoba mengingat. “Yang mana? Saya lupa.” “Kamu pasti ingat,” Dimas mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah dari dalam dompetnya. Pegawai yang berjenis kelamin laki-laki itu langsung tersenyum, “Tentu ingat. Dia adalah LC panggilan dari Jakarta, kalau nggak salah Mila, Ajeng dan Wiwi. Kenapa? Tuan berminat?” “Bisa dipanggil?” “Tentu.” Dimas menyeringai. “Berikan kontaknya, aku akan tambah lagi.” Tanpa diminta, Dimas pun memberikan beberapa uang lembar lagi dan memberikannya pada pelayan itu. Dimas menyeringai, usai mendapatkan informasi dimana Mila bekerja saat ini. Niat untuk kembali mempermainkan wanita itu pun kembali muncul. Ia merasa sangat tersinggung, sebab selama ini Dimas selalu berharap Mila hidup dengan baik dan bahagia tapi yang dilakukan wanita itu justru bekerja di tempat seperti ini. Bahkan Dimas pun langsung berasumsi, Mila tidak hanya menjadi LC tapi juga menjual dirinya. “Sepertinya kita akan kembali bersenang-senang, cantik. Tunggu aku di Jakarta.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD