2 Enam tahun berlalu

814 Words
Asap mengepul dari dalam cangkir putih yang ada dalam genggaman kedua tangannya, sensasi yang sebelumnya panas perlahan menghangat. Aliran panas yang digenggam erat tidak lantas membuat hatinya ikut menghangat. Justru, ia merasa semakin dingin nyaris membeku. Sosok wanita yang sudah membersihkan tubuhnya di pukul sebelas malam itu bernama Mila Agnesia, wanita berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki seorang anak tapi tidak memiliki suami. Mila seorang janda, sekaligus ibu untuk anak perempuannya bernama Talita Zahran. Mila menoleh ke arah tempat tidur, dimana gadis kecilnya masih meringkuk dibawah selimut tebal berwarna merah muda, warna kesukaannya. Helaan nafasnya teratur dengan sesekali terdengar dengkuran halus yang menandakan tidurnya begitu pulas. Jika bukan karena tuntutan pekerjaan, rasanya ingin kembali bergabung bersama gadis kecilnya itu dibalik selimut. Memeluknya, menghirup harum aroma tubuh Talita yang sangat disukai Mila. Tapi tuntutan hidup memaksanya bekerja lebih keras lagi, mengabaikan rengekan anak kecil itu saat minta di suapi makan atau hanya sekedar minta dipakaikan jepit rambut. Hal-hal kecil yang terkadang tidak bisa dilakukan Mila setiap saat. “Sudah mandi?” Seorang wanita paruh baya yang muncul dari balik pintu menghampirinya. “Sudah. Talita masih tidur, baru minum susu.” “Berangkatlah sebelum dia bangun, nanti nangis kalau tahu ibunya pergi lagi.” Mila mengangguk, tapi tatapannya terus tertuju ke arah Talita. “Titip dia ya, Bu. Aku berangkat kerja dulu.” Mila mengulurkan tangannya, mencium punggung tangan ibu. Salah satu sumber kekuatan yang dimilikinya saat ini selain Talita, yakni Ibu. “Hati-hati, segera kabari kalau sudah sampai lokasi.” “Iya.” Mila pamit, membawa koper kecil berisi pakaian ganti miliknya. Ia memang tidak pernah membawa banyak barang saat harus bertugas di luar kota seperti saat ini. Seorang teman sudah menunggu di depan pintu gerbang. Dua orang wanita dan satu laki-laki, mereka adalah Rian, Ajeng dan Widi. “Maaf lama, bikin s**u dulu untuk Talita.” Tiara sadar, ketiga temannya sudah menunggu sejak lima belas menit lalu. Ponselnya berdering kala itu, menandakan mereka sudah sampai di depan rumah. “Ngantuk banget ya ampun! Orang-orang pada tidur, kita malah keluyuran kayak gini.” Keluh Wiwi. Bukan hanya mengantuk tapi juga udara dingin yang terasa menusuk kulit, selepas hujan tadi sore. “Ayo, berangkat! Nanti terlambat.” Ajak Mila. Ia memilih kursi depan, bersebelahan dengan Rian si supir yang selalu siap siaga selama dua puluh empat jam. “Mbak Mila, aku penasaran dimana ayahnya Talita? Masih ada atau sudah meninggal?” Tanya Ajeng. “Udah lama pengen tau sih, cuman dulu kita nggak sedekat sekarang.” Lanjutnya. Mila tersenyum, pertanyaan seperti itu kerap datang silih berganti. Bukan hanya padanya, tapi juga pada Talita. Gadis kecil itu tidak luput dari pertanyaan dimana dan kemana ayahnya. Mila memang tidak pernah membahasnya, jangankan untuk menceritakan siapa sosok ayah Talita, menyebut namanya saja tidak. Seolah ada keengganan yang terus di sembunyikan. “Nggak tahu, tapi empat tahun lalu masih ada. Kalau sekarang aku nggak bisa pastikan, apakah masih hidup atau sudah tidak ada di dunia ini.” Mencari informasi tentang ayah kandung Talita sama saja dengan mengorek kembali luka lama yang tidak pernah sembuh. “Kalian masih saling berhubungan? Maksudnya Ayah Talita masih sering kasih uang?” Tiara menggeleng. “Tidak. Kami sudah berpisah.” Jelasnya secara singkat. “Iya sih berpisah, tapi kan namanya Ayah harus bertanggung jawab pada anaknya walau sudah tidak bersama dengan Ibunya.” Bahkan anak muda yang belum berpengalaman pun tahu bagaimana hukumnya seorang lelaki yang sudah memiliki anak. Mereka dituntut tanggung jawab sampai kapanpun. “Aku nggak mau ribet, kalau dia nggak mau tanggung jawab ya sudah. Nggak apa-apa.” Bukan hanya tidak bertanggung jawab, tapi lelaki itu pun tidak tahu putrinya lahir di dunia ini. Lelaki itu sudah menganggap Talita tidak ada sejak dalam kandungan. “Oh gitu,” “Nggak apa-apa, aku bisa dan sanggup membiayai Talita sendiri. Ibu sekaligus Ayah,” Mila tetap berusaha tersenyum, meski hatinya kerap merasa sakit saat kembali mengingat kejadian yang dialaminya beberapa tahun lalu. Dimana ia bermimpi menjadi istri seorang pengusaha kaya, seperti temannya Nadia. Bukan suami kaya yang didapat, tapi justru pengusiran. Dimas tidak mau bertanggung jawab, bahkan mengusirnya. Tepat pukul satu malam, rombongan Mila sampai di Bandung. Lokasi pun sudah ditentukan, yakni sebuah bar ternama dimana Mila, Ajeng dan Widi akan bekerja malam ini. Pekerjaan yang sebenarnya tidak disukai Mila, pasalnya ia adalah wanita berpendidikan, bahkan karir sebelumnya pun cukup baik, yakni menjadi salah satu karyawan terbaik di perusahaan besar Dirgantara corp. Lantas mengapa ia bisa berakhir di bar, menjajakan minuman dengan pakaian super minim seperti saat ini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena Dimas. Lelaki b******k yang telah memberinya luka sekaligus trauma yang mendalam. Kebencian dan cinta yang bercampur dalam hatinya terus berkobar sampai saat ini. Banyak penyesalan yang dirasakan Mila, tapi hanya satu yang tidak pernah disesalinya yakni Talita. Gadis kecil itu hadir tanpa diinginkan oleh Dimas, tapi Mila begitu mencintainya dan rela melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya termasuk menjadi LC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD